Adsafelink | Shorten your link and earn money

Thursday, July 23, 2020

Tanggapan Pakar Hukum Dan Politisi Dalam Kasus Djoko Tjandra (Bagian II)


1.     HOTMA SITOMPUL
 
Tanggapan Advokat Senior dalam kasus Djoko Tjandra, Hotma Sitompul, merasa putus asa dan pesimis memperbaiki hukum, hukum katanya sudah baik, tetapi orangnya yang harus diperbaiki. pendapat ini sangat sesuai dengan pendapat pakar hukum dari Belanda yang bernama Prof. TAVERNE mengatakan ; "beri aku hakim yang baik, jaksa yang baik serta polisi yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekalipun akam memperoleh hasil yang baik".

Memang dalam Hukum ada adagium yang mengatakan  "res judicata pro veritate habetur", artinya bahwa semua putusan hakim wajib dianggap benar, kendati secara formal dan materil putusan itu bertentangan dengan undang-undang, dengan kata lain buruknya sebuah putusan pengadilan harus diterima sebagai sebuah kenyataan hukum sebagai satu ideologi etika menilai suatu putusan hakim.

Oleh karena itulah adanya Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang secara yuridis yang menyatakan yang berhak untuk mengajukan PK adalah  terpidana dan ahli warisnya, dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas atau lepas, namun dalam kasus Djoko Tjandra PK tersebut diajukan oleh Jaksa dan kemudian diterima dan bahkan putusannya menyatakan bersalahnya Djoko Tjandra, walaupun ini secara formal dan materil bertentangan dengan hukum yang berlaku, dan dengan adagium dimaksud diatas maka putusan hakim wajib dianggap benar dan harus dijalankan.


https://ir3.xyz/5f197fecc2d59

Permasalahannya sekarang adalah, mana yang harus kita dahulukan mencari hakim, jaksa dan polisi yang baik dulu, baru membuat hukum yang baik ? menurut saya yang terlebih dahulu adalah membuat hukum yang baik setelah itu baru mencari hakim, jaksa dan polisi yang baik tersebut.

Dan hal itu harus dipersamakan dahulu konsep diatas, dan ini amat penting satu persepsi dulu sebagai dasar konsep utama dalam membangun konsep hukum nasional yang baik dimasa yang akan datang, agar tidak terjebak dalam pemahaman bahwa hukum kita sudah baik, namun jika penegakkan hukum tidak berjalan dengan baik maka aparat penegakaan hukum akan menjadi kambing hitamnya.

Kalau kita mau bertanya dalam kasus Djoko Tjandra ini, coba kita tanyakan : Apa sebenarnya yang di cari oleh Djoko Tjandra sebagai Pencari keadilan  (Justitia Belen) sehingga beliau medaftarkan PK terhadap PK Jaksa yang diterima oleh Mahkamah Agung itu? walaupun status nya seorang buron (DPO).

Dalam buku yang di tulis A. MUKTI ARTO, tahun 2001, yang berjudul "Pencari Keadilan-Kritik dan Solusi Terhadap Praktek Peradilan Perdata di Indonesia" yang diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 53, mengatakan, apabila kita cermati sebenar ada 3 (tiga) hal pokok yang diharapkan oleh setiap pencari keadilan terhadap pengadilan yaitu :

1.  Mendapat perlakuan yang adil dan manusiawi.

2.  Mendapat pelayanan yang simpati dan bantuan yang diperlukan.

3.  mendapat penyelesaian atas perkaranya itu secara efektif, efesien, tuntas dan final sehingga
     memuaskan.

Namun lagi-lagi hukum baru memiliki makna setelah ditegakkan, namun kenyataan dilapangan koneksi antara tatanan idealis secera teori (law in the books) dengan tatanan praktis secara praktek (law in action) terjadi deviasi yang jauh, teori dan praktek adalah paradoks antara keinginan, harapan dan cita-cita (das sollen) dengan kenyataan (das sein) sehingga membawa dampak berkurangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap penegakkan hukum dan keadilan (law enforcement) dan lebih parahnya timbulnya indikasi pengkambinghitaman aparat  penegak hukum yang ada, padahal disatu sisi masih dapat kita pertanyakan apakah benar-benar sudah baik sistem peradilan serta peraturan hukum yang berlaku bagi masyarakat di negara kita ini.

