I. PENDAHULUAN
Perdagangan Internasional merupakan satu faktor yang penting dalam meningkatkan kemajuan ekonomi negara-negara di dunia menurut sejumlah ahli. Perdagangan Internasional merupakan Perdagangan yang melibatkan hubungan antara dua negara atau lebih dalam melakukan kegiatan perdagangan Internasional. Sehingga kepentingan yang di libatkan adalah kepentingan Internasional serta pemberlakuan legalitas aturan akan melibatkan penuntutan para pihak meminimalisir kesulitan atau penyelesaian sengketa antara mereka tetapi untuk mencari keuntungan bersama.
Perdagangan Internasional merupakan satu faktor yang penting dalam meningkatkan kemajuan ekonomi negara-negara di dunia menurut sejumlah ahli. Perdagangan Internasional merupakan Perdagangan yang melibatkan hubungan antara dua negara atau lebih dalam melakukan kegiatan perdagangan Internasional. Sehingga kepentingan yang di libatkan adalah kepentingan Internasional serta pemberlakuan legalitas aturan akan melibatkan penuntutan para pihak meminimalisir kesulitan atau penyelesaian sengketa antara mereka tetapi untuk mencari keuntungan bersama.
Jika perekonomian dunia bertujuan untuk
kemakmuran maka perdagangan harus memegang peranan yang vital. Sampai saat ini
tindakan – tindakan Negara di bidang perdagangan luar negeri menundukkan diri
pada sekumpulan peraturan internasional yang rumit, yaitu instrument utama yang
mengatur perdagangan internasional yang merupakan ketentuan –ketentuan pokok
yang termuat dalam “General Agreement Tariff and Trade” (GATT) yang
ditandatangani oleh negera-negara anggotanya pada tahun 1947.
Dan pada tahun – tahun selanjutnya berbagai
penyempurnaan dan penambahan telah dilakukan melalui bebagai persetujuan yang
hal mana sangat bersesuaian dengan apa yang diamanatkan Pasal XXVIII bis GATT
untuk melakukan perundingan-perundingan mengenai tarif dan hal-hal yang terkait
dengannya dari waktu ke waktu.
Tujuh babak perundingan (biasa disebut “round”)
telah diselesaikan yakni di Jenewa (19470, Annecy (1949), Torquai (1950-1951),
Jenewa (1955-1956), the Dillon Round (1960-1961), the Kennedy Round
(1964-1967), dan Tokyo Round (1973-1979). (1) Perundingan – Perundingan terakhir
dalam Uruguay Round telah mencanangkan “Ministerial Declaration of Punta Del
Este” tanggal 20 September 1986.
Dengan tidak mengecilkan arti yang telah dicapai
GATT, hingga kini terdapat suatu masalah besar yang mengancam perdagangan
Internasional dan bahkan eksistensi GATT sendiri, yakni dalam bentuk
ketidakpatuhan (non-compliance) negara-negara terhadap ketentuan – ketentuan
GATT. Menurut sementara pengamat ketidakpatuhan negara-negara terhadap sejumlah
ketentuan GATT ini mulai Nampak sejak tahun 1960-an.(2) “Seven eminent persons”
yang pernah ditunjuk Direktur Jenderal GATT untuk meneliti problema-problema
yang dihadapi sistem perdagangan Internasional dalam laporannya yang terbit
tahun 1985 juga membenarkan bahwa “the trading system itself is suffering
serious and continuing erosion”.(3)
Salah satu alasan yang menimbulkan ketidakpatuhan
yang kian menjadi-jadi adalah kurang berfingsinya mekanisme penyelesaian
sengketa GATT secara efektif. Permasalahan ini telah menempati bagian utama
dari agenda perundingan – perundingan Tokyo Round yang telah menghasilkan
sebuah kode (codes) dengan prosedur penyelesaian sengketa sendiri-sendiri. (4)
Masalah penyelesaian sengketa dan bagaimana memperbaiki sistemnya masih
merupakan satu topic pembicaraan dalam Uruguay Round saat itu.
Selanjutnya makalah ini akan mengulas sejauh mana
GATT dan sejumlah kode yang terutama dihasilkan Tokyo Round telah mengatur
masalah penyelesaian sengketa perdagangan Internasional, kelemahan-kelemahan
serta beberapa alternative untuk memperbaikinya.
II. MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA GATT
II. MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA GATT
A. Struktur Institusional Dalam GATT
Untuk memahami penyelesaian sengketa dalam GATT,kita harus terlebih dahulu memahami Struktur Institusional yang terdapat dalam GATT itu sendiri, sehingga pemahaman akan terefleksi dengan sendiri secara holistic dan komfrehensif.
