Adsafelink | Shorten your link and earn money

Monday, August 31, 2020

SEJARAH UNDANG-UNDANG (PEMBERANTASAN) TINDAK PIDANA KORUPSI

 

Pasca Negara Republik Indonesia memproklamirkan Kemerdekaanya 17 Agustus 1945, negara Idonesia belum langsung dalam keadaan stabil namun keadaan masih dalam pembenahan di berbagai lini instansi pemerintahan, ekonomi, sosial, politik, hukum dan keadilan, bahkan negara penjajah kembali ingin menguasai Negara Indonesia, sehingga kondisi yang sering dihadapi pemerintahan adalah kondidi-kondisi darurat.

Ada suatu kondisi pada waktu itu yaitu pada tahun 1957, seluruh wilayah Negara Repbilik Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang yang mana pada saat itu keadaan perang tersebut telah dikeluarkan dalam bentuk undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 Jo Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957, kemudian dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat, tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/013/1958 serta peraturan-peraturan pelaksanaannya dan Peraturan Penguasa Perang/Kepala Staf Angkatan Laut, Tanggal 17 April 1958, Nomor Prt/Z/I/7.  

Dengan adanya keadaaan mendesak dan perlunya diatur dengan sesegera mungkin, maka atas dasar Pasal 96 ayat (1) UUDS 1950, Penggantian Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut ditetapkan pula dalam Peraturan Peraturan Perundagan-undangan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 Tentang, Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian  atas dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 Tentang Pegusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
 
Dalam Penerapannya ternyata Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 Tentang Pegusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, tidak berjalan sebagaimana mestinya dan hasil yang dicapai belum maksimal, sehingga diganti lagi dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Perjalanan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lebih dari dua dasawarsa, tidak juga sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, apalagi terjadi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan penyelenggara dan pengusaha semakin menjadi-jadi. Dan kemudian sepatutnya jika kemudian MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara saat itu menetapkan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, kemudian ditetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberrantasan tindak pidanakorupsi yang dilakukan dengan tegas, dengan melaksanakannya secara konsisten Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian atas dasar TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 inilah ditetapkanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mulai efektif berlaku tanggal 16 Agustus 1999, dan dimuat di Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 140 Tahun 1999, dan sejak itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dalam kurun waktu kurang lebih tiga tahun kemudian setelah itu diadakan perubahan terhadap   Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan dimuat di Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 134 Tahun 2001, dan mulai berlaku sejak tanggal 21 Nopember 2001.

Adapun alasan-alasan diadakan perubahan/penambahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah ;

1.    Untuk menjamin kepastian hukum yang lebih maksimal.
2.    Menghindari interprestasi hukum yang beragam.
3.    Memberikan proteksi terhadap ekonomi dan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
4.    Pemberlakukan equality before the law secara adil, dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Dengan diadakannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tentu sangat diharapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat lebih mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas perbuatan-perbuatan korupsi yang terjadi di pemerinatahan dan masyarakat.
 
Dan untuk mewujudkan usaha mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi tersebut, didisusul di keluarkan lagi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian dikeluarkan juga Instruksi Presiden RI Nomor 5 Tahun 2004 Tentang percepatan Pemberantasan Korupsi.

Upaya Pemberantasan dan pencegahan Korupsi di Negara Indonesia semakin maksimal dengan dilengkapinya pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yaitu merupakan sebuah ratifikasi dari United Convention Against Corruption (UNCAC) yang merupakan Konvensi Anti Korupsi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mana tidak menutup kemungkinan adanya perubahan untuk penyesuaian antara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dan diperbaiki oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terhadap ratifikasi UNCAC tersebut.


