Adsafelink | Shorten your link and earn money

Wednesday, June 3, 2020

IMPLEMENTASI KONSEP BAGI HASIL BANK SYARI’AH DI INDONESIA


PENDAHULUAN

Bank Syaria'h di Indonesia mulai digagas di Indonesia pada awal periode 1980-an, di awali dengan pengujian pada skala Bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman, Bandung, sedangkan di Jakarta juga didirikan dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti. Kemudian Majelis Ulama Indonesia (MUI) berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya Bank Syari'ah, yang dihasilkan dari Rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, dan di bahas lebih lanjut dengan serta membentuk tim kelompok kerja pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.

Awal mula berdirinya bank Islam, banyak pengamat perbankan yang meragukan akan eksistensi Bank Islam nantinya di tengah-tengah Bank Konvensional, yang berbasis dengan sistem bunga, yang sedang menanjak dan menjadi pilar ekonomi Indonesia, bank Islam mencoba memberikan jawaban atas keraguan yang banyak timbul. Jawaban itu mulai menemukan titik jelas pada tahun 1997, di mana Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup memprihatinkan, yang dimulai dengan krisis moneter yang berakibat sangat signifikan atas terpuruknya pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi yang mencapai rata-rata 7% per tahun itu tiba-tiba anjlok secara spektakuler menjadi minus 15% di tahun 1998, atau terjun sebesar 22%. Inflasi yang terjadi sebesar 78%, jumlah PHK meningkat, penurunan daya beli dan kebangkrutan sebagian besar konglomerat dan dunia usaha telah mewarnai krisis tersebut.Indonesia telah berada pada ambang kehancuran ekonomi, hampir semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Sektor konstruksi merupakan sektor yang mengalami pertumbuhan negatif paling besar, yaitu minus 40% karena di akibatkan tingkat bunga yang sangat tinggi, penurunan daya beli, dan beban hutang yang sangat besar. Sektor perdagangan dan jasa mengalami kontraksi minus 21%, sektor industri manufaktur menurun sebesar 19%. Semua berakibat dari implikasi krisis moneter yang mengguncang Indonesia.

Kondisi terburuk ditunjukkan oleh sektor perbankan yaitu dengan banyak bank-bank konvensional yang tidak mampu membayar tingkat suku bunga, hal ini berakibat atas terjadinya kredit macet. Dan NPL (Non-Performing Loan) atau Kredit Bermasalah Perbankan Indonesia telah mencapai 70%. Akibat dari hal tersebut, dari bulan juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999, pemerintah telah menutup sebanyak 55 bank, di samping mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya di bantu untuk melakukan rekapitalisasi. Sedangkan bank BUMN dan BPD harus ikut di rekapitalisasi.

Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter, hanya 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah dan dinyatakan sehat, sisanya pemerintah dengan terpaksa harus di likuidasi (dibubarkan).

Salah satu dari 73 bank tersebut, terdapat Bank Mu'amalat Indonesia yang mampu bertahan dari terjangan krisis ekonomi, dan ternyata Bank Mu'amalat adalah Bank yang memiliki sistem tersendiri dari Bank-Bank lain, yaitu dengan memberlakukan Sistem Operasional Bank dengan sistem bagi hasil.

Dengan di awali berdirinya pada tahun 1992 oleh bank yang di beri nama dengan Bank Mu'amalat Indonesia (BMI), sebagai pelopor berdirinya perbankan yang berlandaskan Sistem Syari'ah, kini Bank Syari'ah yang tadinya diragukan akan sistem operasionalnya, telah menunjukkan angka kemajuan yang sangat mempesonakan. Perbankan Syari'ah di Indonesia telah mengalami perkembangan dengan pesat, banyak masyarakat mulai mengenal apa yang di sebut Bank Syari'ah. 

1.            PENGERTIAN BANK SYARI’AH

Bank Syari’ah adalah suatu Lembaga Simpan Pinjam Keuangan yang Berbadan Hukum yang beroperasi dengan tidak mengandalkan operasionalisasinya pada sistim bunga dan lebih berbasiskan kepada ketentuan Agama Islam yaitu berdasarkan Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW.

Dengan kata lain, adalah suatu Bank Islam dalam yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syari’at Islam.

