Para pelaku kejahatan biasanya terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan, terutama ke dalam sistem perbankan. Dengan cara demikian, asal-usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Apalagi didukung oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan dengan menawarkan mekanisme lalu lintas dana dalam skala nasional maupun internasional dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Keadaan demikian dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal usul dana yang diperoleh dari hasil illegal yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Pada umumnya perbuatan demikian merupakan dana dari hasil tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang beberapa dekade ini mendapatkan perhatian ekstra dari dunia internasional, karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas Negara.
Dampak-dampak yang dapat disebabkan oleh kedua tindak pidana tersebut di ataspun sangat besar bagi kelangsungan perekonomian, sosial dan budaya suatu bangsa. Sehingga tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money luandering) oleh banyak kalangan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga keduanya mempunyai pengaturan khusus dalam sistem perundang-undangan. Bagaimanapun bentuknya, perbuatan-perbuatan pidana itu bersifat merugikan masyarakat dan anti sosial.
Semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang (money luandering). Tindak pidana pencucian uang (money luandering) tidak berdiri sendiri karena harta kekayaan yang ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan dengan cara integrasi itu diperoleh dari tindak pidana, berarti sudah ada tindak pidana lain yang mendahuluinya (predicate crime).
Pada banyak fakta yang terjadi, pelaku kejahatan ini mencuci uang mereka yang hampir rata-rata diperoleh dari kejahatan hasil korupsi. Dengan berbagai modus dilakukan untuk menghilangkan jejak perbuatannya dengan mencuci uang (money luandering) hasil kejahatan tersebut. Namun demikian, uang atau dana yang diperoleh dari setiap hasil tindak pidana khususnya korupsi, tidak semua dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang. Artinya, perolehan di bawah jumlah lima ratus juta rupiah, tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan tindak pidana pencucian uang (predicate crime), meskipun hal itu dilakukan dengan cara-cara tindak pidana
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Indonesia berlaku secara valid sejak dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang disahkan tanggal 2 Oktober 2010.
Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang perbuatan yang dapat dikategorikan perbuatan Tindak Pidana Pencucian Uang apabila perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah ditentukan dalam UU tersebut, dan objeknya adalah harta kekayaan yang dimilikki oleh seseorang berasal dari tindak pidana juga, dan hal ini diuraikan secara detail dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No. : 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang berbunyi :
"Hasil tindak Pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana :
a. korupsi
b. penyuapan
c. narkotika
d. psikotropika
e. penyeludupan tenaga kerja
f. penyeludpan migran
g. di bidang perbankan
h. di bidang pasar modal
i. di bidang perasuransian
j. kepabeanan
k. cukai
l. perdagangan orang
m. perdagangan senjata gelap
n. terorisme
o. penculikan
p. pencurian
q. penggelapan
r. penipuan
s. pemalsuan uang
t. perjudian
u. prostitusi
v. dibidang perpajakkan
w. di kehutanan
x. di bidang lingkungan hidup
y. di bidang kelautan dan perikanan ; atau
z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Dari Pasal 2 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatas, ternyata ada 26 jenis objek Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu harta kekayaan yang diperoleh dengan 26 cara yang ilegal atau melawan hukum, dan ke 26 jenis kategori perbuatan dalam Pasal Ayat (1) tersebut disebut dengan Tindak Pidana asal (predicate crime) sedangkan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri (independent crime), sehingga hal ini mempunyai konsekuensi yuridis yakni Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dilakukan penuntutan kemudian pengadilan dapat memeriksa dan memutus TPPU tanpa harus terlebih dahulu menunggu putusan dari perkara dari tindak pidana asal (predicate crime).
Berdasarkan Praktik Peradilan selama ini, penerapan Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dilakukan penuntutan secara berdiri sendiri dari tindak pidana asalnya, dan sudah tentu Penuntut Umum melakukan penuntutan atas seorang terdakwa terlepas dari tindak pidana asal dan apabila seseorang lolos dari suatu tindak pidana asal (predicate crime) maka ia belum tentu akan lolos dari penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang TPPU (independent crime).
Ketentuan ini diatur secara tegas dalam Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010, tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang berbunyi ;
"untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidna pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya".
Tipologi Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) apabila kita melihat Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang maka Tindak Pidana ini dapat diklasifikasikan berdasarkan karateristiknya dalam 3 jenis, yaitu :
1. Tindak Pidana Pencucian Uang Aktif
Adalah : Perbuatan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan dengan dan oleh inisiatif pelaku sendiri secara sadar dan sengaja dengan cara-cara yang dimaksud pada :
a. Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menyebutkan ;
- Yaitu : "setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaandipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)".
- Yaitu : "setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)".
Adalah : Perbuatan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan oleh pelaku sendiri secara sadar dan sengaja yang dibantu oleh pelaku pembawa sebab tindak pidana, dan dengan cara-cara yang dimaksud pada :
Pasal 5 UU No. 8 Tahun 2010, tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menyebutkan ;
- Yaitu : "Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tanggungjawab Korporasi sebagai Pelaku dalam TPPU
Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang diatur pula bagaimana kententuannya apabila Tindak Pidana Pencucian Uang dilakukan oleh Korporasi, hal itu di jelaskan dalam Pasal 6 s/d Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menyebutkan sebagai berikut ;
Pasal 6
Ayat (1) :
"dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendali operasi".
Ayat (2):
"Pidana dijatuhkan terhadp korporasi apabila tindak pidana pencucian uang ;
a. dilakukan atau diperintahkan oleh personilpengendali korporasi.