Beberapa pertanyaan yang akan Penulis kutip dan paparkan disini, yang dapat menuntun pemahaman terhadap GATT, yaitu ;
Apakah GATT itu ? Apakah GATT suatu organisasi internasional atau sekedar suatu perjanjian internasional ? jawaban terhadap pertanyaan ini antara lain bergantung pada defenisi seseorang tentang organisasi internasional. Menurut Schemers(5) suatu organisasi internasional harus memenuhi tiga persyaratan ;
1. Harus didirikan dengan suatu perjanjian internasional.
2. Harus memiliki organ – organ.
3. Harus didirikan menurut hukum internasional.
Namun pendapat para sarjana lainnya menambahkan persyaratan-persyaratan lainnya seperti ;
4. Harus ditujukan pada kerjasama yang berlangsung lama.
5. Anggota-anggotanya harus memiliki tujuan bersama yang ditentukan organisasi.(6)
The GATT didasarkan pada suatu perjanjian internasional. Namun demikian perjanjian ini tidak dimaksudkan untuk menjadi konstitusi sebuah organisasi internasional. Dengan jelas Negara-negara peserta (contracting parties) telah menunjuk kehendak demikian dengan menolak Piagam dari “International Trade Organization” dan Organization for Trade Cooperation”. Ada perjanjian, tapi tidak dimaksudkan untuk membentuk organisasi internasional. Dengan demikian persyaratan pertama tidak terpenuhi. (7)
Persyaratan kedua terpenuhi karena dalam GATT kemudian telah dibentuk berbagai organ yang akan ditinjau dibawah ini. Demikian juga persyaratan-persyaratan lainnya telah terpenuhi. Akan tetapi tidak terpenuhi sayarat yang pertama tetapi tidak dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa GATT sebuah organisasi internasional. Akan tetapi GATT lebih dari sekedar sebuah perjanjian internasional. Tampaknya lebih tepat jika dikatakan bahwa GATT merupakan sebuah organisasi internasional secara de facto.(8)
Organ terpenting dalam GATT adalah CONTRACTING PARTIES yang bertindak secara bersama-sama. Untuk membedakannya dari-“contracting parties” yang bertindak sendiri-sendiri, ia selalu ditulis dalam huruf kapital. Menurut Pasal XXVI : 1 CONTRACTING PARTIES mengadakan pertemuan dari waktu kewaktu untuk memberikan efek terhadap ketentuan – ketentuan persetujuan yang menyangkut tindakan bersama, dan secara umum untuk memungkinkan operasionalisasinya, dalam mengejar tujuan-tujuan bersama. Pertemuan ini biasanya dilakukan setahun sekali.
Kemudian timbul kebutuhan akan suatu badan lain untuk menagani hal-hal yang timbul diantara pertemuan-pertemuan CONTRCTING PARTIES. Maka pada tahin 1960 dibentuklah “Council of Reprentatives” yang selanjutnya disebut Council. Diantara fungsi – fungsinya adalah mempertimbangkan persoalan-persoalan yang timbul diantara pertemuan-pertemuan CONTRCTING PARTIES yang memerlukan perhatian segera, dan melaporkannya kepada CONTRCTING PARTIES berikut rekomendasi tentang tindakan yang harus diambil. The Council itu sendiri terdiri dari wakil-wakil Negara peserta yang bersedia menjadi anggotanya dan berpartisipasi aktif.(9)
Badan lainnya adalah Sekretariat, yang merupakan sisa-sisa dari ITO. Sejak 23 Maret 1965 Kepala Sekretriat tidak lagi disebut Executive Secretary tetapi Direktur Jenderal.(10)
B. Pelanggaran - Pelanggaran
Penyelesaian sengketa merupakan hal yang sangat krusial ketika masyarakat internasional menyadari betapa seringnya peraturan-peraturan GATT dilanggar.
Dengan mengingat realitas politik disebagian Negara-negara anggota GATT, bahkan peraturan –peraturan GATT yang paling dihormati terkadang dikalahkan oleh aspirasi kelompok-kelompok yang memiliki pengaruh politik yang kuat atau akibat timbulnya keadaan-keadaan perekonomian yang khusus. Sejumlah peraturan GATT menurut pengamat sudah tidak berfungsi lagi sejak tahun 1960-an. Penyimpangan-penyimpangan daripadanya telah demikian meluas sehingga kriteria hukum dianggap sudah tidak realistik, dan secara politis tidak mungkin dilaksanakan. (11)
Kondisi dalam negeri yang mendorong suatu Negara untuk mengesampingkan peraturan-peraturan GATT bahkan dapat terjadi di Negara besar pencetus gagasan GATT itu sendiri yaitu Amerika Serikat. Di Negara ini serikat buruh telah berhasil memaksa pemerintahan Amerika Serikat bersikap proteksionis sehingga seorang pengamat GATT pernah mengatakan (12) : The United States appears to have abandoned its commitment to the GATT syatem, reverting to a survival of the fittest mentality, which way well lead to a return to the trade anarchy which characterized the pre-war era”.