KARNAEN PERWATA ATMADJA dan M. SYAFI’I ANTONIO, mengelompokkan pengertian Bank Syariah menjadi 2 bagian, Bank Syari’ah adalah :

1)            Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam
2)           Bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentun Al qur’an dan Hadits. (1)

Sementara Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syari’ah Islam adalah Bank yang dalam operasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah  secara Islam. Dikatakan lebih lanjut, dalam tata cara bermuamalah itu harus dijahui oleh hal-hal dan praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.(2)


2.       OPERASIONAL BANK SYARI’AH DALAM NILAI FALSAFAH

Dalam Operasional Bank Syariah terkadung filsafat yang dapat menjadi dasar nilai dalam penuntun kita untuk melakukan kerjasama dan menjalin hubungan keuangan dengan Bank Syariah agar niat dan tujuan tetap berada dalam nilai-nilai religious yang benar.

Setiap lembaga keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah SWT untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan lembaga keuangan yang di khawatirkan menyimpang dari tuntutan agama, harus di hindaridengan cara : .(3)

a.           Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya :

1)       Menghindari penggunaan system yang menetapkan di muka secara pasti keberhasilan suatu usaha (QS. Luqman, ayat: 34)

2)     Menghindari penggunaan system prosentasi untuk pembebanan biaya –terhadap hutang atau pemberian imbalan terhdap simpanan yang mengandung unsure meliputi gandakan secara otomatis hutang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Al Imron: 130).

3)        Menghindari penggunaan system perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba No.1551 s.d 1567).

4)         Menghindari penggunaan system yang menetapkan di muka tambahan atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab Riba No.1569 s.d 1572)

b.         Menetapkan system bagi hasil dan perdagangan, dengan mengacu pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275 dan An Nisa’ ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas dasar system bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan mu’amalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi. (4)


3.            PRINSIP-PRINSIP BANK SYARI’AH

Prinsip perjanjian dalam hubungan antara nasabah dengan Bak Syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam, misalnya penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan Syari’ah.

Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan Syari’ah antara lain adalah  :

1.        Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman 
           dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.

2.        Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil 
            usaha institusi yang meminjam dana.

Dalam Agama Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.

Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi diharamkan dalam Islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh Perbankan Syariah. Prinsip Perbankan Syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya.(5)


4.            DASAR HUKUM BANK SYARI’AH DI INDONESIA


Bank Syari’ah di tanah air mendapatkan dasar pijakan yang kokoh setelah disahkan UU Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992, tentang Perbankan,  dimana Bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan-keuntungan bagi hasil.

Selanjutnya dengan dikeluarkannya PP No. 72 tahun 1992 tentang : Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, dengan jelas dalam Pasal 6 Ayat (1) dan (2) memberikan batasan bahwa:

Ayat (1)
Bank Umum atau bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.

Ayat (2)
Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Regulasi ini yang menjadi dasar bagi Bank Syariah dalam menjalan pinsip bagi hasil dalam hubungannya dengan Nasabah, tidak ada lagi beban bunga uang yang ditanggung oleh Nasabah, sehingga unsur Riba yang dilarang Agama Islam tidak berlaku lagi.

Operasional Perbankan Syari’ah semakin meluas lagi hingga mencapai titik kulmulasi (titik puncak) dengan disahkannya UU No. 10 Tahun 1998, tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, perbankan yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan Bank Syari’ah maupun yang ingin mengkonfersi (merubah) system dari System Konvensional menjadi System Syari’ah

UU No. 10 Tahun 1998, tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, telah menghapus keberadaan pasal 6 pada PP No. 72/1992 yang melarang Dual System. Dengan tegas pasal 6 UU No10/1998, melegalkan Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha dengan berdasarkan Prinsip Syari’ah. Selain itu dasar Perbankan Syari’ah juga terdapat dalam UU Perbankan, UURI No. 10 Tahun 1998 ( pasal 1 ayat 12, 13; Pasal 6 huruf m dan pasal 13 huruf c).

Dalam menjalankan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, UU Perbankan tersebut, selanjutnya Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, yakni :

1.  Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;

2.  Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan

3.    Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.

Selanjutnya berkenaan dengan Operasional dan Instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni :

1.    Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;

2.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah; dan

3.   Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI, yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.
.

