PENDAHULUAN
Bank
Syaria'h di Indonesia mulai digagas di Indonesia pada awal periode 1980-an, di
awali dengan pengujian pada skala Bank yang relatif lebih kecil, yaitu
didirikannya Baitut Tamwil-Salman,
Bandung, sedangkan di Jakarta juga didirikan dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti. Kemudian Majelis
Ulama Indonesia (MUI) berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya Bank Syari'ah, yang dihasilkan dari
Rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, dan di bahas lebih
lanjut dengan serta membentuk tim kelompok kerja pada Musyawarah Nasional IV
MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.
Awal
mula berdirinya bank Islam, banyak pengamat perbankan yang meragukan akan
eksistensi Bank Islam nantinya di tengah-tengah Bank Konvensional, yang
berbasis dengan sistem bunga, yang sedang menanjak dan menjadi pilar ekonomi
Indonesia, bank Islam mencoba memberikan jawaban atas keraguan yang banyak
timbul. Jawaban itu mulai menemukan titik jelas pada tahun 1997, di mana
Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup memprihatinkan, yang dimulai
dengan krisis moneter yang berakibat sangat signifikan atas terpuruknya
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pertumbuhan
ekonomi yang mencapai rata-rata 7% per tahun itu tiba-tiba anjlok secara
spektakuler menjadi minus 15% di tahun 1998, atau terjun sebesar 22%. Inflasi
yang terjadi sebesar 78%, jumlah PHK meningkat, penurunan daya beli dan
kebangkrutan sebagian besar konglomerat dan dunia usaha telah mewarnai krisis
tersebut.Indonesia telah berada pada ambang kehancuran ekonomi, hampir semua
sektor ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Sektor konstruksi merupakan
sektor yang mengalami pertumbuhan negatif paling besar, yaitu minus 40% karena
di akibatkan tingkat bunga yang sangat tinggi, penurunan daya beli, dan beban
hutang yang sangat besar. Sektor perdagangan dan jasa mengalami kontraksi minus
21%, sektor industri manufaktur menurun sebesar 19%. Semua berakibat dari
implikasi krisis moneter yang mengguncang Indonesia.
Kondisi
terburuk ditunjukkan oleh sektor perbankan yaitu dengan banyak bank-bank
konvensional yang tidak mampu membayar tingkat suku bunga, hal ini berakibat
atas terjadinya kredit macet. Dan NPL (Non-Performing Loan) atau Kredit Bermasalah Perbankan
Indonesia telah mencapai 70%. Akibat dari hal tersebut, dari bulan juli 1997
sampai dengan 13 Maret 1999, pemerintah telah menutup sebanyak 55 bank, di
samping mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya di bantu untuk
melakukan rekapitalisasi. Sedangkan bank BUMN dan BPD harus ikut di rekapitalisasi.
Dari
240 bank yang ada sebelum krisis moneter, hanya 73 bank swasta yang dapat
bertahan tanpa bantuan pemerintah dan dinyatakan sehat, sisanya pemerintah
dengan terpaksa harus di likuidasi
(dibubarkan).
Salah
satu dari 73 bank tersebut, terdapat Bank Mu'amalat Indonesia yang mampu
bertahan dari terjangan krisis ekonomi, dan ternyata Bank Mu'amalat adalah Bank
yang memiliki sistem tersendiri dari Bank-Bank lain, yaitu dengan memberlakukan
Sistem Operasional Bank dengan sistem
bagi hasil.
Dengan
di awali berdirinya pada tahun 1992 oleh bank yang di beri nama dengan Bank
Mu'amalat Indonesia (BMI), sebagai pelopor berdirinya perbankan yang
berlandaskan Sistem Syari'ah, kini Bank Syari'ah yang tadinya diragukan akan
sistem operasionalnya, telah menunjukkan angka kemajuan yang sangat
mempesonakan. Perbankan Syari'ah di Indonesia telah mengalami perkembangan
dengan pesat, banyak masyarakat mulai mengenal apa yang di sebut Bank
Syari'ah.
1. PENGERTIAN BANK SYARI’AH
Bank Syari’ah adalah
suatu Lembaga Simpan Pinjam Keuangan yang Berbadan Hukum yang beroperasi dengan
tidak mengandalkan operasionalisasinya pada sistim bunga dan lebih berbasiskan
kepada ketentuan Agama Islam yaitu berdasarkan Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Dengan kata lain,
adalah suatu Bank Islam dalam yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan
jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syari’at Islam.
