"Kerugian Negara" dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga disamakan dengan unsur pasal "Perekonomian Negara", dan kedua frase ini merupakan unsur Pasal yang menjelaskan akibat dari perbuatan yang hanya dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun dalam praktiknya kedua frase dimaksud juga menimbulkan polemik, pada awalnya sebelum putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, karena dari unsur dapat merugikan keuangan negara atau perkenomian negara ini merupakan potensial loss dan dengan terdapatnya frase "DAPAT" jelas sekali konstruksi pasal tersebut adalah dibangun dalam makna "Formil", sehingga kerugian negara kerugian negara itu tidak perlu dipastikan dan dihitung secara yuridis terlebih dahulu, karena hanya sebagai akibat dan cukup kerugian negara yang hanya memilikki potensi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, pelaku tindak pidana sudah dapat dijadikan Tersangka dalam Tindak Pidana Korupsi, dalam keadaan seperti itu kemudian timbul Permohonan Uji Materil (Judicial Review) terhadap bunyi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya frase "dapat" dalam pasal dimaksud, Permohonan tersebut diajukan bertanggal 22 Februari 2016 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 22 Februari 2016 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor : 30/PAN.MK/2016 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 17 Maret 2016 dengan Nomor 25/PUU-XIV/2016, yang kemudian melahirkan putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, dan akhirnya mengeleminir frase "dapat" dalam Pasal dimaksud, sehingga membawa konsekuensi yuridis pemaknaan kedua Pasal tersebut menjadi berubah 100%, yang mana pengertian pasal 2 dan 3 merupakan Delik Formil berubah menjadi Delik Materil yang membawa efek dari perbuatan pidana yang dimaksud dalam kedua pasal itu, yaitu dari "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" telah berubah menjadi "merugikan keuangan negara atau perekonomian negara", sehingga unsur yaitu-
Apakah Keuangan Negara dan Perekonomian Negara itu ?
unsur "Merugikan Keuangan Negara" atau "Perekonomian Negara" yang merupakan akibat dari perbuatan tindak pidana korupsi yang dimaksudkan dalam Pasal 2 dan 3 yang semula dapat dihitung setelah adanya Penetapan Tersangka akan tetapi sekarang telah berubah menjadi tidak akan dapat ditetapkan seseorang sebagai Tersangka tindak pidana korupsi sebelum adanya kerugian yang nyata atau kerugian negara harus dihitung terlebih dahulu berdasarkan peraturan hukum yang berlaku,dan kerugian negara semula merupakan potensial loss berubah menjadi actual loss.
Dan Kerugian Negara apabila ditemukan atau tidak ditemukan dan kemudian dikembalikan oleh pelaku maka apakah perbuatan korupsi pelaku akan termaafkan secara hukum ? jawabnya tentu saja "tidak", hal itu dinyatakan secara tegas dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi :
"pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagai dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3".
Pasal ini membawa dampak, banyaknya koruptor akhirnya berusaha keras untuk mengalihkan uang dari hasil korupsinya menjadi bentuk harta kekayaan yang oleh karena mereka beranggapan tidak ada gunanya dikembalikan uang hasil korupsi karena tidak membawa pengaruh terhadap perbuatannya dan apabila dikembalikan tidak ada jaminan akan mendapatkan potongan hukuman yang signifikan dari putusan hakim pengadilan tipikor, sehingga mereka lebih memilih akan tetap merahasiakan harta kekayaan hasil korupsinya dari pada mengembalikan kepada negara.
Namun dengan keadaan yang terkondisikan oleh Undang-Undang seperti itu, bisa membawa preseden buruk dengan terkadang bisa saja terjadi oknum Penyidik tipikor (penyidik umum atau jaksa) melakukan penekanan agar calon tersangka atau tersangka atau terpidana agar mengembalikan uang yang telah dikorupsinya dan bisa saja terjadi sedikit diancam agar pelaku jangan menggunakan Pengacara sebab ancaman hukuman bisa diperberat, sehngga bisa saja terjadi akhirnya pelaku berusaha mengembalikan dengan menjual asset atau melakukan penarikkan uang hasil perbuatan korupsinya secara bertahap kemudian diserahkan kepada oknum dimaksud dan kemudian sampai ke kuping penulis dan masyarakat, adanya seorang calon tersangka atau tersangka koruptor dijadikan mesin ATM oleh oknum penyidik.
(Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya).