5.            PRODUK -PRODUK BANK SYARI’AH

Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai Produk Perbankan Syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai berikut :

No.
NOMOR FATWA
TENTANG
1
01/DSN-MUI/IV/2000
Giro
2
02/DSN-MUI/IV/2000
Tabungan
3
03/DSN-MUI/IV/2000
Deposito
4
04/DSN-MUI/IV/2000
Murabahah
5
05/DSN-MUI/IV/2000
Jual Beli Salam
6
06/DSN-MUI/IV/2000
Jual Beli Istishna
7
07/DSN-MUI/IV/2000
Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
8
08/DSN-MUI/IV/2000
Pembiayaan Musyarakah
9
09/DSN-MUI/IV/2000
Pembiayaan Ijarah
10
10/DSN-MUI/IV/2000
Wakalah
11
11/DSN-MUI/IV/2000
Kafalah
12
12/DSN-MUI/IV/2000
Hawalah
13
13/DSN-MUI/IX/2000
Uang Muka dalam Murabahah
14
14/DSN-MUI/IX/2000
Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
15
15/DSN-MUI/IX/2000
Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
16
16/DSN-MUI/IX/2000
Diskon dalam Murabahah
17
17/DSN-MUI/IX/2000
Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
18
18/DSN-MUI/IX/2000
Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS
19
19/DSN-MUI/IX/2000
Al-Qardh
20
20/DSN-MUI/IX/2000
Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah
21
21/DSN-MUI/X/2001
Pedoman Umum Asuransi Syari’ah
22
22/DSN-MUI/III/2002
Jual Beli Istishna Paralel
23
23/DSN-MUI/III/2002
Potongan Pelunasan Dalam Murabahah
24
24/DSN-MUI/III/2002
Safe Deposit Box
25
25/DSN-MUI/III/2002
Rahn
26
26/DSN-MUI/III/2002
Rahn Emas
27
27/DSN-MUI/III/2002
Al-Ijarah al-Muntahiya bi al-Tamlik
28
28/DSN-MUI/III/2002
Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
29
29/DSN-MUI/VI/2002
Pembiayaan Pengurusan Haji LKS
30
30/DSN-MUI/VI/2002
Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah
31
31/DSN-MUI/VI/2002
Pengalihan Utang
32
32/DSN-MUI/IX/2002
Obligasi Syari’ah
33
33/DSN-MUI/IX/2002
Obligasi Syari’ah Mudharabah
34
34/DSN-MUI/IX/2002
L/C Impor Syari’ah
35
35/DSN-MUI/IX/2002
L/C Ekspor Syari’ah
36
36/DSN-MUI/X/2002
Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
37
37/DSN-MUI/X/2002
Pasar Bank Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
38
38/DSN-MUI/X/2002
Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA)
39
39/DSN-MUI/X/2002
Asuransi Haji
40
40/DSN-MUI/X/2003
Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di bidang Pasar Modal
41
41/DSN-MUI/III/2004
Obligasi Syariah Ijarah
42
42/DSN-MUI/V/2004
Syariah Charge Card
43
43/DSN-MUI/VIII/2004
Ganti Rugi (Ta’widh)


Sehubungan dengan Peraturan-Peraturan Perbankan Syariah dimaksud diatas, produk – produk Perbankan Syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu ;

1)            Produk Penyaluran Dana

Dalam menyalurkan dana kepada nasabah, secara garis besar Produk Pembiayaan Syariah terbagi kedalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaan yaitu :

a.            Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang yang dilakukan dengan prinsip jual beli.

b.            Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.

c.            Transaksi pembiayaan untuk usaha kerja sama yang dituju guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.

Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual beli seperti murabahah, salam dan istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa atau ijarah. Sedangkan kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati dimuka. Produk perbankan yang termasuk kedalam kelompok ini adalah musyarakah dan mudhrabah.

Kata Murabahah secara bahasa adalah bentuk  mutual (bermakna: saling) yang diambil dari bahasa Arab, yaitu ar-ribhu (الرِبْŘ­ُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Jadi, murabahah diartikan dengan saling menambah (menguntungkan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua penjual dan pembeli dengan tambahan keuntungan yang jelas. (6)

Murabahah adalah jual belibarang pada harga asal dengan tambahan keuntungan/margin yang disepakati.