KARNAEN PERWATA
ATMADJA
dan M. SYAFI’I ANTONIO,
mengelompokkan pengertian Bank Syariah menjadi 2 bagian, Bank Syari’ah adalah :
1) Bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip syari’at Islam
2) Bank yang tata cara beroperasinya
mengacu pada ketentuan-ketentun Al qur’an dan Hadits. (1)
Sementara
Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syari’ah Islam adalah Bank yang
dalam operasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya
yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dikatakan lebih
lanjut, dalam tata cara bermuamalah itu harus dijahui oleh hal-hal dan
praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur riba untuk diisi dengan
kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.(2)
2.
OPERASIONAL BANK SYARI’AH DALAM NILAI FALSAFAH
Dalam Operasional
Bank Syariah terkadung filsafat yang dapat menjadi dasar nilai dalam penuntun
kita untuk melakukan kerjasama dan menjalin hubungan keuangan dengan Bank
Syariah agar niat dan tujuan tetap berada dalam nilai-nilai religious yang
benar.
Setiap lembaga
keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah SWT untuk
memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan
lembaga keuangan yang di khawatirkan menyimpang dari tuntutan agama, harus di
hindaridengan cara : .(3)
a. Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya :
1) Menghindari penggunaan system yang
menetapkan di muka secara pasti keberhasilan suatu usaha (QS. Luqman, ayat: 34)
2) Menghindari penggunaan system prosentasi
untuk pembebanan biaya –terhadap hutang atau pemberian imbalan terhdap simpanan
yang mengandung unsure meliputi gandakan secara otomatis hutang/simpanan
tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Al Imron: 130).
3) Menghindari penggunaan system
perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya
dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba
No.1551 s.d 1567).
4)
Menghindari
penggunaan system yang menetapkan di muka tambahan atas hutang yang bukan atas
prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab Riba No.1569
s.d 1572)
b. Menetapkan system bagi hasil dan
perdagangan, dengan mengacu pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275 dan An
Nisa’ ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas
dasar system bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya
pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan mu’amalah berlaku
prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi
barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya
penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi. (4)
3. PRINSIP-PRINSIP BANK SYARI’AH
Prinsip perjanjian
dalam hubungan antara nasabah dengan Bak Syari’ah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam, misalnya penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan
usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan Syari’ah.
Beberapa prinsip/
hukum yang dianut oleh sistem perbankan Syari’ah antara lain adalah :
1. Pembayaran terhadap pinjaman dengan
nilai yang berbeda dari nilai pinjaman
dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
2. Pemberi dana harus turut berbagi
keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil
usaha institusi yang meminjam dana.
usaha institusi yang meminjam dana.
Dalam Agama Islam
tidak memperbolehkan "menghasilkan
uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan
komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
Unsur Gharar
(ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus
mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi diharamkan dalam Islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai
oleh Perbankan Syariah. Prinsip Perbankan Syariah pada akhirnya akan membawa
kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya.(5)
4. DASAR HUKUM BANK SYARI’AH DI
INDONESIA
Bank Syari’ah di
tanah air mendapatkan dasar pijakan yang kokoh setelah disahkan UU Republik
Indonesia No. 7 Tahun 1992, tentang Perbankan,
dimana Bank diberikan kebebasan
untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga
ataupun keuntungan-keuntungan bagi hasil.
Selanjutnya dengan
dikeluarkannya PP No. 72 tahun 1992 tentang : Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, dengan jelas dalam Pasal 6
Ayat (1) dan (2) memberikan batasan bahwa:
Ayat (1)
Bank Umum atau bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan
usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan
melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
Ayat (2)
Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan
usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan
kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Regulasi ini yang
menjadi dasar bagi Bank Syariah dalam menjalan pinsip bagi hasil dalam
hubungannya dengan Nasabah, tidak ada lagi beban bunga uang yang ditanggung
oleh Nasabah, sehingga unsur Riba yang dilarang Agama Islam tidak berlaku lagi.
Operasional Perbankan
Syari’ah semakin meluas lagi hingga mencapai titik kulmulasi (titik puncak) dengan disahkannya UU No. 10 Tahun 1998, tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan, perbankan yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan
mendirikan Bank Syari’ah maupun yang ingin mengkonfersi
(merubah) system dari System Konvensional menjadi System Syari’ah
UU No. 10 Tahun 1998, tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan, telah menghapus keberadaan pasal 6 pada PP No.