Namun Negara mengatur lebih lengkap dalam Undang-Undang dimaksud, sehingga untuk mengantisipasi kondisi seperti itu maka dibuat aturan-aturan khusus yang diberikan kepada Hakim, Penyidik dan Jaksa terhadap harta kekayaan pelaku korupsi tersebut bahkan ditambahkan dalam bentuk Undang-Undang yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan didalam Undang-Undang TPPU tersebut diatur pula kewenangan hakim terhadap harta kekayaan pelaku tindak pidana dalam upaya menyelamatkan keuangan negara dari tangan koruptor.
Secara yuridis pengertiannya terdapat dalam Penjelasan Umum Udang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang mengatakan :
Keuangan Negara adalah ;
Seluruh harta kekayaan negara dalam bentuk papun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena ;
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.
2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban dan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perushaan yang menyertakan modal negara, atau perushaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan Perekonomian Negara adalah ;
Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Lembaga Yang Berwenang Menghitung Kerugian Negara
Negara Kita ini seakan-akan sangat serius mengawasi penyelewengan pembanguan dan keuangan negara dengan adanya banyaknya lembaga-lembaga diluar kepolisian dan kejaksaan yang mengawasi dan dapat menghitung kerugian negara itu, seperti : Badan Pemeriksa Keungan (BPK), Badan Pengawas Keungan dan Pembangunan (BPKP), dan Inspektorat.
Dari sekian banyaknya lembaga pemerintah yang mengawasi dan menghitung kerugian keuangan negara dimaksud apakah terjamin adanya penurunan tingkat prilaku para koruptor? sampai saat ini menurut saya "Tidak", oleh karena saya tidak banyak melihat bahkan mungkin tidak pernah melihat atau sangat jarang adanya kasus korupsi yang dilimpahkan oleh lembaga-lembaga tersebut untuk diproses secara hukum, bahkan tidak menutup kemungkinan lembaga-lembaga itu justru turut menyemarakan prilaku korupsi di Indonesia oleh karena timbul suatu dugaan yang kuat bahwa persoalan itu biasanya telah selesai secara internal dan apabila hal itu memang terjadi maka hal itu akan membatasi ruang gerak para penyidik yang lain untuk menyelidiki kasus-kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan.
Pada zaman Orde Baru eksistensi lembaga Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dari Pusat sampai kedaerah Tingkat I, demikian juga kehadiran lembaga Inspektorat di tiap-tiap departemen/Instansi dari pusat sampai daerah sama sekeli tidak berhasil mencegah terjadinya korupsi dan bagaimana dengan pada pemerinatah berikutnya sampai sekarang? silakan jawab sendiri, apakah banyak temuan kasus dari lembaga-lembaga tersebut yang dilimpahkan ke lembaga yang berwenang lainnya untuk kemudian di periksa dan diputuskan di pengadilan tipikor? kalau memang tidak ada, lebih baik lembaga ini yang duluan harus dibubarkan, karena tidak ada gunanya, cukup terfokus satu lembaga saja.
Eksistensi lemabaga-lembaga tersebut dalam penghitungan kerugian keuangan negara kerap menjadi polemik dalam sidang
perkara korupsi. Permasalahan yang kerap muncul lembaga mana yang
sebenarnya paling berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian
negara.
Menjawab polemik ini, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat
Edaran MA(SEMA) No.4 Tahun 2016, SEMA tersebut mengatur tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno
Kamar MA Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Salah satu poinnya rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan hanya
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang men-declare kerugian keuangan negara. Selengkapnya berbunyi :
"Dalam huruf A. Rumusan Hukum Kamar Pidana"
6. Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara. Namun, tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.
6. Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara. Namun, tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.
Faktanya, selama ini, penuntut umum acapkali menggunakan hasil
penghitungan kerugian keuangan negara dari dua lembaga untuk membuktikan
unsur kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi. Kedua lembaga
dimaksud adalah BPK dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Ketua MA M Hatta Ali pernah mengatakan, penuntut umum sering meminta
penghitungan kerugian negara kepada BPKP karena lebih cepat dan
keberadaan BPK yang tidak sampai ke pelosok-pelosok daerah
kabupaten/kota. Karena itu, untuk menentukan kerugian negara, sangat
diminta ke BPK karena lebih tepat, rumusan SEMA No. 4 Tahun 2016 tidak selamanya mengikat hakim. Siapapun
yang memeriksa kerugian negara, baik BPK maupun BPKP, tidak harus
diikuti hakim. Demikian pula dengan ahli. Jika ada ahli yang berpendapat
tidak ada kerugian negara, hakim juga tidak berkewajiban untuk
mengikuti,
Sebab, menurut M Hatta Ali, Hakim bisa berpendapat sendiri, meski pada
prinsipnya rumusan hasil pleno kamar yang tertuang dalam SEMA mengikat
para hakim. “SEMA ini tidak selamanya mengikat para hakim, tidak harus
sama persis (seperti yang ada dalam rumusan SEMA), dilihat dulu kasus
per kasus (kasuistis).