Akad yang banyak mendapat penilaian tentang “kehalalan” pelaksanaannya adalah murabahah, yaitu jual beli dengan harga jual terdiri dari harga beli dan keuntungan yang sudah disepakati.(7)

Pada murabahah, penyerahan barang dilakukan pada saat transaksi sementara pembayarannya dilakukan secara tunai, tangguh ataupun dicicil.(8)

Secara bahasa as-salam  atau as-salaf  berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”. (9)

Dalam perjanjian As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam (yang menyerahkan), pihak penjual disebut Al-Muslamuilaihi (orang yang diserahi), dan barang yang dijadikan objek disebut Al-Muslam Fiih (barang yang akan diserahkan), serta harga barang yang diserahkan kepada penjual disebut Ra’su Maalis Salam (modal As-Salam).(10)

Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen / pengrajin / penerima pesanan (shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi  menjadi  tanggung jawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.

Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’  termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’  atas dasar istishan.(11)

Tujuan istishna’ umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti pembangunan proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana jalan. Pembiayaan yang sesuai adalah pembiayaan investasi.(12)

Salam dan Istishna merupakan semacam jual beli yang dibedakan berdasarkan cara pembayaran dan waktu penyerahan barang. Jual beli secara Salam, mekanisme kebalikan dari jual beli secara muajjal atau dalam bisnis umum dikenal dengan advance payment 100% (pelunasan di muka). Jadi pelunasan dilakukan saat transaksi, namun barang baru diserahkan kemudian.

Istishna’ sebenarnya sama dengan Salam, namun sistem pembayaran tidak secara lump sum, tetapi secara bertahap hingga barang yang dibeli diserahkan.

Prinsip jual beli (Ba’i)

Prinsip jual beli diadakan sehubung diadanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti :

Prinsip Sewa (Ijarah).

Secara prinsip, Ijarah sama dengan transaksi jual beli. Hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat. Pada akhir masa sewa dapat saja diperjanjian bahwa barang yang diambil manfaatnya selama masa sewa akan dijual belikan antra Bank dan nasabah yang menyewa (Ijarah muntahhiyah bittamlik/sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan).

2.            Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)

Produk pembiayaan syariah yang didasarkan dengan prinsip bagi hasil adalah :

a)            Musyarakah

Musyarakah adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil. Dalam kerjasama ini para pihak secara bersama-sama memadukan sumber daya baik yang berwujud ataupun tidak berwujud untuk menjadi modal proyek kerjasama, dan secara bersama-sama pula mengelola proyek kerjasama tersebut.

b)           Mudarabah

Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai pemilik modal, dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan Bank untuk melakukan pembiayaan murabahah atau ijarah seperti yang dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan oleh bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati.

3.            Akad Pelengkap 

Untuk memudahkan pelaksanan pembiyaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiyaan. Meskipu tidak ditujukan mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya biaya pengganti ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar benar timbul. 
 
a)    Hiwalah (Alih Utang Piutang)

Hiwalah adalah transaksi pengalihan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah, fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya, sedangkan bank mendapat ganti biaya atas jasa.

b)     Rahn

Rahn, dalam bahasa umum lebih dikenal dengan Gadai. Tujuan akad Rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.

c)     Qardh

Qardh adalah pinjaman uang. Misalnya dalam hal seorang calon haji membutuhkan dana pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Bank memberikan pinjaman kepada nasabah calon haji tersebut dan si nasabah melunasinya sebelum keberangkatan Hajinya.

d)    Wakalah

Wakalah dalam praktek Perbankan syariah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.

e)    Kafalah

Kafalah dalam bahasa umum lebih dikenal dengan istilah Bank Garansi, yang ditujukan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai Rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.


6.           PANDANGAN ULAMA’ MENGENAI BANK SYARI’AH

1)           Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah

Majlis Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1968 memutuskan bahwa bunga bank milik pemerintah termasuk masalah shubhat dan bahkan pada tahun 2006 memutuskan Fatwa Haram. 

Adapun masalah keputusan Tarjih sebagai berikut;

1.          Hasil keputusan hukum harus ditaati namun keputusan masalah sosial ekono
              mi, Majelis Tarjih harus melibatkan pada para ekonom supaya hasilnya bisa 
              membumi dan fatwa haramnya bunga bank tidak perlu ditanfidh.

2.          Bank dibutuhkan dalam dunia perekonomian, berfungsi sebagai intermediary tetapi tidak setuju dengan sistem bunga karena riba dan menimbulkan eksploitasi. Sedangkan adanya bank syari’ah sangat ditunggu umat Islam untuk menghindari bunga.

3.      Masih dibolehkannya menjadi nasabah Bank Konvensional selama Bank Syari’ah belum benar-benar siap dan dengan dasar keterpaksaan/dharurat.