72/1992 yang melarang Dual System. Dengan tegas pasal 6 UU No10/1998,
melegalkan Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha dengan berdasarkan Prinsip
Syari’ah. Selain itu dasar Perbankan Syari’ah juga terdapat dalam UU Perbankan,
UURI No. 10 Tahun 1998 ( pasal 1 ayat 12, 13; Pasal 6 huruf m dan pasal 13
huruf c).
Dalam menjalankan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, UU Perbankan tersebut, selanjutnya Direksi
Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih
lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 10
Tahun 1998, yakni :
1. Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
2. Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
3. Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Selanjutnya berkenaan
dengan Operasional dan Instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada
tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga
Peraturan Bank Indonesia, yakni :
1. Peraturan Bank
Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro
Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang mengatur mengenai
kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah;
2. Peraturan Bank
Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar
Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka
menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antar Bank berdasarkan
Prinsip Syariah; dan
3. Peraturan Bank
Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI, yakni sertifikat yang diterbitkan Bank
Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam
pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam
praktek perbankan konvensional.
.
5. PRODUK -PRODUK BANK SYARI’AH
Disamping
peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis produk dan jasa keuangan
syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua Fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN), yakni satu-satunya dewan yang
mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan
jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh
lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah
memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai Produk Perbankan
Syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta
berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni
sebagai berikut :
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sehubungan dengan Peraturan-Peraturan
Perbankan Syariah dimaksud diatas, produk – produk Perbankan Syariah dapat
dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu ;
1) Produk Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan
dana kepada nasabah, secara garis besar Produk Pembiayaan Syariah terbagi
kedalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaan yaitu :
a. Transaksi pembiayaan yang ditujukan
untuk memiliki barang yang dilakukan dengan prinsip jual beli.
b. Transaksi pembiayaan yang ditujukan
untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
c. Transaksi pembiayaan untuk usaha
kerja sama yang dituju guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan
prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama
dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga
atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini
adalah produk yang menggunakan prinsip jual beli seperti murabahah, salam dan
istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa atau ijarah. Sedangkan kategori ketiga,
tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya usaha sesuai dengan prinsip
bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati
dimuka. Produk perbankan yang termasuk kedalam kelompok ini adalah musyarakah dan mudhrabah.
Kata Murabahah
secara bahasa adalah bentuk mutual (bermakna: saling) yang diambil
dari bahasa Arab, yaitu ar-ribhu (الرِبْŘُ) yang berarti
kelebihan dan tambahan (keuntungan). Jadi, murabahah diartikan dengan
saling menambah (menguntungkan). Sedangkan dalam definisi para ulama
terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui.
Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua
penjual dan pembeli dengan tambahan keuntungan yang jelas. (6)
Murabahah adalah jual
belibarang pada harga asal dengan tambahan keuntungan/margin yang disepakati.
Akad yang banyak
mendapat penilaian tentang “kehalalan” pelaksanaannya adalah murabahah, yaitu
jual beli dengan harga jual terdiri dari harga beli dan keuntungan yang sudah
disepakati.(7)
Pada murabahah,
penyerahan barang dilakukan pada saat transaksi sementara pembayarannya
dilakukan secara tunai, tangguh ataupun dicicil.(8)
Secara bahasa as-salam
atau as-salaf berarti pesanan. Secara terminologis para ulama
mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau
menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih
awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”. (9)
Dalam perjanjian
As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam (yang menyerahkan), pihak
penjual disebut Al-Muslamuilaihi (orang yang diserahi), dan barang yang
dijadikan objek disebut Al-Muslam Fiih (barang yang akan diserahkan), serta
harga barang yang diserahkan kepada penjual disebut Ra’su Maalis Salam (modal
As-Salam).(10)
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara
pihak produsen / pengrajin / penerima pesanan (shani’) dengan pemesan ( mustashni’)
untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’)
dimana bahan baku dan biaya produksi
menjadi tanggung jawab pihak
produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Secara umum landasan
syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’
al-istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’ termasuk akad
yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak
penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok
kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyutui
kontrak istishna’ atas dasar istishan.(11)
Tujuan istishna’
umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti pembangunan
proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana
jalan. Pembiayaan yang sesuai adalah pembiayaan investasi.(12)
Salam dan Istishna
merupakan semacam jual beli yang dibedakan berdasarkan cara pembayaran dan
waktu penyerahan barang. Jual beli secara Salam, mekanisme kebalikan dari jual
beli secara muajjal atau dalam bisnis umum dikenal dengan advance
payment 100% (pelunasan di muka). Jadi pelunasan dilakukan saat transaksi,
namun barang baru diserahkan kemudian.