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur pernah pula menceritakan ihwal munculnya rumusan tersebut dalam SEMA. Ia menjelaskan, BPK dan BPKP memiliki ruang lingkup tugas yang berbeda. Tak jarang penghitungan BPK pun berbeda dengan penghitungan BPKP, sebab, selama ini hasil audit BPK dan hasil BPKP berbeda-beda. Bahkan, pihak terdakwa dengan kesaksian (keterangan ahli) meringankan mengajukan auditor independe n. Kalau seperti ini akan terus menjadi perdebatan. Ini juga untuk kesamaan dan percepatan pengurusan perkara korupsi, kendati demikian, mari kita kaji apakah BPK adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara? Secara konstitusional, kewenangan BPK sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tertuang dalam Pasal 23E UUD 1945 dan dipertegas kembali dalam UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK, Pasal 1 angka 1 UU BPK :
“Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Pasal 10 ayat (1) UU BPK :
"BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga/badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.”
"BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga/badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.”
Lantas bagaimana dengan BPKP? Sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) No.
60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, BPKP
merupakan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Pasal 48 ayat (2)
huruf a mengatur, aparat pengawasan intern pemerintah melakukan
pengawasan intern melalui : audit.
Ada dua jenis audit yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2008, salah satunya audit dengan tujuan tertentu. Penjelasan Pasal 50 ayat (3) menyebutkan bahwa audit dengan tujuan tertentu, antara lain audit investigatif, audit atas penyelenggaraan SPIP, dan audit atas hal-hal lain di bidang keuangan.
Ada dua jenis audit yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2008, salah satunya audit dengan tujuan tertentu. Penjelasan Pasal 50 ayat (3) menyebutkan bahwa audit dengan tujuan tertentu, antara lain audit investigatif, audit atas penyelenggaraan SPIP, dan audit atas hal-hal lain di bidang keuangan.
Selain itu, Pasal 49 ayat (2) huruf c PP No. 60 Tahun 2008 mengatur, BPKP
melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas
kegiatan tertentu yang meliputi : kegiatan lain berdasarkan penugasan
dari Presiden. Tugas dan fungsi BPKP diatur dalam Peraturan Presiden
(Perpres) No. 192 Tahun 2014 tentang BPKP yang menggantikan Keputusan
Presiden (Keppres) No. 103 Tahun 2001 beserta perubahannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf e Perpres No. 192 Tahun 2014, fungsi BPKP antara lain melakukan audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi.
Terkait hal ini, Kepala BPKP pun telah menerbitkan pedoman teknis melalui Peraturan Kepala BPKP Nomor: PER-1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi yang isinya :
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf e Perpres No. 192 Tahun 2014, fungsi BPKP antara lain melakukan audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi.
Terkait hal ini, Kepala BPKP pun telah menerbitkan pedoman teknis melalui Peraturan Kepala BPKP Nomor: PER-1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi yang isinya :
1. Audit dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara adalah Audit dengan tujuan tertentu yang dimaksudkan untuk menyatakan pendapat mengenai nilai kerugian keuangan Negara yang timbul dari suatu kasus penyimpangan dan digunakan untuk mendukung tindakan litigasi; |
2. Hasil Audit dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara berupa pendapat auditor BPKP tentang jumlah kerugian keuangan negara merupakan pendapat keahlian profesional auditor, yang dituangkan dalam Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN); |
3. Sebagai hasil dari pendapat ahli, LHPKKN ditandatangani oleh Tim Audit dan Pimpinan Unit Kerja sebagai Ahli (tanpa kop surat dan cap unit kerja); |
4. LHPKKN disampaikan kepada pimpinan Instansi Penyidik yang meminta, dilakukan dengan surat pengantar (SP) berkode SR (Surat Rahasia) yang ditandatangani oleh unit kerja. |
Aturan-aturan inilah yang dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum untuk meminta penghitungan kerugian negara dari BPKP. Khusus untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sesuai penjelasan Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK memang memiliki tugas koordinasi, salah satunya dengan BPKP.