Thursday, August 27, 2020

PENYEBAB-PENYEBAB PERILAKU MANUSIA BERBUAT KORUPSI


https://news.harianjogja.com/read/2018/09/11/500/939091/psikolog-tak-tahu-malu-hanya-di-indonesia-koruptor-wajahnya-cengar-cengir

ETIMOLOGI "KORUPSI"

Secara etimologi kata "Korupsi" yang kita kenal sekarang,  itu berasal dari bahasa latin yaitu kata "Corruptio" (Fockema Andreae :1951) atau "Corruptus" (Webster Student Dictonary;1960), kata "Corruptio"  itu sendiri berasal pula dari kata asal "Corrumpere" yaitu sebuah kata dari bahasa latin yang sangat tua, kemudian dari kata itu turunlah ke berbagai banyak bahasa di negara belahan dunia ini, dan arti harfiah kata korupsi itu sendiri adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, menghina, memfitnah, jadi arti kata korupsi itu sangat luas sekali.

Kata "Korupsi" dapat pula di artikan sebagai suatu yang pada awal baik kemudian berubah menjadi rusak, sehingga Korupsi itu identik dengan kepribadian seseorang yang semula pribadi yang baik dan bermoral kemudian berubah menjadi pribadi yang menyimpang dan tidak bermoral, telah terjadi pembusukan di dalam dirinya dan menyimpang dari nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Pribadi seseorang yang telah rusak kemudian mendorong dirinya untuk melakukan berbagai macam perilaku-perilaku buruk, rusak dan hancur. Dengan demikian Korupsi tidak semata hanya berkaitan dengan aspek hukum dan ekonomi saja, tetapi menyangkut juga aspek perilaku manusia.

Sebenarnya budaya korupsi telah ada sejak zaman nabi Adam turun kemuka bumi ini,  era babilonia, Yunani, Romawi, Cina, Ibrani dan Mesir Kuno, bahkan pada zama Raja Hammurabi (Babilonia) pernah mengeluarkan aturan yang melarang praktik penyuapan dikalangan rakyatnya dengan mengeluarkan Hukum Hammurabi, begitu juga di kerajaan Assyiria (1400 SM) telah ditemukan bahwa terdapat pelayanan publik yang menerima suap dengan melibatkan pegawai senior dan keluarga dekat kerajaan.

Pada Zaman Nabi Muhammad Saw sampai zaman kekhalifahan terus berlangsung perilaku korup ini, bahkan pada zaman khalifah Umar Bin Khattab dilakukan perhitungan harta kekayaan para pejabat kekhalifahan sebelum dan ketika menjabat dan apabila terdapat kekayaan yang tidak wajar  atau tidak sesuai dengan gaji yang diterima maka harta kekayaan tersebut akan disita dan menjadi harta Baitul Maal.

 

DEFENISI "KORUPSI"

Defenisi Korupsi sangat bervariasi, berikut saya kutip defenisi-defenisi dari berbagai negara di dunia, sebagai berikut ;

1.        AMERIKA

Menurut Encyclopedia Amerika, Korupsi adalah melakukan tindak pidana memperkaya diri sendiri yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan/perekonomian negara.

 

2.        MEKSIKO

Corruption is acts of dishonesty such as bribery, graft, conflict of interst negligence and lock of effeciency that require the planning of specific strategies it is an illegal inter change of favors.

 

Korupsi adalah tindakan ketidakjujuran seperti penyuapan, gratifikasi, konflik kelalaian kepentingan, dan kunci efisiensi yang memerlukan perencanaan strategi khusus merupakan pertukaran keuntungan ilegal.

 

3.        RUSIA

Corruption as : a system of certain relatuions based anlawful deals of officials to detriment of the state and public interests ther motives maybe variegated.

 

Korupsi sebagai suatu sistem hubungan tertentu yang melanggar hukum dari semua aparat negara yang melanggar kepentingan negara dan masyarakat, dengan motivasi yang beraneka ragam).

 

4.        THAILAND

Corruption as : behaviour of public servant that are condemned by law.

 

Korupsi adalah perilaku yang dilarang oleh undang-undang bagi pegawai negeri atau pemerintahan.

 

5.        PHILIPINA

Perbuatan Korupsi mempunyai kategori sebagai berikut ;

 

a.         Penyalahgunaan wewenang terhadap dana masyarakat (malversation of public fund).

b.         Pemalsuan dokumen-dokumen (falsification of public documents).

c.         Suap-menyuap (bribery).