Istishna’ sebenarnya sama dengan Salam, namun sistem pembayaran tidak
secara lump sum, tetapi secara bertahap hingga barang yang dibeli
diserahkan.
Prinsip jual beli (Ba’i)
Prinsip jual beli
diadakan sehubung diadanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer
of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian
harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk
pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti :
Prinsip Sewa (Ijarah).
Secara prinsip,
Ijarah sama dengan transaksi jual beli. Hanya saja yang menjadi objek dalam
transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat. Pada akhir masa sewa dapat saja
diperjanjian bahwa barang yang diambil manfaatnya selama masa sewa akan dijual
belikan antra Bank dan nasabah yang menyewa (Ijarah muntahhiyah bittamlik/sewa
yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan).
2. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk
pembiayaan syariah yang didasarkan dengan prinsip bagi hasil adalah :
a) Musyarakah
Musyarakah adalah
bentuk umum dari usaha bagi hasil. Dalam kerjasama ini para pihak secara
bersama-sama memadukan sumber daya baik yang berwujud ataupun tidak berwujud
untuk menjadi modal proyek kerjasama, dan secara bersama-sama pula mengelola
proyek kerjasama tersebut.
b) Mudarabah
Dalam mengaplikasikan
prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai pemilik modal, dan
bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan Bank untuk melakukan
pembiayaan murabahah atau ijarah seperti yang dijelaskan terdahulu. Dapat pula
dana tersebut digunakan oleh bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil
usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati.
3. Akad Pelengkap
Untuk memudahkan pelaksanan pembiyaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiyaan. Meskipu tidak ditujukan mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya biaya pengganti ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar benar timbul.
Untuk memudahkan pelaksanan pembiyaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiyaan. Meskipu tidak ditujukan mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya biaya pengganti ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar benar timbul.
a) Hiwalah (Alih Utang Piutang)
Hiwalah adalah transaksi pengalihan utang piutang. Dalam
praktek perbankan syariah, fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya, sedangkan bank
mendapat ganti biaya atas jasa.
b) Rahn
Rahn, dalam bahasa umum lebih dikenal dengan Gadai. Tujuan
akad Rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam
memberikan pembiayaan.
c) Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Misalnya dalam hal seorang calon
haji membutuhkan dana pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya
perjalanan haji. Bank memberikan pinjaman kepada nasabah calon haji tersebut
dan si nasabah melunasinya sebelum keberangkatan Hajinya.
d) Wakalah
Wakalah dalam praktek Perbankan syariah terjadi apabila
nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan
jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
e) Kafalah
Kafalah dalam bahasa umum lebih dikenal dengan istilah Bank
Garansi, yang ditujukan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.
Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas
ini sebagai Rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip
wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
6. PANDANGAN ULAMA’ MENGENAI BANK
SYARI’AH
1) Majlis
Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
Majlis Tarjih
Muhammadiyah pada tahun 1968 memutuskan bahwa bunga bank milik pemerintah
termasuk masalah shubhat dan bahkan
pada tahun 2006 memutuskan Fatwa Haram.
Adapun masalah
keputusan Tarjih sebagai berikut;
1.
Hasil keputusan hukum
harus ditaati namun keputusan masalah sosial ekono
mi, Majelis Tarjih harus melibatkan pada para ekonom supaya hasilnya bisa
membumi dan fatwa haramnya bunga bank tidak perlu ditanfidh.
mi, Majelis Tarjih harus melibatkan pada para ekonom supaya hasilnya bisa
membumi dan fatwa haramnya bunga bank tidak perlu ditanfidh.
2. Bank dibutuhkan dalam dunia
perekonomian, berfungsi sebagai intermediary tetapi tidak setuju dengan sistem
bunga karena riba dan menimbulkan eksploitasi. Sedangkan adanya bank syari’ah
sangat ditunggu umat Islam untuk menghindari bunga.
3.
Masih dibolehkannya
menjadi nasabah Bank Konvensional selama Bank Syari’ah belum benar-benar siap
dan dengan dasar keterpaksaan/dharurat.