Jika para pengamat tersebut diatas menyatakan sejak tahun1960-an sejumlah peraturan GATT sudah tidak berfungsi, “Seven emnent persons” yang pernah ditunjuk GATT lebih ekstrim lagi dan menyebutkan bahwa bidang-bidang tertentu peraturan –peraturan GATT hampir-hampir tidak pernah diberlakukan sejak semula. Di bidang pertanian, misalnya, hampir seluruh Negara membuat kebijkan perdagangan yang tidak selaras dengan ketentuan-ketentuan GATT, sekalipun beberapa diantaranya alasan hukum (legal cover) untuk bertindak demikian.(13)
Banyak pula para pendapat ahli yang menyampaikan bahwa banyak Negara-negara yang mengabaikan peraturan-peraturan perdagangan dan melakukan perjanjian-perjanjian bilateral yang diskriminatif dan eksklusif diluar GATT. Amerika Serikat dan Masyarakat Ekonomi Eropa telah mempertahankan “restraint programmers”, misalnya hampir dengan seluruh pemasok baja mereka, terutama melalui restriksi atas perdagangan ekspor yang dikenakan setelah perjanjian bilateral. Hal-hal seperti ini juga dikenakan terhadap sejumlah besar produk termasuk mobil, mesin-mesin, danbarang-barang elektronik. Jepang yang terkenal dengan ngera yang proteksionisme yang tinggi, karena keberhasilan ekspornya, kemudian Brazil, Hongkong, Korea dan sejumlah Negara lainnya yang sama mencontoh Negara Jepang, mereka juga merasakan hambatan-hambatan terhadap kegiatan ekspornya. Dan sebagaian besar tindakan yang dilakukan sifatnya diskriminatif.
Multi Fiber Arrangement (MFA) merupakan salah satu contoh kesepakatan Negara-negara produsen tekstil untuk mengatur tata perdagangan dunia yang menyimpang dari GATT. Bahkan Menteri Perdagangan Indonesia, Arifin Siregar, pernah mengatakan MFA ini merupakan “suatu penghinaan pada prinsip-prinsip GATT”, dan seharusnya tidak dilanjutkan untuk jangka waktu terbatas.
Hal lain yang juga turut merusak peraturan perdagangan internasional adalah pemberian subsidi oleh negara - negara untuk membantu industry-industrinya. Manakala sebuah perusahaan menerima subsidi dari negaranya, ia memperoleh keuntungan atas saingannya yang tidak di subsidi. Negara yang dirugikan karena subsidi Negara lain akan melakukan pembalasan dengan langkah-langkah protektifnya sendiri. Akibatnya adalah keadaan yang kian lama kian memburuk dan menghambat terciptanya perdagangan bebas.
Menurut analisis “seven eminent persons” tersebut diatas “ in such a disorderly world, trade disputues are nemurous and too frequently unresolved. The inability to resolve trade dispute has a self-fulfilling effect and undermines confidence in the basic rules of trading system”.
C. Penyelesaian Sengketa Menurut Pasal XXII Dan XXII GATT
Dalam dokumen GATT ada 2 Pasal utama yang mengatur penyelesaian sengketa, yaitu Pasal XXII (consultation) dan Pasal XXIII (nullification or impairment). Dari dua ketentuan Pasal tersebut maka jelas bahwasanya prosedur penyelesaian sengketa GATT memberikan kemungkinan yang sangat luas bagi pertukaran informasi dan konsultasi diantara pihak yang sedang bersilang pendapat.
Apabila perbedaan pendapat tidak dapat diselesaikan melalui konsultasi diantara para pihak sendiri atau dengan perantaraan CONTRACTING PARTIES, maka sengketa atau persoalan akan diserahkan kepada CONTRACTING PARTIES sendiri yang akan melakukan penyelidikan, dan memberikan rekomendasi atau putusan pada pihak-pihak yang bersengketa. Jika pelanggaran dianggap serius CONTRACTING PARTIES dapat memberikan kewenangan kepada salah satu pihak untuk menangguhkan pelaksanaan konsesi atau kewajiban-kewajibannya menurut perjanjian terhadap pihak lainnya.
Dalam praktek penyelesaian sengketa atas dasar Pasal XXIII GATT dilaksanakan melalui prosedur panel yang merupakan kebiasaan GATT. Kebiasaan-kebiasaan GATT seperti itu telah dikukuhkan dan dilengkapi dalam sejumlah dokumen yang menyangkut Pasal XXIII tersebut. Yang terpenting adalah “Understanding Regarding Notification, Dispute, Settlement, and Surveillance”, dan “Agreed Description of the Customary Practice of GATT in the field of Dispute Settlement”.