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi.
c. dilakukan sesuaidengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.
Pasal 7
Ayat (1) :
Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Ayat (2) : Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :
a. pengumuman putusan hakim.
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi.
c. pencabutan izin usaha.
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi.
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Pasal 8
Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Pasal 9 (1)Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan. (2)Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Pasal 9
Ayat (1) :
Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.
Ayat (2) :
Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Adapun yang dimaksud Personil Pengendali Korporasi didalam Undang - Undang No. 8 Tahun 2010 ini dijelaskan dalam Pasal 1 angaka 14 yang berbunyi ;
"personil Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau memilikki kewenangan untuk melalakukan kebijakan korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
Dengan kata lain Personil Pengendali Korporasi ini sama dengan Direktur dalam sebuah Badan Hukum Perseroan Terbatas (PT), atau jabatan atau semacam itu bagi badan-badan hukum lainnya yang berlaku di Indonesia.
Ketentuan Kewenangan Hakim Yang diatur Dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU tetapi tidak diatur oleh KUHAP
Ada beberapa ketentuan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi tidak diatur dalam KUHAP, namun ini berlaku sebagai Hukum Acara namun diatur secara khusus dan berlaku khusus dalam TPPU, adapun ketentuan itu adalah sebagai berikut ;
1. Pasal 70
Ayat (1) :
"Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim berwenang memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan penundaan transaksi terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana".
Ayat (2) :
"Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :
a. nama dan jabatan yang meminta penundaan Transaksi
b. identitas Setiap Orang yang Transaksinya akan dilakukan penundaan;
c. alasan penundaan Transaksi; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
b. identitas Setiap Orang yang Transaksinya akan dilakukan penundaan;
c. alasan penundaan Transaksi; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
Ayat (3) :
Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja.
Ayat (4) :
Pihak Pelapor wajib melaksanakan penundaan Transaksi sesaat setelah surat perintah/permintaan penundaan Transaksi diterima dari penyidik, penuntut umum, atau hakim.
Pihak Pelapor wajib melaksanakan penundaan Transaksi sesaat setelah surat perintah/permintaan penundaan Transaksi diterima dari penyidik, penuntut umum, atau hakim.
Ayat (5) ;
Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan penundaan Transaksi kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim yang meminta penundaan Transaksi paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan penundaan Transaksi.
2. Pasal 71
Ayat (1) ;
Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan pemblokiran Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari :
a. Setiap Orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik;
b. tersangka; atau
c. terdakwa.
Ayat (2) :
Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas Setiap Orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau
terdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e. tempat Harta Kekayaan berada.
Ayat (3) :
Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
Ayat (4) :
Dalam hal jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir, Pihak Pelapor wajib mengakhiri pemblokiran demi hukum.
Ayat (5) :
Pihak Pelapor wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima dari penyidik, penuntut umum, atau hakim.
Ayat (6) :
Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim yang memerintahkan pemblokiran paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran.
Ayat (7) :
Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Pihak Pelapor yang bersangkutan.
3. Pasal 72
Ayat (1) :
Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana Pencucian Uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai Harta Kekayaan dari:
a. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik;
b. tersangka; atau
c. terdakwa.
Ayat (2) :
Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lain.
Ayat (3) :
Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dengan menyebutkan secara jelas mengenai :
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas orang yang terindikasi dari hasil analisis atau pemeriksaan PPATK, tersangka,
atau terdakwa;
c. uraian singkat tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
Ayat (4) :
Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disertai dengan: a.laporan polisi dan surat perintah penyidikan; b.surat penunjukan sebagai penuntut umum; atau c.surat penetapan majelis hakim.
Ayat (5) :
Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) harus ditandatangani oleh :
a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah dalam
hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan oleh
penyidik selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik
dan/atau penuntut umum; atau d.hakim ketua majelis yang memeriksa perkara yang
bersangkutan.
Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
Ayat (4) :
Dalam hal jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir, Pihak Pelapor wajib mengakhiri pemblokiran demi hukum.
Ayat (5) :
Pihak Pelapor wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima dari penyidik, penuntut umum, atau hakim.
Ayat (6) :
Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim yang memerintahkan pemblokiran paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran.
Ayat (7) :
Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Pihak Pelapor yang bersangkutan.
3. Pasal 72
Ayat (1) :
Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana Pencucian Uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai Harta Kekayaan dari:
a. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik;
b. tersangka; atau
c. terdakwa.
Ayat (2) :
Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lain.
Ayat (3) :
Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dengan menyebutkan secara jelas mengenai :
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas orang yang terindikasi dari hasil analisis atau pemeriksaan PPATK, tersangka,
atau terdakwa;
c. uraian singkat tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
Ayat (4) :
Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disertai dengan: a.laporan polisi dan surat perintah penyidikan; b.surat penunjukan sebagai penuntut umum; atau c.surat penetapan majelis hakim.
Ayat (5) :
Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) harus ditandatangani oleh :
a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah dalam
hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan oleh
penyidik selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik
dan/atau penuntut umum; atau d.hakim ketua majelis yang memeriksa perkara yang
bersangkutan.
Ayat (6) :
(6) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditembuskan kepada PPATK.
Bibliography :
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, Penerbit ; Fokusindo, Cetakan pertama, Bandung, Juni 2012.
2. Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, ctk. Pertama ( Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 2008 ) hlm. 1.
3. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ctk. Kedelapan ( Jakarta : Rineka Cipta, 2008 ) hlm. 3.
4. N.H.T. Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
2005 ), hlm. 50.
No comments:
Post a Comment