"PLATO suggested in the laws that a stong sense of duty would help to prevent corruption"
"PLATO"
Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa korban dalam suatu perbuatan korupsi adalah negara dan rakyat yang berdampak terganggunya perekonomian atau keuangan negara kemudian rakyat yang lemah akan semakin melemah secara ekonomis atau masyarakat rentan secara politis, keadilan tidak merata rakyat tidak berkehidupan dan tidak berpendidikan secara layak di seluruh wilayah Indonesia, perekonomian dan pusaran uang terpusat pada pelaku koruptor saja, para koruptor menjadikan negara dan rakyat menjadi korban, oleh karena itu negara butuh tangan-tangan kuat untuk menumpas perbuatan korupsi untuk lalu bersama-sama memberantas para koruptor sampai ke akar-akarnya.
Berbagai macam modus operandi yang terjadi dalam tindak pidana korupsi merupakan criminal typology yang bersifat kopulatif dan rahasia, misalnya kontraktor memberi suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, gratifikasi, suap-menyuap jabatan, dan lain sebagainya.
Sampai pada hari ini kita melihat banyaknya para koruptor yang tertangkap dan telah mendapatkan berbagai vonis hakim lamanya hukuman pidana penjara yang harus dijalani, telah menunjukan betapa merajelanya perbuatan korupsi itu telah merasuki para pelakunya dari berbagai kalangan, para pelakunya seperti kerasukan setan korupsi dan terus berpindah-pindah dari satu instansi ke instansi lainya.
Korupsi sudah dianggap sebagai kejahatan yang sangat luar biasa atau ”extra ordinary crime”, sehingga kejahatan ini sering dianggap sebagai ”beyond the law” karena melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi kelas atas (high level economic) dan birokrasi kalangan atas (high level beurocratic),
baik birokrat ekonomi maupun pemerintahan. Bayangkan saja, kejahatan
korupsi yang melibatkan kekuasaan ini sangat sulit pembuktiannya, selain
itu kehendak adanya pemberantasan perbuatan ini nyata-nyata terbentur
dengan kepentingan kekuasaan yang sangat mungkin melibatkan para
birokrasi tersebut, akibatnya sudah dapat diperkirakan bahwa korupsi ini
seolah-olah menjadi ”beyond the law” dan sebagai bentuk perbuatan yang ”untouchable by the law.
I. Pengertian dan Istilah
Menurut Pakar Hukum Pidana Prof. Andi Hamzah, kata "Korupsi" berasal dari bahasa latin yaitu "Corruptio" atau "Corruptus", lalu kemudian barulah muncul dalam bahasa Ingris "Corruption", dan bahasa Prancis "Corruption", kemudian bahasa Belanda "Corruptie", untuk bahasa Indonesia "Korupsi", yang secara harfiah memilikki arti "jahat" atau "busuk".
Menurut Webster Student Dictionary adalah "Corruptus", sesungguhnya berasal dari suatu kata latin yang lebih tua yakni corrumpere, yang dapat diartikan sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Dalam studi kejahatan, korupsi bersama-sama dengan prostitusi adalah kejahatan tertua di dunia. Diperkirakan kejahatan korupsi dan prostitusi akan tetap berlangsung selama ada kehidupan di dunia.
Sedangkan korupsi menurut Wikipedia :
Corruption is a form of dishonesty or criminal offense
undertaken by a person or organization entrusted with a position of
authority, to acquire illicit benefit or abuse power for one's private
gain. Corruption may include many activities including bribery and embezzlement.
(Korupsi
adalah suatu bentuk ketidakjujuran atau pelanggaran pidana yang
dilakukan oleh seseorang atau organisasi yang dipercayakan dengan posisi
otoritas, untuk memperoleh keuntungan ilegal atau menyalahgunakan
kekuasaan untuk keuntungan pribadi seseorang. Korupsi dapat mencakup
banyak kegiatan termasuk penyuapan dan penggelapan).