2)            Nahdlatul Ulama (NU)

Dalam musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain. Namun demikian, dalam Munas saat itu, ulama NU sudah merekomendasikan kepada negara agar segera memfasilitasi terbentuknya perbankan syariah atau perbankan yang menggunakan asas-asas dan dasar hukum Islami dalam bertransaksi.

3)            Majlis Ulama Indonesia MUI)

MUI mengharamkan bunga bank sejak tahun 2003, Menurut Kiai Ma'ruf, agar masyarakat terhindar dari hukum haram bunga bank, sementara tetap bisa menyimpan uangnya dengan aman, Bank Syariah bisa menjadi solusinya. Sebab, hukum keharaman bunga bank itu tidak sekedar adanya timbal-balik dari simpanan kita, tetapi juga dana yang kita simpan di bank yang juga digunakan untuk upaya riba. "Dulu, sebelum ada bank syariah, kita menyimpan dana di bank karena alasan darurat. Kalau hukumnya ya tetap saja sama, bunga Bank itu ya haram. Kalau sekarang, setelah ada Bank Syariah, harus dipindahkan Ke Bank Syariah, bank tanpa bunga," terangnya.(13)

KESIMPULAN

1)         Bank Syari’ah merupakan implementasi dari Bank Islam yang berdasarkan Hukum Agama Islam, dengan mentiadakan bunga atau riba.

2)        Bank Konvensional pada umumnya yang membedakannya dengan Bank Syari’ah, karena  Bank Syari’ah memakai system bagi hasil sedangkan bank Konvensional memakai sistem bunga.

3)            Dasar hukum Bank Syari’ah di Indonesia :

 -.            UU Perbankan Indonesia No.7 tahun 1992

-.             UU Perbankan No.10 thn 1998 

-.             Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tgl. 12 Mei 1999.

4)        Produk yang ditawarkan Perbankan Syariah, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu produk penyaluran dana, produk penghimpunan dana dan produk jasa.

5)            Sistem bagi hasil yang diterapkan dalam Perbankan Syari'ah sangat berbeda dengan sistem bunga, di mana dengan sistem bunga dapat ditentukan keuntungannya diawal, yaitu dengan menghitung jumlah beban bunga dari dana yang di simpan atau dipinjamkan. Sedang pada sistem bagi hasil ketentuan keuntungan akan ditentukan berdasarkan besar kecilnya keuntungan dari hasil usaha, atas modal yang telah diberikan hak pengelolaan kepada nasabah mitra Bank Sayari'ah.

6.          MUI dan Muhammadiyah mengharamkan adanya Bunga Bank karena hal ini sama dengan riba sedangkan NU masih khilafiyah, ada sebagian yang membolehkan dengan alasan dharurat ada juga yang mengharamkannya, akan tetapi semuanya mendukung adanya Bank Syari’ah sebagai lembaga perekonomian yang berdasarkan Syari’at Islam (tidak ada unsur riba di dalamnya).

7.           Masih bisakah Bank dikatakan Syariah apabila sumber dana masih dari wadahnya riba? 


 
BIBLIOGPHY

(1)         Karnaen Perwata Atmadja dan M. Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank 
              Islam, Penerbit : PT. Dana Bhakti Wakaf, Jogyakarta, Cetakan I, 1997. Hlm.1
(2)        Muhammad, Lembaga Keuangan umat kontemporer, Penerbit : UII Press, Yoggyakarta,
              2000, Cetakan I, hlm. 63.
(3)      Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, Penerbit : BPFE-Yogyakarta, 2005, Cetakan I, hlm. 16.
(4)     Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam”, Cetakan Pertama (I), Jakarta, 2004, hal, 198.
(5)          Muhammad Syafii Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Penerbit : Gema Insani Press , Jakarta, hal. 101.

(6)       Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, Zikrul Hakim, Jakarta, 2003, hal. 39.
(7)      Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : Putra Media Nusantara, 2010), halaman 100.
(8)          Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis S.H, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hlm. 48.
(9)          Ismail, Perbankan syariah, ( Jakarta : Kencana, 2011), Cetakan I.
(10)        www.voa-islam.com/news/indonesia

No comments:

Post a Comment

https://panel.niagahoster.co.id/ref/331489

My Blog List

Contact Form

Name

Email *

Message *

https://accesstra.de/000y52000kcb