Beberapa kali digugat ke PTUN
Namun, nampaknya aturan-aturan tersebut tak cukup bagi pelaku-pelaku korupsi untuk mengakui wewenang penghitungan kerugian negara oleh BPKP. Padahal, LHPKKN dari BPKP sudah berkali-kali digunakan penuntut umum untuk pembuktian di pengadilan dan hakim pun mengakui penghitungan kerugian keuangan negara tersebut.
Buktinya, BPKP tercatat beberapa kali digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kepala Bagian Penelaahan dan Bantuan Hukum BPKP Muhammad Muslihuddin, pada 2015, pernah melakukan studi terhadap sejumlah putusan PTUN. “Saat ini (putusan-putusan itu) sudah berkekuatan hukum tetap,” katanya kepada hukumonline, Selasa (14/2).
Namun, nampaknya aturan-aturan tersebut tak cukup bagi pelaku-pelaku korupsi untuk mengakui wewenang penghitungan kerugian negara oleh BPKP. Padahal, LHPKKN dari BPKP sudah berkali-kali digunakan penuntut umum untuk pembuktian di pengadilan dan hakim pun mengakui penghitungan kerugian keuangan negara tersebut.
Buktinya, BPKP tercatat beberapa kali digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kepala Bagian Penelaahan dan Bantuan Hukum BPKP Muhammad Muslihuddin, pada 2015, pernah melakukan studi terhadap sejumlah putusan PTUN. “Saat ini (putusan-putusan itu) sudah berkekuatan hukum tetap,” katanya kepada hukumonline, Selasa (14/2).
Ia menjelaskan, dari putusan-putusan itu, lebih dari 85 persen
memenangkan BPKP. Alasannya, hakim menganggap objek sengketa bukan
Keputusan TUN, tidak bersifat individual, belum bersifat final (perlu
tindak lanjut aparat penegak hukum), dan LHPKKN merupakan bagian dari
rangkaian proses penegakan hukum pidana.
Adapun putusan PTUN lainnya yang sempat mengalahkan BPKP, antara lain putusan PTUN Pontianak Nomor 12/G/2015/PTUN-PTK dan putusan PTUN Jakarta Nomor 231/G/2012/PTUN-JKT yang gugatannya diajukan oleh mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto, PT Indosat Tbk, dan PT IM2. (Baca Juga : Sanksi Administratif Jadi Alternatif atas Kerugian Negara)
Meski hakim PTUN sempat membatalkan LHPKKN BPKP, tetapi pada akhirnya putusan pengadilan tingkat pertama itu dibatalkan oleh MA. Putusan PTUN Pontianak Nomor 12/G/2015/PTUN-PTK dibatalkan oleh putusan PT TUN Jakarta dengan Putusan Nomor 330/B/2015/PT.TUN.JKT yang dikuatkan oleh Putusan kasasi nomor 279 K/TUN/2016.
Sementara, putusan PTUN Jakarta Nomor 231/G/2012/PTUN-JKT telah dibatalkan oleh putusan PK Nomor 75 PK/TUN/2015. Sebagaimana diketahui, kasus Indar ini sempat menyita perhatian publik karena jumlah kerugian negara yang fantastis, yakni Rp1,358 triliun. Kala itu, penuntut umum Kejaksaan Agung menggunakan LHPKKN dari BPKP.
Majelis hakim pun, hingga tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK), mengakui penghitungan kerugian negara yang dikeluarkan oleh BPKP. Alhasil, kini, Indar dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi penggunaan jaringan frekuensi radio 2,1 GHz/3G berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Antara lain, disepakati : (1) Aparat penegak hukum dan instansi terkait tidak mempermasalahkan siapa yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara, bisa BPK atau BPKP; (2) Aparat penegak hukum bisa meminta bantuan siapapun untuk menghitung kerugian keuangan negara, tidak harus BPK atau BPKP, bisa akuntan publik atau ahli lain; dan (3) Selama keyakinan hakim terpenuhi, hakim bahkan dapat menerima perhitungan kerugian keuangan negara tanpa adanya perhitungan kerugian keuangan negara dari ahli (BPK/BPKP/lainnya).