2) Nahdlatul Ulama (NU)
Dalam musyawarah
nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum
bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi
ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain. Namun
demikian, dalam Munas saat itu, ulama NU sudah merekomendasikan kepada negara
agar segera memfasilitasi terbentuknya perbankan syariah atau perbankan yang
menggunakan asas-asas dan dasar hukum Islami dalam bertransaksi.
3) Majlis Ulama Indonesia MUI)
MUI mengharamkan
bunga bank sejak tahun 2003, Menurut Kiai Ma'ruf, agar masyarakat terhindar
dari hukum haram bunga bank, sementara tetap bisa menyimpan uangnya dengan
aman, Bank Syariah bisa menjadi solusinya. Sebab, hukum keharaman bunga bank
itu tidak sekedar adanya timbal-balik dari simpanan kita, tetapi juga dana yang
kita simpan di bank yang juga digunakan untuk upaya riba. "Dulu, sebelum
ada bank syariah, kita menyimpan dana di bank karena alasan darurat. Kalau
hukumnya ya tetap saja sama, bunga Bank itu ya haram. Kalau sekarang, setelah
ada Bank Syariah, harus dipindahkan Ke Bank Syariah, bank tanpa bunga,"
terangnya.(13)
KESIMPULAN
1)
Bank Syari’ah merupakan
implementasi dari Bank Islam yang berdasarkan Hukum Agama Islam, dengan mentiadakan
bunga atau riba.
2)
Bank Konvensional pada umumnya
yang membedakannya dengan Bank Syari’ah, karena
Bank Syari’ah memakai system bagi hasil sedangkan bank Konvensional
memakai sistem bunga.
3)
Dasar hukum Bank
Syari’ah di Indonesia :
-. UU
Perbankan Indonesia No.7 tahun 1992
-. UU Perbankan No.10 thn 1998
-. Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tgl. 12 Mei 1999.
4)
Produk yang
ditawarkan Perbankan Syariah, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian
yaitu produk penyaluran dana, produk penghimpunan dana dan produk jasa.
5)
Sistem bagi hasil
yang diterapkan dalam Perbankan Syari'ah sangat berbeda dengan sistem bunga, di mana dengan sistem
bunga dapat ditentukan keuntungannya diawal, yaitu dengan menghitung jumlah
beban bunga dari dana yang di simpan atau dipinjamkan. Sedang pada sistem bagi hasil ketentuan keuntungan
akan ditentukan berdasarkan besar kecilnya keuntungan dari hasil usaha, atas
modal yang telah diberikan hak pengelolaan kepada nasabah mitra Bank Sayari'ah.
6. MUI dan Muhammadiyah mengharamkan
adanya Bunga Bank karena hal ini sama dengan riba sedangkan NU masih khilafiyah, ada sebagian yang
membolehkan dengan alasan dharurat ada juga yang mengharamkannya, akan tetapi
semuanya mendukung adanya Bank Syari’ah sebagai lembaga perekonomian yang
berdasarkan Syari’at Islam (tidak ada unsur riba di dalamnya).
7.
Masih bisakah Bank dikatakan Syariah apabila sumber
dana masih dari wadahnya riba?
BIBLIOGPHY
(1) Karnaen Perwata Atmadja dan M. Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank
Islam, Penerbit :
PT. Dana Bhakti Wakaf, Jogyakarta, Cetakan I, 1997. Hlm.1
(2) Muhammad, Lembaga Keuangan umat kontemporer, Penerbit : UII Press,
Yoggyakarta,
2000, Cetakan
I, hlm. 63.
(3) Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, Penerbit :
BPFE-Yogyakarta, 2005, Cetakan I, hlm. 16.
(4) Abdullah
Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam”,
Cetakan Pertama (I), Jakarta, 2004, hal, 198.
(5) Muhammad Syafii Antonio, 2001, Bank
Syariah Dari Teori ke Praktik, Penerbit : Gema Insani Press , Jakarta, hal.
101.
(6) Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan
Syari’ah, Zikrul Hakim, Jakarta, 2003, hal. 39.
(7)
Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : Putra Media Nusantara,
2010), halaman
100.
(8) Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis S.H, Hukum
Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hlm. 48.
(9) Ismail, Perbankan syariah, ( Jakarta : Kencana, 2011), Cetakan I.
(10)
www.voa-islam.com/news/indonesia
No comments:
Post a Comment