Dalam “Understanding Regarding, Notification, Dispute Settlement and Surveillance” tanggal 28 Nopember 1979 antara lain dinyatakan dalam butir 7 bahwa ; “The Contracting Parties agree that the customary practice of the GATT in the field of dispute settlement, described in the Annex, should be continued in the future, with the improvement set out below…”.(14)
Dalam butir 10 dinyatakan bahwa jika ada suatu Negara peserta yang meminta dibentuknya suatu panel untuk membantu CONTRACTING PARTIES menangani permasalahan, CONTRACTING PARTIES akan memutuskan pembentukan panel tersebut sesuai dengan praktek yang berlaku. Selanjutnya dalam butir 11 disebutkan bahwa apabila telah dibentuk suatu panel, Direktur Jenderal, setelah mendapat persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan, akan mengusulkan komposisi panel yang terdiri dari 3 atau 5 orang anggota tergantung pada kasus yang sedang dihadapi. Usulan ini kemudian disampaikan kepada CONTRACTING PARTIES untuk mendapat persetujuannya. Anggota panel sebaiknya (preferably) dari pihak pemerintah. Warga Negara dan Negara yang sedang bersengketa tidak akan menjadi anggota panel yang memeriksa sengketa tersebut. Direktur Jenderal akan menyimpan suatu daftar dari orang-orang pemerintah maupun non-pemerintah yang dapat menjadi anggota panel. Adapaun tugas panel yang utama (butir 16) adalah membantu CONTRACTING PARTIES melaksanakan kewajiban nya sesuai Pasal XXIII : 2 GATT. Panel harus melakukan penilaian objektif terhadap permasalahan yang dihadapinya. Dalam hubungan ini panel harus berkonsultasi dengan piak-pihak yang bersengketa secara teratur dan memberikan kesempatan agar mereka dapat mencapai penyelesaian yang memuaskan para pihak.
Laporan panel harus diperhatikan oleh CONTRACTING PARTIES dan dalam waktu yang dianggap pantas CONTRACTING PARTIES harus mengambil tindakan.
Prosedur panel ini dirinci dijabarkan lebih lanjut dalam Annex terhadap “Understanding Regarding, Notification, Dispute Settlement and Surveillance”, yakni “Agreed Description of the Customary Practice of the GATT in the field of dispute Settlement (Article XXIII:12)”, yang mana antara lain didalamnya menyinggung prosedur penyelesaian sengketa antara Negara – Negara berkembang.(15)
Pada awalnya tentang penyelesaian sengketa antara negara-negara maju dan negara berkembang telah disepakati pada tahun 1966, yaitu “Decision of April 5, 1966 Concerning Disipute Settlement Between Developed and Less-Developed Parties”. Pada dasarnya putusan 1966 inipun menggunakan prosedur panel. Negara-negara berkembang yang merasa tidak puas, menurut “Decision” ini dapat meminta jasa – jasa baik Direktur Jenderal GATT untuk menyelesaikan perselisihannya melalui konsultasi dengan para pihak. Dan apabila tidak tercapai kesepakatan, Drijen GATT akan memberikan laporannya kepada CONTRACTING PARTIES atau Council yang pada gilirannya akan membentuk panel.(16)
D. Penyelesaian Sengketa menurut NTB Codes
Perundingan perdagangan Tokyo Round telah berhasil membuat sejumlah persetujuan multilateral yang biasa disebut “codes” yang terutama dirancang untuk mengurangi hambatan non-tarif (non-tariff barriers).(17)
Non-Tarif Barriers Codes (NTB Codes) utama yang masing-masing secara yuridis terpisah dari “General Agreement” memiliki prosedur penyelesaian sengketanya sendiri –sendiri. “NTB Codes” yang utama dimaksud adalah ;
1. Agreement on Implementation of Article VII of the General Agreement on Tariffs and
Trade (biasa disebut Custom Valuation Code).
2. Agreement on Government Procurement (biasa disebut Procurement Code).
3. Technical Barriers to Trade (biasa disebut standard Code).
4. Agreement on Implementaion of Article VI, XVI and XXIII of the General
Agreement on Tariffs and Trade (biasa disebut Subsidies Code).
5. Agreement on Implementaion of Article VI of the General Agreement on Tariffs and
trade (biasa disebut 1979 Anti Dumping Code).
Masing-masing prosedur penyelesaian sengketa ini mengikuti prosedur panel yang tradisonal, dengan beberapa perbedaan. Perbedaan-perbedaan kecil membedakan prosedur satu code dari yang lainnya.Diantara “Codes” yang dihasilkan Tokyo Round, barangkali “Agreement Interpretation and Application of Article VI, XVI and XXIII of the General Agreement on Tariffs and Trade” atau yang biasa disebut “Subsidies Code” merupakan yang paling kompleks dan penting diantara persetujuan-persetujuan perdagangan multilateral ini. (18)
Subsidies Code ini dibuat adalah untuk mencegah pemberian subsidi atas produk-produk domestic dan untuk membuat jelas hak-hak Negara pengimpor dalam bereaksi terhadap subsidi asing tersebut melalui penetapan “counter vailing duties”.
Berbagai NTB Codes pada kenyataannya selalu mengikuti prosedur panel dalam penyelesaian sengketa para pihak.