 

Berikut saya kutip defenisi-defenisi Korupsi dari berbagai para ahli di dunia, yang berkaitan dengan Korupsi pada konsep jabatan dalam pemerintahan, sebagai berikut ;

 1.       BARLEY

Menurut Barley kata "Korupsi" diakitkan dengan kegiatan penyuapan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.

 

2.        M. Mc. CULLAN

Menurut M. Mc. Cullan, seorang pejabat pemerintah dikatakan korup apabila dia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang dia bisa lakukan dalam tugas jabatannya, padahal dia selama menjalankan tugasnya dia tidak seharusnya berbuat seperti itu.

 

3.        J.S. NYE

Menurut J.S. Nye, Korupsi adalah sebuah perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal dari suatu peranan jabatan di pemerintahan, karena kepentingan pribadi, golongan, gengsi dan mencari pengaruh untuk kepentingan pribadi.

 

Berikut saya kutip defenisi-defenisi Korupsi dari 2 orang ahli di dunia, yang berkaitan dengan Korupsi yang dihubungkan dengan teori pasar, sebagai berikut ;

 1.       JACOB VAN KLAVEREN

Menurut Jacob Van Klaveren, Bahwa seorang pegawai negeri/pejabat pemerintahan yang memilikki jiwa korup menganggap kantor jawatannya akan diusahakan semaksimal mungkin, besar hasil yang diperoleh akan tergantung kondisi pasar dan kemahirannya dalammenemukan titik maksimal permintaan pasar (demand).

 

2.        ROBERT TIMAN

Menurut Robert Timan, Bahwa korupsi itu menyangkut pergeseran dari model penentuan harga yang dilepas ke pasar bebas. Pembeli akan mengambil risiko yang sudah ia ketahui dan membayar harga yang lebih tinggi agar terjamin untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dan di inginkan.

 

Berikut saya kutip defenisi-defenisi Korupsi dari 2 orang ahli di dunia, berkaitan dengan Korupsi yang berorientasi pada kepentingan umum, sebagai berikut ;

 1.       CARL J. FREIDRICH

Menurut Carl J. Freidrich, bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila pemegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu, membujuk untuk mengambil langkah-langkah tidah sah, yaitu menolong siapa saja yang memberikan hadiah dan tindakan itu sangat membahayakan kepentingan umum.

2.        ARNOLD A. REAGEN & H.D. LASSWELL

Menurut Arnold A. Reagen & H.D. Lasswell, bahwa perbuatan korup adalah perbuatan penodaan terhadap sistem tata tertib umum atau warga negara dengan perbuatan yang bertentangan dalam sistem tersebut, dan penodaan itu bertujuan untuk mendapatkan manfaat dan keuntungan diri sendiri.

 

Berikut saya kutip defenisi-defenisi Korupsi dari diluar defenisi ahli dan diluar defenisi dari berbagai negara, sebagai berikut ;

1.        OXFORD ENGLISH DICTONARY (OED)

  

Mengatakan bahwa defenisi dan arti korupsi itu di kategorikan dalam dua kelompok, yaitu ;

 

1.1.      Secara fisik, misalnya ; perbuatan pengrusakan, perbuatan menimbulkan pembusukan dengan cara yang menjijikan dan tidak masuk akal.

 

1.2.       Secara Moral, bersifat politis yaitu membuat korup moral seseorang atau fakta kondisi korup yang terjadi dalam masyarakat, penyelewengan norma-norma lembaga sosial tertentu atau norma-norma yang ada dalam dalam masyarakat.

 

2.               OXFORD UNABRIDGED DICTONARY

Bahwa korupsi adalah penyimpangan atau pengrusakan integritas dalam pelaksanaan tugas-tugas publik dengan cara penyuapan dan balas jasa.

 

3.        WORLD BANK

Bahwa korupsi adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan pribadi (the abuse of public for private gain).