Dalam mengajukan sebuah gugatan misalnya, mulai dari pendaftaran gugatan dan pemeriksaan pada tingkat pertama kemudian tingkat banding kemudian tingkat kasasi sering menghabiskan waktu 4-5 tahun lamanya bahkan ada yang lebih, sehingga proses relay panjang itu manalah bisa dikatakan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini terjadi saya rasa faktor kualitas dan kuantitas SDM hakim Agung yang tidak seimbang dengan volume perkara, sehingga membuka peluang KKN dalam mendahulukan sebuah perkara agar cepat diputus sesuai dengan orderan.

Sebuah buku yang ditulis seorang Pengacara yang bernama RE. BARINGBING dalam bukunya mengatakan : "fonemena itu layaknya sebagai hukum rimba di belantara. Siapa yang kuat dialah yang menang. tetapi hukum rimba yang terjadi sekarang,bukan lagi adu oto seperti binatang di rimba raya, melainkan adu kekuatan dengan menggunakan uang. Siapa yang mampu memberikan uang yang paling banyak kepada para penegak hukum di pengadilan, maka ia akan keluar sebagai pemenang, sekalipun ia di pihak yang salah. Hal seperti inilah yang disebut-sebut dengan MAFIA PERADILAN".

Kembali ke Kasus Djoko Tjandra, kaitannya dengan mafia peradilan dimaksud diatas, apakah mungkin adanya tendensi yang kuat sehingga ada penerobosan hukum akibat sakit hati atau balas dendam orderan seseorang ?, sehingga upaya PK yang tidak mesti dilakukan oleh Jaksa ternyata dapat lolos dan bahkan di kabulkan dengan putusan yang kontradiktif dengan putusan pemidanaan kepada Djoko Tjandra sebelumnya yaitu putusannya Onslag, dengan kata lain, mungkinkah Djoko Tjandra di kriminalisasi ? Dunia hukum penuh tanda tanya dan tendensif, bagaimana tidak apabila kejanggalan-kejanggalan sampai mengangkangi peraturan dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum dan diterima pula, konsekuensi logis bagi aparat yang profesi di bidang hukum pasti akan bertanya-tanya seperti itu, bahkan menjadi bahan konsumsi para pengacara dalam luang-luang waktu santai dan serius atau saat-saat coffe morning, mungkin......

https://ir3.xyz/5f18145ba0d7f

Penafsiran Pasal apa mungkin bisa berbeda ? bisa saja sebuah pasal ditafsirkan berbeda-beda bagi masing-masing aparat -aparat hukum, namun yang menyedihkan apabila penafsiran itu berdasarkan kepentingan yang berbeda sehingga akan terjadilah hal dalam kasus Djoko Tjandra ini. Peraturan hanya indah dibaca dalam kodifikasi namun tidak menyentuh pada aplikasinya.

2.     OTTO HASIBUAN


Menurut Otto Hasibuan dalam video ini, kasasi jaksa ditolak lalu jaksa PK, sebenarnya kata lagi, putusan onslag tidak boleh dikasasi menurut peraturannya, apalagi di PK, ini malah PK nya di terima, lantas timbul pertanyaan, ada apa dalam kasus ini ?, mungkin dengan perlakuan hukum dengan cara seperti ini, Djoko Tjandra merasa di zalimi sehingga ia melarikan diri walaupun cara itu salah terpaksa juga ia lakukan.

Selain dari pada itu Otto juga menyinggung tentang carut marut organisasi Advokat di Indonesia, yang semakin kacau, yang seharusnya single bar memang sejak dari awal, sekarang di perbolehkan semua organisasi untuk melakukan penyumpahan advokat.

Dan ia menyinggung tentang Rahasia Jabatan, sehingga dalam kasus ini terdapat debatable, yang pada intinaya, sejak Anita Kolopaking menandatangi kuasa dengan Djoko Tjandra sejak itu pula ia terikat dalam hubungan nya dengan kliennya yang diatur dalam UU Advokat dan ia harus menyimpan rahasia kliennya dan bahkan ia berhak untuk memberikan keterangan sebagai saksi karena jabatannya.   



Bibliography ;

1. A. MUKTI ARTO, "Pencari Keadilan-Kritik dan Solusi Terhadap Praktek Peradilan Perdata di Indonesia", Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.

2. ANTONIUS SUJATA, "reformasi dalam penegakkan hukum", Djambatan, Jakarta, 2001.

3. RE. BARINGBING, "Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi-Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum" Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001.










No comments:

Post a Comment

https://panel.niagahoster.co.id/ref/331489

My Blog List

Contact Form

Name

Email *

Message *

https://accesstra.de/000y52000kcb