Sebagaimana Pasal XXII dan XXIII GATT, “Subsidies Code” juga mengenal upaya konsultasi, konsiliasi dan penyelesaian sengketa melalui panel.
Dalam Pasal 17 misalnya disebutkan bahwa jika usaha-usaha konsiliasi gagal, penandatanganan perjanjian dapat meminta Komite untuk membentuk panel. Dalam Pasal 18 antara lain dinyatakan bahwa komite akan membentuk panel yang diminta sesuai dengan ketentuan Pasal17:3. Panel akan menyerahkan temuannya kepada Komite. Laporan panel akan segera dipertimbangkan oleh Komite yang pada gilirannya kemudian akan memberikan rekomendasinya dengan maksud untuk menyelesaikan perselisihan. Apabila rekomendasi komite tidak ditanggapi dalam tempo waktu yang dianggap pantas, Komite dapat membenarkan diambilnya suatu tindakan balasan (termasuk penarikan kembali konsesi atau kewajiban-kewajiban GATT). (19)
Jadi dalam “Subsidies Code” Komite dapat bertindak seperti CONTRACTING PARTIES dalam system penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam GATT.
KELEMAHAN – KELEMAHAN DAN BEBERAPA ALTERNATIF PERBAIKAN
A. Kelemahan – Kelemahan
Pertama-tama Penulis ingin menunjukan bahwa dalam Pasal XXIII GATT disebutkan suatu sanksi yakni dalam bentuk penangguhan kewajiban-kewajiban GATT terhdap pihak lain yang terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran. Upaya initernyata mengandung kelemahan serius apabila dibenarkan melakukan retaliasi tersebut adalah sebuah Negara kecil, dan menjadi sasaranya sebuah Negara besar yang secara ekonomi sangat kuat. Ini pernah terbukti dalam sengketa antara Belanda melawan Amerika Serikat. Belanda di izinkan untuk melepaskan kewajiban-kewajibannya dalam GATT agar dapat membatasi jumlah import gandumnya dari Amerika Serikat, sebagai pembalasannya (retaliasi) atas kuota AS tampaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh tindakan Belanda tersebut. (20) Ini membuktikan bahwa retaliasi yang dilakukan oleh Negara yang kekuatan ekonominya tidak seimbang adalah tidak efektif.
Duduknya utusan-utusan Negara sebagai anggota panel tampaknya dapat menjadi kelemahan lain dalam system peyelesaian sengketa GATT. Sekalipun mereka disebutkan akan bertindak dalam kapasitas pribadi dalam praktek akan sulit bagi mereka untuk melepaskan diri dari kepentingan politis negaranya. Dengan demikian tidak dapat diharapkan keluarnya hasil temuan yang objektif dari sengketa yang dihadapi.
Selanjutnya pernah terjadi dimana laporan panel tidak ditanggapi atau dihiraukan oleh Komite dalam rangke penyelesaian sengketa menurut “subsidies code”. Hal ini terjadi dalam “The Wheate Flour Case” dan “The Pasta Case” antara Pihak AS dan MEE. Laporan panel dalam kedua kasus tersebut diumumkan masing-masing pada bulan Maret 1983, baik Komite Subsidi maupun badan-badan GATT lainnya tidak menanggapi laporan tersebut. Hal ini dengan jelas Komite telah mengabaikan keharusan untuk memberikan rekomendasi kepada para pihak dalam temapo waktu 30 hari setelah diterimanya laporan panel.(21) dan dari kedua kasus tersebut berakhir dengan jalan buntu. Hal ini menunjukan bahwa akibat hukum dari temuan panel tak jelas, dan fase implementasi prosedur penyelesaian terlalu longgar. Kelemahan dalam prosedur juga Nampak dalam masalah akses terhadap prosedur panel. Dalam praktek pemerintah yang dilaporkan selalu bisa merintangi atau menangguhkan prosedur panel ini dalam proses sehingga memperpanjang waktu penyelesaian sengketa.
Menurut pratek GATT misalnya Council harus memerintahkan pembentukan paneluntuk setiap kasus, biasanya tindakan ini didasarkan pada consensus sehingga dibutuhkan pula kesepakatan (consent) dari pemerintah Negara yang dilaporkan. Disini terjadi lamanya laporan tersebut mengendap karena Negara yang dilaporkan dapat melakukan penundaan-penundaan kesepakatan tersebut dengan berbagai alasan.
Ketidakjelasan istilah juga merupakan satu kelemahan. Jackson misalnya, menunjuk pada ketidakjelasan pengertian “nullification or impairment” yang justru menjadi judul Pasal XXII dan XXIII GATT dan sejumlah NTB Codes terkait erat dengan kelemahan pada ketentuan –ketentuan GATT yang lain dianggap tidak sesuai lagi.