Diuji materi ke MK
Permasalahan mengenai LHPKKN BPKP yang digunakan KPK untuk mendukung pembuktian kerugian negara dalam kasus korupsi juga pernah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pintu masuknya adalah Pasal 6 UU KPK dan penjelasannya yang menyatakan KPK memiliki tugas berkoordinasi dengan instansi berwenang, salah satunya BPKP.
Putusan/Penetapan PTUN |
Putusan PTUN Jakarta Nomor: 111/G/2014/PTUN.Jkt, (diperkuat Putusan Pengadilan Tinggi (PT) TUN Jakarta Nomor: 83/B/2015/PT.TUN.JKT) |
Putusan PTUN Jakarta Nomor: 250/G/2014/PTUN.JKT (dikuatkan Putusan PT TUN Jakarta Nomor:159/B/2015/PT.TUN.JKT) |
Putusan PTUN Surabaya Nomor: 09/G/2015/PTUN-SBY. |
Putusan PTUN Jambi Nomor: 22/G/2013/PTUN.JBI, Putusan PTUN Surabaya Nomor: 160/G/2013/PTUN.SBY (dikuatkan dengan Putusan PT TUN Surabaya Nomor: 129/B/2014/PT.TUN.Sby) |
Putusan PTUN Medan Nomor:82/G/2014/PTUN.Mdn |
Putusan PTUN Jakarta Nomor: 197/B/2002/PT.TUN.JKT |
Putusan PTUN Bandung Nomor: 65/G/2013/PTUN.BDG |
Putusan PTUN Jambi Nomor: 22/G/2013/PTUN.JBI |
Putusan PTUN Jakarta Nomor: 111/G/2014/PTUN.Jkt (diperkuat melalui Putusan PT TUN Jakarta Nomor: 83/B/2015/PT.TUN.JKT) |
Putusan PTUN Jakarta Nomor: 250/G/2014/PTUNJKT (dikuatkan dengan Putusan PT TUN Jakarta Nomor: 159/B/2015/PT.TUN.JKT) |
Putusan PTUN Surabaya Nomor: 09/G/2015/PTUNSBY |
Penetapan Ketua PTUN Kendari Nomor: 11/PEN-DIS/2013/PTUN.KDI |
Putusan PTUN Jayapura Nomor: 28/G.TUN/2012/PTUN.JPR (dikuatkan dengan Putusan PT TUN Makassar Nomor: 29/B/2013/PT.TUN.MKS) |
Penetapan Ketua PTUN Yogyakarta Nomor: 06/G/2010/PTUN.YK (dikuatkan dengan Putusan PTUN Yogyakarta Nomor: 06/PLW/2010/PTUN.YK) |
Putusan PTUN Samarinda Nomor: 16/G/2013/PTUN.SMD (dikuatkan dengan Putusan PT PTUN Jakarta Nomor: 291/B/2013/PT.TUN.JKT) |
Putusan PTUN Semarang Nomor: 37/G/2013/PTUN.Smg |
Putusan PTUN Semarang Nomor: 70/G/2013/PTUN.Smg |
Putusan PTUN Pontianak Nomor: 22/G/2014/PTUN-PTK (dikuatkan oleh Putusan PT TUN Jakarta Nomor 338/B/2014/PT.TUN.JKT |
Adapun putusan PTUN lainnya yang sempat mengalahkan BPKP, antara lain putusan PTUN Pontianak Nomor 12/G/2015/PTUN-PTK dan putusan PTUN Jakarta Nomor 231/G/2012/PTUN-JKT yang gugatannya diajukan oleh mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto, PT Indosat Tbk, dan PT IM2. (Baca Juga : Sanksi Administratif Jadi Alternatif atas Kerugian Negara)
Meski hakim PTUN sempat membatalkan LHPKKN BPKP, tetapi pada akhirnya putusan pengadilan tingkat pertama itu dibatalkan oleh MA. Putusan PTUN Pontianak Nomor 12/G/2015/PTUN-PTK dibatalkan oleh putusan PT TUN Jakarta dengan Putusan Nomor 330/B/2015/PT.TUN.JKT yang dikuatkan oleh Putusan kasasi nomor 279 K/TUN/2016.
Sementara, putusan PTUN Jakarta Nomor 231/G/2012/PTUN-JKT telah dibatalkan oleh putusan PK Nomor 75 PK/TUN/2015. Sebagaimana diketahui, kasus Indar ini sempat menyita perhatian publik karena jumlah kerugian negara yang fantastis, yakni Rp1,358 triliun. Kala itu, penuntut umum Kejaksaan Agung menggunakan LHPKKN dari BPKP.