Adapun
istilah korupsi ini pertama kali muncul dalam dunia hukum di Indonesia,
yaitu terdapat dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor :
Prt/Perpu/013/1958, tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi, kemudian
dimasukan lagi dalam UU No. : 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penututan
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, kemudian Undang-Undang ini
dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian diganti lagi menjadi UU
No. 31 Tahun 1999 pada tanggal 16 Agustus 1999, kemudian dirubah dan
diperbaiki dengan UU No. 20 TAhun 2001, tanggal 21 November 2001,
tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
II. Penggolongan Delik
Perbuatan
tindak pidana korupsi yang ada didalam Undang-Undang terdiri dari 30
perbuatan perbuatan secara hukum dapat dijerat dalam tindak pidana
korupsi, dan dari 30 perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana
korupsi dimaksud dapat dibagai menjadi 2 kelompok yaitu :
A. Perbuatan Pidana yang berkaitan dengan :
1. Kerugian Keuangan Negara
- Melawan hukum dan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan dapat merugikan keuangan negara.
- Menyalahgunakan kewenangan untuk keuntungan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan dapat merugikan keuangan negara.
2. Suap-Menyuap
- Menyuap pegawai negeri
- Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
- Pegawai negeri menerima suap
- Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
- Menyuap Hakim
- Menyuap advokat
- Hakim dan advokat menerima suap
3. Penggelapan Dalam Jabatan
- Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan atau membantu melakukan perbuatan itu
- Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi
- Pegawai negeri merusakkan bukti
- Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti
- Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti
4. Pemerasan
- Pegawai negeri menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau mengerjakan sesuatu untuk dirinya
- Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain
5. Perbuatan Curang
- - Pemborong/ahli bangunan berbuat curang
- - Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
- - Rekanan TNI/Polri berbuat curang
- - Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
- - Penerima barang untuk keperluan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
- - Pegawai negeri menyerobot tanah negara, sehingga merugikan orang lain
6. Benturan Kepentingan Dalam Pengadilan
- Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
7. Gratifikasi
- Pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatan/kewenangangannya menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK dalam jangka waktu 30 hari
B. Perbuatan Pidana lain yang berkaitan dengan :
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
2. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
5. Orang yang memegan rahasia jabatan tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
6. Saksi yang membuka identitas pelapor
Dalam
Penuntutan kasus korupsi dalam penerapan pasal Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
UU No. 31 tahun 1999 tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah
pasal yang sering menjerat para koruptor dalam menempati hotel
prodeonya.
Pasal 2 ayat (1):
Pasal 2 ayat (1):
"Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negera atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
semumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
"Setiap orang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewengan, kesempatan, atau
sarana yang ada padanyakarena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan negara atau perekenomian negara, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun)
dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Dalam implementasi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tersebut telah banyak menuai polemik bagi para pakar-pakar hukum, adapun polemik-polemik tersebut diantaranya ;
1. Penerapan Subjek Tindak Pidana
Sering dalam praktek penerapan Pasal 2 ayat (1) ditujukan kepada subjek tindak pidana korupsi untuk pihak swasta atau non pemerintahan, sedangkan penerapan Pasal 3 ditujukan kepada subjek tindak pidana korupsi dari pihak pegawai negeri atau pejabat umum.
Putusan Mahkamah Agung No. 334 K/Pid.Pid.Sus/2009, putusan ini berisikan pembatalan Putusan Pengadilan Negeri Batu Raja No. 146/Pid.B/2007/PN. BTA., yang mana putusan tersebut menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, kemudian Majelis Hakim Mahkamah Agung mengadili sendiri bahwa Terdakwa terbukti telah memenuhi dakwaan subsidair Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat (1) (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No.20 Tahun 2001.
Dari Putusan Mahkamah Agung diatas, maka Pasal 3 UU Tipikor dalam penerapan digunakan untuk menjerat koruptor yang berstus pekerjaan sebagai pegawai negeri dan Pasal 2 ayat (1) digunakan untuk menjerat koruptor dari kalangan pihak swasta.