Robert E. Hudec misalnya, menunjuk pada ketentuan PAsal XIX yang biasa disebut “escape clause provision”. Kemudian juga pada Pasal XI mengenai pebatasan Impor produk pertanian yang banyak tidak dipatuhi, perdagangan produk ini pada umumnya merupakan sumber sengketa dalam GATT.
B. Alternatif Perbaikan
Masalah pembaharuan ketentuan-ketentuan dalam GATT, khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa telah menjadi wacana sejak dahulu. Misalnya Negara-negara berkembang pernah mengajukan usul perubahan atas system penyelesaian sengketa GATT termasuk meningkatkan upaya paksaan terhadap negara-negara maju, seperti retaliasi besar-besaran oleh seluruh negera peserta GATT terhadap pelanggar serta ganti rugi negara-negara berkembang yang dirugikan. Ternyata dalam perdebatan-perdebatan pada tahun 1960-an Negara-negara maju telah banyak menolak ketentuan seperti ini.
Prosedur panel telah menjadi sorotan para pengamat yang ingin melihat mekanisme penyelesaian sengketa GATT berfingsi lebih efektif. Sungguh menarik pendapat yang menyarankan agar laporan-laporan panel itu mengikat secara hokum terhadap para pihak. Jadi bukan sekedar untuk dipertimbangkan oleh CONTRACTING PARTIES atau council atau komite.(22) dan juga sebaliknya anggota panel terdiri dari para pakar non-pemerintah. Hal iniakan mengurangi pertimbangan –pertimbangan yang berbau politis.
Satu alternative lain yang menarik yang pernah diusulkan adalah menggantikan system panel ini dengan suatu system semacam Permanent Court of Arbitration. Dengan istilah ini CONTRACTING PARTIES akan mempunyai suatu daftar arbiter tetap. Manakala timbul suatu sengketa, masing-masing pihak akan menunjuk dua arbiter dari daftar yang ada, dan keempat arbiter tersebut akan memilih seorang “umpire”. Oleh karena itu “tribunal” ini akan berfungsi untuk memeriksa suatu kasus tertentu, ssekalipun ia merupakan lembagayang tetap. Reputasi yang baik dari lembaga ini akan menarik pakar-pakar terkemuka yang pada gilirannya dapat memberikan wibawa padaputusan-putusan lembaga tersebut.(23)
Agak mirip dengan saran tersebut diatas adalah pembentukan suatu lembaga seperti “Textile Surveilliance Body” (TSB) yaitu Dewan Eksekutifdari “Textile Arrangement” (Arrangement Regarding International Tradeand Textile). TSBmemantau hampir segala sesuatu yang terjadi dalam kebijakan perdagangan tekstile, mulai dari ulur perdagangan sampai pada pelanggaran-pelanggaran terhadap pengaturan tersebut. Pada saat berlangsungnya Tokyo Round, TSB juga memiliki reputasi bersikap keras terhadap para pelanggar, dan cukup efektif. TSB mengandung campuran unsur-unsur politis dan yuridis. Para anggotanya adalah pejabat pemerintah dari Negara-negara penandatangan utama. Tugasnya adalah menyelesaikan sengketa dengan cara memuaskan.(24)
Jackson, mempunyai gagasan yang hampir sama. Ia melihat bahwa adanya berbagai mekanisme penyelesaian sengketa di samping mekanisme penyelesaian sengketa menurut Pasal XXIII GATT merupakan suatu kelemahan GATT. Oleh karena itu ia menyarankan dibentuk suatu “unified dispute settlement mechanism” yang dapat diberlakukan atas setiap sengketa perdagangan internasional, baik melalui persetujuan sebelum ataupun sesudah timbulnya persengketaan. Ia bahkan telah menyodorkan sesuatu “outline of a protocol for the resolution of trade and economic dispute” yang cukup sistematik.
Pendapat para sarjana tersebut diatas bukan tidak ditanggapi oleh para pembuat kebijakan perdagangan di Negara-negara anggota GATT. Sebagaimana telah disinggung Penulis diatas pada awal makalah ini Deklarasi para menteri di Punta Del Este tanggal 20 September 1986 yang meluncurkan Uruguay Round telah mencantumkan masalah perbaikan prosedur penyelesaian sengketa telah dibicarakan dalam perundingan-perundingan selanjutnya. Misalnya, dari tanggal 5 sampai 8 April 1989 pertemuan para pejabat tinggi Trade Negotiation Committee di Jenewa telah menyelesaikan “Mid-Term Review of The Uruguay Round yang di mulai di Montreal pada Bulan Desember 1988. Diantara berbagai keputusan yang telah dicapai, perbaikan prosedur penyelesaian sengketa dan dua unsur lain yang terkait terhadap berfungsinya system GATT, yakni “Trade Policy Review Mechanism” dan “increased ministerial involvement” akan segera diberlakukan.(25)
Para menteri Negara - Negara GATT telahmendapat persetujuan CONTRACTING PARTIES dalam hal perbaikan aturan-aturan penyelesaian sengketa dan akan dicoba penerapannya mulai 1 mei 1989 sampai akhir Uruguay Round. Yang paling menarik dari perbaikan yang disepkati ini adalah penyelesaian melalui Arbitrase disamping penyelesaian yang tradisional lewat ketentuan Pasal XXII dan XXIII GATT.