Majelis hakim pun, hingga tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK), mengakui penghitungan kerugian negara yang dikeluarkan oleh BPKP. Alhasil, kini, Indar dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi penggunaan jaringan frekuensi radio 2,1 GHz/3G berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Terlepas dari putusan-putusan itu, Muslihuddin memberikan catatan bahwa telah terjadi kesepakatan penegak hukum criminal justice system dan instansi terkait dalam penanganan tindak pidana korupsi pada rapat koordinasi criminal justice system tanggal 2728 September 2011 yang juga ditandatangani pengawas eksternal maupun internal.
Antara lain, disepakati : (1) Aparat penegak hukum dan instansi terkait tidak mempermasalahkan siapa yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara, bisa BPK atau BPKP; (2) Aparat penegak hukum bisa meminta bantuan siapapun untuk menghitung kerugian keuangan negara, tidak harus BPK atau BPKP, bisa akuntan publik atau ahli lain; dan (3) Selama keyakinan hakim terpenuhi, hakim bahkan dapat menerima perhitungan kerugian keuangan negara tanpa adanya perhitungan kerugian keuangan negara dari ahli (BPK/BPKP/lainnya).
Diuji materi ke MK
Permasalahan mengenai LHPKKN BPKP yang digunakan KPK untuk mendukung pembuktian kerugian negara dalam kasus korupsi juga pernah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pintu masuknya adalah Pasal 6 UU KPK dan penjelasannya yang menyatakan KPK memiliki tugas berkoordinasi dengan instansi berwenang, salah satunya BPKP.
Uji materi terhadap Pasal 6 UU KPK dan penjelasannya ini diajukan oleh
mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Eddie Widiono
Suwondho yang juga terdakwa kasus korupsi pengadaan outsourcing roll out
Customer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI)
di PLN Disjaya pada 2012.
Eddie merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar akibat penerapan Pasal 6
UU KPK dan penjelasannya. Sebab, alih-alih meminta penghitungan
kerugian negara kepada BPK selaku lembaga yang diberi kewenangan
konstitusional menghitung kerugian negara terlebih dahulu, KPK malah
meminta LHPKKN BPKP.
Meski begitu, permohonan uji materi Eddie ditolak oleh majelis hakim MK
yang diketuai Mahfud MD. Majelis menegaskan, kewenangan BPKP dan BPK
masing-masing telah diatur secara jelas dalam peraturan
perundang-undangan. Terlebih, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan
BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian tindak pidana korupsi.
Akan tetapi, KPK dapat pula berkoordinasi dengan instansi lain, serta bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK. Misalnya, dengan mengundang ahli, meminta bahan dari Inspektorat Jenderal, atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah.
“Bahkan, dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan) yang dapat menunjukan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya,” demikian pertimbangan majelis MK dalam putusan Nomor 31/PUU-X/2012.
Akan tetapi, KPK dapat pula berkoordinasi dengan instansi lain, serta bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK. Misalnya, dengan mengundang ahli, meminta bahan dari Inspektorat Jenderal, atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah.
“Bahkan, dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan) yang dapat menunjukan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya,” demikian pertimbangan majelis MK dalam putusan Nomor 31/PUU-X/2012.
Selain putusan MK ini, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 21
September 2015 menegaskan hal serupa dalam putusan sela perkara mantan
Menteri Agama Suryadharma Ali. Kala itu, pengacara Suryadharma juga
mempermasalahkan LHPKKN BPKP karena BPKP dianggap tidak berwenang
menghitung kerugian negara.
Upaya pengacara Suryadharma pun kandas. Majelis hakim yang diketuai
Aswidjon menyatakan, BPK bukan satu-satunya lembaga yang berwenang
melakukan audit penghitungan kerugian negara dalam rangka pembuktian
tindak pidana korupsi. Penghitungan kerugian negara juga dapat dilakukan
oleh ahli lainnya.
Seperti, akuntan publik dan BPKP atas permintaan dari penyidik. Apabila penyidik dan penuntut umum memiliki kemampuan untuk melakukan penghitungan, Aswidjon mengatakan, mereka juga dapat menghitung sendiri kerugian negara akibat perbuatan korupsi. Hal tersebut juga telah dipertegas dengan putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012.