Dari Putusan Mahkamah Agung diatas, maka Pasal 3 UU Tipikor dalam penerapan digunakan untuk menjerat koruptor yang berstus pekerjaan sebagai pegawai negeri dan Pasal 2 ayat (1) digunakan untuk menjerat koruptor dari kalangan pihak swasta.
2. Penerapan Unsur Melawan Hukum
Penerapan unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 akan menjadi keliru apabila seseorang tidak membedakan secara jelas pakah perbuatan melawan hukum tersebut dalam pengertian Pidana atau Perdata, oleh karena Perbuatan melawanhukum dalam hukum pidana dan perdata berbeda.
Menurut Dosen Universitas Andalas Shinta Agustina dalam bukunya berjudul "Penjelasan Hukum : unsur melawan hukum dalam pasal 2 undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi", menjelaskan bahwa dalam hukum pidana perbuatan melawan hukum dikenal dengan istilah dalam bahasa Belandanya yaitu werderrechtelijk memiliki arti yang sangat luas baik formil maupun materil, yang berarti perbuatan melawan hukum itu bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan dengan azas-azas hukum yang berlaku termasuk hukum tidak tertulis.
Dan apabila dilihat rumusan pasal 2 ayat (1) UU Tipikor termasuk penjelasannya, maka "perbuatan melawan hukum" yang terdapat dalam pasal tersebut adalah perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan materil dalam fungsi positif.
Perbuatan melawan hukum dimaknai dalam arti formil yaitu apabila suatu perbuatan telah memenuhi larangan undang-undang berarti perbuatan melawan dan sifat melanggar hukum telah ada dan untuk pengucualiannya hanya dalam undang-undang semata.
Sedangkan perbuatan melawan hukum dimaknai dalam arti materil yaitu apabila suatu
perbuatan telah memenuhi larangan undang-undang tetapi perbuatan
melawan dan sifat melanggar hukum itu belum tentu bersifat melawan hukum, dan untuk pengucualian perbuatan melawan hukum itu bukan saja ada dalam undang-undang yang tertulis tetapi juga ada dalam hukum tidak tertulis.
Dan apabila perbuatan melawan hukum dinyatakan tegas dalam unsur pasal, maka unsur tersebut harus dibuktikan baik perbuatan melawan hukum dalam pandangan formil maupun dalam pandangan materil.
Sedangkan perbuatan melawan hukum dalam arti materil dalam fungsi negatif memilikki makna yaitu suatu perbuatan melawan hukum meskipun perbuatan itu sudah dirumuskan dalam undang-undang yang berlaku merupakan suatu perbuatan yang melawann hukum dan memenuhi rumusan delik akan tetapi jika rasa keadilan dan kepatutan menghendaki maka perbuatan itu tidak termasuk melawan hukum apabila memenuhi alasan-alasan sebagai berikut ;
a. Kepentingan umum telah dilayani
b. Pelaku tidak mendapatkan keuntungan apa-apa
c. Negara atau masyarakat tidak dirugikan
3. Penerapan Unsur memperkaya Diri Sendiri
Konsekuensi perumusan pasal yang memiliki jangkauan yang luas berdampak kepada unsur pasal "memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menggunakan sarana melawan hukum" telah mengakibatkan banyak perbuatan melawan hukum yang tidak termasuk dalam klasifikasi tindak pidana korupsi dapat dimasukkan kedalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.
Salah satu contohnya Putusan MA No. : 787 K/Pid. Sus/2014, yang mana unsur “setiap orang” pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 dalam Putusan MA Nomor 787 ditafsirkan sebagai commune delicten yang berlaku umum.
Hal ini tidaklah tepat terutama jika ditinjau dari penafsiran historis akan subjek hukum Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999. Pasal tersebut merupakan delik Propria yang pihak non pegawai negeri. Oleh karenanya tidaklah tepat jika Majelis Hakim Agung jika menerapkan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 untuk memidana terdakwa IA selaku Direktur Utama PT IM2. Dalam hal ini UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tidaklah tepat digunakan.