Dinyatakan misalnya : “Expeditious Arbitration within GATT as an alternative menasof dispute settlement can facilitate the solution of certain disputes that concern issues the are clearly defined by both parties”. Setelah pihak-pihak yang bersangkutan sepakat untuk memilih Arbitrase sebagai cara penyelesaian mereka harus mematuhi putusan-putusan.(26)
Masalah pembaharuan ketentuan-ketentuan dalam GATT, khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa telah menjadi wacana sejak dahulu. Misalnya Negara-negara berkembang pernah mengajukan usul perubahan atas system penyelesaian sengketa GATT termasuk meningkatkan upaya paksaan terhadap negara-negara maju, seperti retaliasi besar-besaran oleh seluruh negera peserta GATT terhadap pelanggar serta ganti rugi negara-negara berkembang yang dirugikan. Ternyata dalam perdebatan-perdebatan pada tahun 1960-an Negara-negara maju telah banyak menolak ketentuan seperti ini.
Prosedur panel telah menjadi sorotan para pengamat yang ingin melihat mekanisme penyelesaian sengketa GATT berfingsi lebih efektif. Sungguh menarik pendapat yang menyarankan agar laporan-laporan panel itu mengikat secara hokum terhadap para pihak. Jadi bukan sekedar untuk dipertimbangkan oleh CONTRACTING PARTIES atau council atau komite.(22) dan juga sebaliknya anggota panel terdiri dari para pakar non-pemerintah. Hal iniakan mengurangi pertimbangan –pertimbangan yang berbau politis.
Satu alternative lain yang menarik yang pernah diusulkan adalah menggantikan system panel ini dengan suatu system semacam Permanent Court of Arbitration. Dengan istilah ini CONTRACTING PARTIES akan mempunyai suatu daftar arbiter tetap. Manakala timbul suatu sengketa, masing-masing pihak akan menunjuk dua arbiter dari daftar yang ada, dan keempat arbiter tersebut akan memilih seorang “umpire”. Oleh karena itu “tribunal” ini akan berfungsi untuk memeriksa suatu kasus tertentu, ssekalipun ia merupakan lembagayang tetap. Reputasi yang baik dari lembaga ini akan menarik pakar-pakar terkemuka yang pada gilirannya dapat memberikan wibawa padaputusan-putusan lembaga tersebut.(23)
Agak mirip dengan saran tersebut diatas adalah pembentukan suatu lembaga seperti “Textile Surveilliance Body” (TSB) yaitu Dewan Eksekutifdari “Textile Arrangement” (Arrangement Regarding International Tradeand Textile). TSBmemantau hampir segala sesuatu yang terjadi dalam kebijakan perdagangan tekstile, mulai dari ulur perdagangan sampai pada pelanggaran-pelanggaran terhadap pengaturan tersebut. Pada saat berlangsungnya Tokyo Round, TSB juga memiliki reputasi bersikap keras terhadap para pelanggar, dan cukup efektif. TSB mengandung campuran unsur-unsur politis dan yuridis. Para anggotanya adalah pejabat pemerintah dari Negara-negara penandatangan utama. Tugasnya adalah menyelesaikan sengketa dengan cara memuaskan.(24)
Jackson, mempunyai gagasan yang hampir sama. Ia melihat bahwa adanya berbagai mekanisme penyelesaian sengketa di samping mekanisme penyelesaian sengketa menurut Pasal XXIII GATT merupakan suatu kelemahan GATT. Oleh karena itu ia menyarankan dibentuk suatu “unified dispute settlement mechanism” yang dapat diberlakukan atas setiap sengketa perdagangan internasional, baik melalui persetujuan sebelum ataupun sesudah timbulnya persengketaan. Ia bahkan telah menyodorkan sesuatu “outline of a protocol for the resolution of trade and economic dispute” yang cukup sistematik.