Rumusan SEMA yang dikesampingkan
Kembali ke pernyataan Ketua MA M Hatta Ali yang mengakui bahwa SEMA No. 4 Tahun 2016 tidak selamanya mengikat hakim. Sebagaimana isi SEMA pun, dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.
Seperti, akuntan publik dan BPKP atas permintaan dari penyidik. Apabila penyidik dan penuntut umum memiliki kemampuan untuk melakukan penghitungan, Aswidjon mengatakan, mereka juga dapat menghitung sendiri kerugian negara akibat perbuatan korupsi. Hal tersebut juga telah dipertegas dengan putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012.
Rumusan SEMA yang dikesampingkan
Kembali ke pernyataan Ketua MA M Hatta Ali yang mengakui bahwa SEMA No. 4 Tahun 2016 tidak selamanya mengikat hakim. Sebagaimana isi SEMA pun, dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.
Hal ini membuka peluang bagi para hakim untuk mengesampingkan rumusan
SEMA No. 4 Tahun 2016 yang menyatakan BPK sebagai satu-satunya instansi
berwenang men-declare ada atau tidaknya kerugian negara. Dan, ternyata SEMA itu memang sudah lama dikesampingkan hakim.
Humas Pengadilan Tipikor Jakarta Yohanes Priyana mengatakan, sudah ada
putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012 yang berkaitan dengan penghitungan
kerugian keuangan negara. Karena itu, boleh saja BPKP, Inspektorat,
bahkan pihak lain yang mempunyai kemampuan untuk menghitung kerugian
negara.
Yohanes mencoba meluruskan mengenai “auditor keuangan negara” dan “menghitung kerugian negara”. Menurutnya, kedua hal itu harus dibedakan. Bahkan, jika nyata terbukti ada kerugian negara, hanya dengan satu lembar kuitansi yang valid pun, majelis hakim bisa menghitung kerugian negara sendiri.
Yohanes mencoba meluruskan mengenai “auditor keuangan negara” dan “menghitung kerugian negara”. Menurutnya, kedua hal itu harus dibedakan. Bahkan, jika nyata terbukti ada kerugian negara, hanya dengan satu lembar kuitansi yang valid pun, majelis hakim bisa menghitung kerugian negara sendiri.
“(Terlebih lagi) Dalam tindak pidana korupsi, kerugian (negara) adalah accesoir.
Substansinya ya perbuatan yang koruptif, yang "dapat" merugikan keuangan
negara.(Lantas, apa berarti SEMA No. 4 Tahun 2016 itu tidak menjadi
patokan dalam menangani kasus korupsi?) Sudah lama dikesampingkan,”
ujarnya kepada hukumonline.
Senada, Mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif juga menganggap SEMA itu hanya
menyatakan BPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan secara
konstitusional. Namun, tidak melarang BPKP atau institusi lainnya
menghitung kerugian negara. Walau begitu, KPK masih mengkaji SEMA
tersebut dengan menggelar focus group discussion (FGD) bersama para
ahli.
“Kalau kita melihat putusan MK kan, masing-masinglembaga bisamenghitung kerugian negara, tidak harus BPK. Tetapi, thehighest authorityya BPK. (Apa khawatir SEMA ini berpengaruh pada perkara korupsi yang ditangani KPK?) Saya sih tidak khawatir, karena selama ini juga kan BPKP, BPK bantuin kita. Dua-duanya institusi negara,” tuturnya.
“Kalau kita melihat putusan MK kan, masing-masinglembaga bisamenghitung kerugian negara, tidak harus BPK. Tetapi, thehighest authorityya BPK. (Apa khawatir SEMA ini berpengaruh pada perkara korupsi yang ditangani KPK?) Saya sih tidak khawatir, karena selama ini juga kan BPKP, BPK bantuin kita. Dua-duanya institusi negara,” tuturnya.
Demikian pula dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) Kepala Pusat Penerangan
Hukum Kejagung Muhammad Rum. Ia menegaskan, dalam menjalankan tugas,
jaksa melaksanakan sesuai ketentuan dalam penjelasan Pasal 32 UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20
Tahun 2001 (UU Tipikor).
Dalam penjelasan Pasal 32 UU Tipikor disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Dalam penjelasan Pasal 32 UU Tipikor disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Bibliography :
1. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58ac1253a9228/siapa-berwenang-menyatakan-kerugian-negara-sema-pun-tak-mengikat/
No comments:
Post a Comment