Penggunaan UU Nomor 31 Tahun 1999 dalam perkara ini lebih untuk ditujukan pada aspek pemasukan keuangan negara yang tidak dibayarkan oleh PT IM2 akibat dipergunakannya pita frekuensi radio 2.1 GHz secara melawan hukum.
4. Penerapan Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara
Keuangan Negara secara yuridis yaitu : seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak
dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala
hak dan kewajiban yang timbul karena :
a. Berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggunggjawaban pejabat lembaga
negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.
b.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal
negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan negara.
Selanjutnya dalam praktek sehari-hari di dunia peradilan, muncul permasalahan dalam penerapan unsur ini, yaitu ;
Pertama :
Mengenai defenisi "Keuangan Negara" yang tidak jelas.
dalam penjelasan umum UU No.31 Tahun 1999 telah memberikan defenisi yang panjang mengenai keuangan negara dan perekonomian negara, dan terkait pengertian keuangan dalam penguasaan BUMN, terdapat silang pendapat,apakah termasuk dalam cakupan keuangan negara dalam kaitannya dengan aspek hukum keuangan negara.
Kedua :
Menganai perhitungan dan pembuktian dari kerugian negara atau perekonomian negara yang tidak memilikki standart yang valid mengenai bentuk audit dan bagaimana perhitungan kerugian negara tersebut yang terdapat didalam perkara-perkara tipikor.
IV. Perubahan Delik TIPIKOR
Sebelum adanya Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, Pengertian Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 adalah sebagai Delik Formil, oleh karena dengan adanya kata "dapat" dalam Pasal 2 tersebut dapat menjangkau segala jenis perbuatan yang dapat dikategorikan tindak pidana korupsi dan dengan mudah saja disalah gunakan oleh oknum tertentu demi kepentingan pribadinaya, dan itu akan membuat suatu dampak yang buruk bagi banyak pihak terutama pihak yang mengambil kebijakan atau keputusn diskresi atau pelaksanaan asas freies ermessen yang bersifat mendesak untuk segera diambil dan belum ditemukan landasan hukumnya.
Selain itu para pejabat publik menjadi enggan atau takut mengambil kebijakan atau khawatir akan kebijakan yang diambilnya akan menjadi sebuah perbuatan yang dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi, hal ini akan membuat terganggunya penyelenggaraan proses negara secara umum. Kriminalisasi kebijakan bisa saja terjadi karena adanya perbedaan pemaknaan kata "dapat" dalam unsur pasal "merugikan keuangan negara" oleh para oknum aparat penegak hukum.
Pemaknaan kata "dapat" pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dan dalam prakteknya kata "dapat" menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi para orang yang menduduki jabatan di pemerintahan dalam setiap mengeluarkan keputusan atau tindakan dalam jabatannya karena ancaman delik pidana korupsi sedang menunggunya, karena faktanya, tidak jarang terjadi unsur kerugian negara tersebut baru dihitung setelah adanya penetapan tersangka korupsi.
Tetapi dengan adanya Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, Pengertian Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 maka Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, yang pada awalnya Pasal 2 tersebut telah dikostruksikan secara formil yang mana pasal 2 menikberatkan pada perbuatan sekarang telah menjadi sebuah "Delik Materil", oleh karena Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya telah mengeleminir Frase "dapat" dengan menyatakan kata "dapat" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memilikki kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 2 tidak lagi menitikberatkan pada perbuatan tetapi menitikberatkan kepada akibat..
Kata "dapat" dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor memang sangat membahayakan dan mengancam kepastian hukum, selain itu juga bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi suatu prinsip hukum yaitu harus tertulis (lex scripta) harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta) dan tidak multitafsir (lex certa).
Namun saat ini pasca putusan MK dimaksud diatas Pasal 2 tersebut telah bergeser maknanya menjadi Delik Materil, sehingga kerugian negara menitikberatkan adanya akibat dan kerugian negara bukan lagi didasarkan pada perkiraan kerugian saja ((potential loss), namun kerugian dalan pasal tersebut harus dipahami sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi dan nyata (actual loss) dalam tindak pidana korupsi.