Pendapat para sarjana tersebut diatas bukan tidak ditanggapi oleh para pembuat kebijakan perdagangan di Negara-negara anggota GATT. Sebagaimana telah disinggung Penulis diatas pada awal makalah ini Deklarasi para menteri di Punta Del Este tanggal 20 September 1986 yang meluncurkan Uruguay Round telah mencantumkan masalah perbaikan prosedur penyelesaian sengketa telah dibicarakan dalam perundingan-perundingan selanjutnya. Misalnya, dari tanggal 5 sampai 8 April 1989 pertemuan para pejabat tinggi Trade Negotiation Committee di Jenewa telah menyelesaikan “Mid-Term Review of The Uruguay Round yang di mulai di Montreal pada Bulan Desember 1988. Diantara berbagai keputusan yang telah dicapai, perbaikan prosedur penyelesaian sengketa dan dua unsur lain yang terkait terhadap berfungsinya system GATT, yakni “Trade Policy Review Mechanism” dan “increased ministerial involvement” akan segera diberlakukan.(25)
Para menteri Negara - Negara GATT telahmendapat persetujuan CONTRACTING PARTIES dalam hal perbaikan aturan-aturan penyelesaian sengketa dan akan dicoba penerapannya mulai 1 mei 1989 sampai akhir Uruguay Round. Yang paling menarik dari perbaikan yang disepkati ini adalah penyelesaian melalui Arbitrase disamping penyelesaian yang tradisional lewat ketentuan Pasal XXII dan XXIII GATT.
Dinyatakan misalnya : “Expeditious Arbitration within GATT as an alternative menasof dispute settlement can facilitate the solution of certain disputes that concern issues the are clearly defined by both parties”. Setelah pihak-pihak yang bersangkutan sepakat untuk memilih Arbitrase sebagai cara penyelesaian mereka harus mematuhi putusan-putusan.(26)
KESIMPULAN
GATT adalah suatu pengaturan Perdagangan Internasional
yang sangat kompleks. System penyelesaian sengketa merupakan salah satu
diantara sekian banyak hal yang diatur dalam GATT. Bahwa berhasil tidaknya
suatu perbaikan ini mencapai sasaran yang dikehendaki sangat berhubungan dengan
keberhasilan perbaikan-perbaikan di bidang – bidang lain yang diatur GATT.
Diperlukan keyakinan untuk semua Negara GATT dan dengansegala kekurangan GATT,
akan masih ada alasan untuk merasa optimis, sebagaimana yang diutarakan
Direktur Jenderal GATT, Arthur Dunkel, tatkala mengomentari hasil-hasil
pertemuan Jenewa April 1989 dengan kata-kata :
“I believe that this outcome is good for the Uruguay
roun, good for the participants and, above all, good for the multilateral
trading system”.(27)
SARAN
Dari pemaparan makalah ini, maka saya memberikan
beberapa saran-saran sebagai berikut :
Perdagangan Internasional yang terus melaju dengan
berkesinambungan lebih berjalan dengan baik dan konsisten apabila Negara-negara
anggota dengan tingkat kesadaran yang tinggi untuk dapat saling memegang
teguh tujuan bersama dalam lalu lintas perdagangan internasional yang
disepakati. Dan setiap apa yang telah disepakati dalam penyelesaian sengketa hendaknya dijadikan suatu aturan baru
demi tujuan dan cita-cita bersama. Dan bagi Negara yang melanggar aturan
perdagangan internasional dalam GATT harus diberikan sanksi yang keras,
sehingga menciptakan iklim perdagangan dunia yang kondusif.
Bibliography
- COCCIA, MASSIMO., “Settlement of Dispute in the GATT Under The Subsidies Code : Two Panel Reports on E.E.C. Export Subsidies, dalam Georgia Journal of International and Comparative Law, Vol. 16, No. 1, 1986.
- De KEIFFER, DONALD E., “Foreign Policy Trade Control and the GATT”, dalam Journal of World Trade, Vol. 22, No. , 1988.
- HUDEC, ROBERT E., “GATT Dispute Settlement After the Tokyo Round : An Unfinished Bussiness”, dalam Cornel International Law Journal, Vol. 13, No. 2, Summer 1980.
- JACKSON, JOHN H., “Governmental Disputes in International Trade Relations : A Proposal in the Context of GATT”, dalam Journal of World Trade, Vol. 3, 1979.
- LIER, IRENE H van., : “Supervision within GATT” dalam Supervision in International Economic Organization, edited by P. van Dijk, 1984.
- ROSCHKE, THOMAS E., “The GATT : Problem and Prospects”, dalam The Journal of International Law and Economis, Vol. 12, No. 1, 1977.
- SIMMONDS, K. R., “The Community and the Uruguay Round”, dalam Common Market Law Review, 1988.
- The General Agreement on Tariff and Trade, 1974.
- Decision of April 5, 1966, Concerning Dispute Settlement Between Developed and Less-Developed Parties.
- Understanding Regarding Notification, Concultation, Dispute Settlement and Surveillance, 28 November 1979.
- Agreed Description of Customary Pratice of the GATT in the Field of Dispute Settlement, 28 November 1979.
- Agreement on Interpretation And Application of Article VI, XVI, and XXIII of the General Agreement on Tariff and Trade, 1979.
- Trade Policie For A Better Future, Proposal for Action, GATT, GENEVA March 5, 1985.
Ministerial Declaration of Punta Del Este, 20 SEPTEMBER 1986. - FOCUS, GATT Newsletter, No. 61, May 1989.
- Harian Kompas, 7 Desember 1988.
No comments:
Post a Comment