Sehingga setiap adanya dugaan tindak pidana korupsi para aparat penegak hukum tidak boleh langsung memperosesnya sampai adanya kerugian keuangan yang nyata yang harus di hitung atau diaudit oleh pihak yang berwenang, dan kerugian bukan berdasarkan potensial loss tetapi harus actual loss, namun pada kondisi seperti ini sebenarnya masih dapat juga disalah gunakan oleh oknum tertentu demi kepentingan pribadinya terhadap para pelaku yang tidak mengetahui secara baik Pasal 2 UU Tipikor khususnya mengenai adanya pergeseran delik formil menjadi delik materil, karena bila ada kesempatan niat akan menyusul dibelakangnya dan akan berupaya dengan berbagai trik - trik demi kepentingan pribadinya.
Secara yuridis, implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi No. : 25/PUU-XIV/2016 tersebut adalah setiap upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi, khususnya yang menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, unsur Kerugian Negara sudah harus memiliki perhitungan kerugian negara oleh auditor sebelum dilakukan penetapan tersangka. Karena tanpa perhitungan yang real dari auditor negara perbuatan yang disangkakan belum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Mengenai perhitungan kerugian negara ini, menimbulkan masalah, yaitu lembaga mana yang berwenang dalam menentukan perhitungan yang valid dan dapat digunakan sebagai perhitungan yang sah dalam menentukan adanya suatu kerugian negara, apakah BPK, BPKP, akuntan publik atau inspektorat kementrian ? karena tidak jarang terjadi hasil audit BPK berbeda dengan hasil audit BPKB, yang satu menyatakan ada kerugian negara dan yang satu menyatakan tidak terdapat kerugian negara.
Keputusan Mahkamah Konstitusi No. : 25/PUU-XIV/2016, juga sangat mendukung Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang berlaku, sebab kesalahan administrasi yang merugikan keuangan negara belum tentu memenuhi unsur tindak pidana korupsi, sehingga aparatur sipil negara (ASN) yang diduga melanggar peraturan administrasi karena kesengajaan, kelalaian atau tidak patut, baru akan menjadi sebuah Delik Korupsi apabila ada niat jahat (mens rea), dan bukan karena jabatannya, setelah menempuh prosedur penyelesaian hukum administrasi terlebih dahulu.
V. In Absentia Dalam Tindak Pidana Korupsi
In absentia adalah istilah dalam bahasa Latin yang secara harfiah berarti "dengan ketidakhadiran". Dalam istilah hukum, dalam dunia hukum istilah in absentia adalah sebagai upaya mengadili, memeriksa dan memutus suatu perkara terhadap pelaku tindak pidana tanpa dihadiri oleh terdakwa, jadi, Persidangan In Absentian secara umum merupakan suatu proses persidangan yang tidak dihadiri oleh pihak terdakwa dalam perkara acara pidana, In Absentia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memilikki arti "dalam keadaan tidak hadir (tentang seorang tertuduh)", sehinga In Absentia bukan jenis Peradilan namun merupakan suatu kondisi dalam sebuah persidangan yang ada dalam Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Tata Usaha Negara dimana kondisi persidangan dibuka dan digelar tanpa hadirnya Terdakwa atau Tergugat.
Undang-Undang Dasar 1945 melalui beberapa pasal yang mengatur tentang HAM, salah satunya adalah Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Dalam pasal ini terkandung Azas Persamaan Kedudukan di Dalam Hukum. Pasal 27 ayat (1) ini di implementasikan dalam proses peradilan pidana sebagai Azas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence) yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Azas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence) diatur bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan atau didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Tujuan dari azas ini adalah untuk memberi batasan seseorang baik tersangka atau terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Tindakan sewenang-wenang ini berupa upaya paksa dari penegak hukum yang dalam hal ini memungkinkan melanggar HAM tersangka atau Terdakwa.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia, mengenai Persidangan dengan cara In-Absensia ini memang tidak diatur secara jelas. Namun diatur secara eksplisit di dalam Pasal 196 KUHAP yang berbunyi :
1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini
menentukan lain.
2) Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucap
kan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
Dan Pasal 214 KUHAP yang berbunyi :
1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.
2) Dalam hal putusan diucapkan diluar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.
3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register.
4) Dalam hal putusan dijatuhkan diluar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan.
5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.
Penanganan Perkara Tindak Pidana Secara In Absentia, mengangkat permasalahan tentang bagaimana implementasi peradilan in absentia dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi sebagai upaya penyelamatan keuangan negara dan pelaksanaan peradilan in absentia dikaitkan dengan hak asasi manusia. Tujuan dari suatu persidangan secara in absentia, seperti dalam perkara tindak pidana korupsi adalah dalam upaya menyelamatkan kekayaan negara, baik yang telah dikorupsi maupun yang masih diduga ada kaitannya dengan perkara korupsi, baik yang telah disita maupun yang belum disita guna dirampas untuk negara melalui suatu putusan pengadilan, meskipun mungkin ada hambatan dalam pelaksanaan eksekusinya. Selain itu, Peradilan in absentia dilaksanakan agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi, terutama yang berniat melarikan diri. Sedangkan dilihat dari prinsip hadirnya terdakwa di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah didasarkan pada hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri dan mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta bendanya ataupun kehormatannya sehingga dalam persidangan terdakwa dapat melakukan perlawanan atau keberatan atas dakwaan Penuntut umum. Apabila terdakwa tidak memanfaatkan hak tersebut dan terdakwa telah dipanggil secara sah, tidak hadir di pemeriksaan sidang pengadilan tanpa memberikan alasan yang sah, mengacu pada undang-undang tindak pidana tertentu persidangan tetap dilanjutkan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Dengan mengadili secara in absentia sesuai dengan peraturan perundang-undangan sudah tepat demi kepastian hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) tersangka/terdakwa.
Dalam Tindak Pidana Korupsi dijelaskan dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 38 ayat (1) tersebut berbunyi sebagai berikut :
"Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di dalam sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya".
Perkara yang disidangkan secara In Absentia harus dilakukan secara teliti dan penuh dengan kehati-hatian. Hal ini disebakan karena hakim dalam pemeriksaan dipersidangan hanya dapat melihat dari satu pihak saja , yaitu dari pihak penuntu umum. Sehingga sulit sekali menampilkan fakta dan temuan objektif yang dapat melahirkan putusan pengadilan yang adil dan independen. Karenanya persidangan In Absentia harus di diterapkan secara ketat dan tetap harus mengacu pada prinsip-prinsip persidangan yang adil. Adil dalam pengertian ini adalah bahwa hakim dalam memutuskan perkara tetap harus melihat alasan apa yang memungkinkan bagi terdakwa untuk tidak hadir dalam persidangan.
VI. Jenis Korupsi
Dalam dunia hukum korupsi dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yaitu ;
1. Administartive Corruption (Korupsi Administrasi)
Adalah perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam ruang lingkup administrasi. Dan dalam perbuatannya pelaku melakukan pada saat segala sesuatu dijalankan sesuai dengan /peraturan yang berlaku, dan pelaku salah satu individu yang mengambil kesempatan di dalam proses yang sedang berjalan sesuai dengan peraturan.
Contohnya ;
Dalam proses rekruitmen Pegawai Negeri Sipil atau ASN,dimana seleksi dialkukan secara ketat, mulai dari tes kemampuan, seleksi administratif, sampai tes pengetahuan, tetapi yang diluluskan tertentu saja orangnya.
Dalam pemilihan kepala dearah misalnya, dimana pemilihan seakan - akan dilakukan sesuai dengan segalaketentuan hukum yang berlaku, namun untuk calon terpilih sudah ditentukan siapa yang bakal duduk menjadi kepala daerah.
Kita memang tidak tahu disana apakah ada perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi, tetapi dengan keadaan seperti itu sara rasa cukup untuk membuktikan bahwa proses itu dilaksanakan seolah-olah sesuai hukum.
2. Against The Rule Corruption (Korupsi Yang Bertantangan Dengan Hukum)
Adalah perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum tindak pidana korupsi yang berlaku, misalnya ; penyuapan, penyalahgunaan jabatan, memperkaya diri sendiri atau orang lain, dll.
Ketentuan hukum yang berlaku dimaksud tentu saja adalah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dan diperbaharui dengan Udang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
VII. Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Dengan melihat Pasal 2 s/d Pasal 17, Pasal 21 s/d Pasal 24 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dan diperbaharui dengan Udang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka pelaku dalam tindak pidana korupsi adalah "setiap orang" yang dalam hukum frase "setiap orang" berarti adalah "subjek hukum" yang berarti juga orang perseorangan dan korporasi.
Adapun yang dimaksud korporasi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah kumpulan orang atau harta kekayaan yang terorganisir baik itu badan hukum atau tidak.
Badan Hukum di Indonesia terdiri dari ;
1. Perseroan Terbatas (PT.
2. Yayasan.
3. Koperasi.
4. Indonesische Maatcapij op Andalen (IMA)
Perkumpulan Orang terdiri dari ;
1. Firma.
2. Commanditaire Vennotschap (CV).
3. Usaha Dagang.
4. Ormas.
5. LSM.
6. Parpol.
7. dll.
Dengan adanya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dan diperbaharui dengan Udang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka pelaku tindak pidana pada awalnya "barang siapa" meliputi orang perseorangan baik pegawai negeri maupun swasta, menjadi diperluas lagi yaitu termasuk korporasi.
VIII. Perbedaan Suap dan Gratifikasi
Perbuatan Suap dan Gratifikasi merupakan dua tindak pidana yang termasuk dalam kategori perbuatan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengenai Tindak Pidana Suap diatur dalam Undang - Undang No. 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap, didalam Undang-Undang ini di golongkan orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap, kedua-duanya merupakan kejahatan yang di kenakan pidana yang berbeda.
Dalam pemilihan kepala dearah misalnya, dimana pemilihan seakan - akan dilakukan sesuai dengan segalaketentuan hukum yang berlaku, namun untuk calon terpilih sudah ditentukan siapa yang bakal duduk menjadi kepala daerah.
Kita memang tidak tahu disana apakah ada perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi, tetapi dengan keadaan seperti itu sara rasa cukup untuk membuktikan bahwa proses itu dilaksanakan seolah-olah sesuai hukum.
2. Against The Rule Corruption (Korupsi Yang Bertantangan Dengan Hukum)
Adalah perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum tindak pidana korupsi yang berlaku, misalnya ; penyuapan, penyalahgunaan jabatan, memperkaya diri sendiri atau orang lain, dll.
Ketentuan hukum yang berlaku dimaksud tentu saja adalah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dan diperbaharui dengan Udang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
VII. Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Dengan melihat Pasal 2 s/d Pasal 17, Pasal 21 s/d Pasal 24 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dan diperbaharui dengan Udang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka pelaku dalam tindak pidana korupsi adalah "setiap orang" yang dalam hukum frase "setiap orang" berarti adalah "subjek hukum" yang berarti juga orang perseorangan dan korporasi.
Adapun yang dimaksud korporasi dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah kumpulan orang atau harta kekayaan yang terorganisir baik itu badan hukum atau tidak.
Badan Hukum di Indonesia terdiri dari ;
1. Perseroan Terbatas (PT.
2. Yayasan.
3. Koperasi.
4. Indonesische Maatcapij op Andalen (IMA)
Perkumpulan Orang terdiri dari ;
1. Firma.
2. Commanditaire Vennotschap (CV).
3. Usaha Dagang.
4. Ormas.
5. LSM.
6. Parpol.
7. dll.
Dengan adanya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dan diperbaharui dengan Udang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka pelaku tindak pidana pada awalnya "barang siapa" meliputi orang perseorangan baik pegawai negeri maupun swasta, menjadi diperluas lagi yaitu termasuk korporasi.
VIII. Perbedaan Suap dan Gratifikasi
Perbuatan Suap dan Gratifikasi merupakan dua tindak pidana yang termasuk dalam kategori perbuatan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengenai Tindak Pidana Suap diatur dalam Undang - Undang No. 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap, didalam Undang-Undang ini di golongkan orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap, kedua-duanya merupakan kejahatan yang di kenakan pidana yang berbeda.
Pemberi Suap atau Suap Aktif, diatur dalam Pasal 2, yang berbunyi sebagai berikut ;
"Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah)".
Pemberi Suap atau Suap Pasif, diatur dalam Pasal 3, yang berbunyi sebagai berikut ;
"Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwapemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)".
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (Penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor).
Jadi, selain pengaturan suap dan gratifikasi berbeda, definisi dan sanksinya juga berbeda. Dari definisi tersebut di atas, tampak bahwa suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Jika melihat pada ketentuan-ketentuan tersebut, dalam suap ada unsur “mengetahui atau patut dapat menduga” sehingga ada intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam kebijakan maupun keputusannya. Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Gratifikasi diartikan sebagai sebuah pemberian dalam arti yang lebih luas dan bukan janji. Di dalam penjelasan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. "Gratifikasi itu sendiri di dalam konteks birokrasi kita itu sebetulnya ada semacam aturan. Namun, gratifikasi dapat berubah menjadi suap apabila dalam jangka waktu tertentu barang gratifikasi yang diterima tidak dikembalikan kepada negara. Sehingga, keberadaan barang gratifikasi tersebut turut mempengaruhi pembentukan sebuah kebijakan. "Kalau itu sudah berubah menjadi penerimaan dan mempengaruhi kebijakan maka sudah menjadi suap di situ.
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12b ayat (1), setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: yang nilainya Rp. 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pembuktian terbalik); yang nilainya kurang dari Rp. 10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penuntut umum.
Dapat dikatakan bahwa SUAP adalah pemberian atau janji yang terjadi antara pemberi suap dan penerima suap saat mereka melakukan kerjasama, dengan maksud agar penerima suap melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban yang harus ia jalankan, dan hal ini bersifat transaksional.
Sedangkan GRATIFIKASI adalah pemberian dalam arti luas namun bukan sebuah janji, dan hal itu bisa terjadi sebelum dan sesudah kerjasama antara pemberi dan penerima gratifikasi, dan sifatnya non-transaksional, dan hal semacam itu, gratifikasi ini sebagian ahli menyebutnya dengan istilah "suap yang tertunda", contohnya ; pemberian tiket pesawat atau pemberian fasilitas liburan keluarga kesuatu daerah dengan fasilitas secara komplit, dll., yang mana pemberian ini bisa terjadi sebelum kerjasama berjalan tetapi fasilitas telah dinikmati oleh penerima gratifikasi, sehingga kelak bisa mempengaruhi dalam melakukan kewajibannya sesuai dengan keinginan pemberi gratifikasi.
Bibliography :
1. https://en.wikipedia.org/wiki/Corruption
2. https://www.slideshare.net/Poenta/30-delik-korupsi-dalam-uu-tipikor
3. https://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/viewFile/33/31
4. http://lppm-unissula.com/jurnal.unissula.ac.id/index.php/jhku/article/viewFile/1882/1426
5. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58b107c37432b/memahami-kembali-delik-formil-
pada-pasal-2-dan-pasal-3-uu-tipikor/
6. https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=34&idke=0&hal=1&id=3394&
bc=
7. https://www.neliti.com/publications/3071/persidangan-tanpa-kehadiran-terdakwa-in-absentia
8. MIMBAR HUKUM, Volume 31, Nomor 1, Februari 2019.
9. Indriyanto Seno Adji, 2007, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana, CV. Diadit
Media, Jakarta.
10. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl3369/perbedaan-antara-suap-dengan-
gratifikasi/
11. https://nasional.kompas.com/read/2020/01/21/20413941/polemik-vonis-romahurmuziy-ini-beda-
gratifikasi-dan-suap?page=all
No comments:
Post a Comment