 

4.        TRANSPARENCY INTERNAIONAL (TI)

Bahwa Korupsi melibatkan perilaku oleh peagawai di sektor publik, baik politikus, pegawai negeri, dimana mereka dengan tidak pantas melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang telah dipercayakan kepada mereka.

 

5.        ASIAN DEVELOPMENT BANK (ADB)

Bahwa korupsi melibatkan perilaku yang dilakukan oleh sebagain pegawai sektor publik dan swasta, dimana mereka secara tidak patut dan melawan hukum memperkaya diri sendiri dan orang terdekat mereka, atau membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal itu, dengan menyalahgunakan jabatan mereka.

    

Sebenarnya masih banyak defenisi korupsi yang dapat kita ambil dari berbagai banyak negara serta dari berbagai kalangan para ahli, namun penulis hanya mengambil untuk dasar pembahasan tindak pidana korupsi dalam kesempatan ini, namun tak kalah pentingnya ada satu defenisi korupsi yang dapat saya ambil dari seorang ahli yang bernama Samuel Hutington, dalam bukunya berjudul "Poltical Order in Changing Sociaties"  yang mendefenisikan korupsi sebagai berikut ; Corruption as ; behavior of public officials with deviates from accepted norms in order to serve private ends (1968;59)".

Dari defenisi korupsi manapun juga kita ambil, maka jelas kita lihat dan pahami bahwasanya korupsi bukan saja menyangkut aspek hukum dan ekonomi saja tetapi menyangkut kepada aspek perilaku (behavior), Norma (Norms) yang hidup dan dianut dalam kehidupan masyarakat.

 

KORUPSI DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

Korupsi dalam perspektif budaya adalah sesuatu yang dianggap biasa karena sering dilakukan berulang-ulang baik secara sadar maupun tidak sadar dalam kegiatan sehari-hari, dan perbuatan  itu sudah ada pula dari sejak zaman dahulu, contohnya pada zaman kerajaan-kerajaan dahulu sering terjadi pejabat-pejabat kerajaan menerima upeti-upeti dari rakyat nya agar mendapatkan perlindungan, kemudian di zaman penjajahan sering pula penjajah Belanda dan penjajah lain dalam menyebarkan pengaruh serta tujuannya terhadap masyarakat Indonesia maupun pada kerajaan-kerajaan nusantara, mereka melakukan tindakan dan perilaku-perilaku korup, dengan cara memberikan imbalan, keistemewaan, kedudukan, pangkat, jabatan kepada orang-orang/masyarakat yang bersedia diajak berpihak kepada penjajah. Danperilaku itu terus bergulir dari generasi-kegenerasi sampai saat ini, yaitu saat gencar-gencarnya memberantas budaya korupsi tersebut.

Dan dari hasil pengamatan saya dari hari-kehari, berikut dapat saya rangkumkan beberapa perilaku yang merupakan fonomena koruptif yang sering terjadi dan dianggap suatu kebiasaan yang berujung pada korupsi :

 

1.       Kebiasaan masyarakat yang sering memberikan tips atau uang pelicin kepada petugas-petugas yang berwenang dalam suatu urusan terntentu, agar mendapatkan kemudahan dalam pelayanan, kebiasaan ini dimulai dari nilai individu yang memandang hal tersebut sebuah budaya dan kebiasaan yang wajar, namun tanpa disadari dapat menyuburkan perilaku korupsi.

 

2.     Orang tua siswa yang memberikan uang atau hadiah kepada guru/panitia sebagai ucapan terima kasih karena anaknya telah dibantu masuk sekolah atau perguruan tinggi.

 

3.       Kemungkinan, adanya Pemberian uang kepada panitia atau kepada orang-orang tertentu, sebagai tanda terima kasih karena telah membantu anaknya diluluskan menjadi pegawai negeri.

 

4.       Pemberian uang kepada RT/RW dalam pengurusan surat-surat tertentu dan pengurusan KTP, walaupun jumlahnya mungkin dianggap sedikit, namun perilaku itu telah menyuburkan perasaan untuk membuat budaya korupsi.

 

5.      Tidak menutup kemungkinan banyak pula, dalam promosi jabatan dan kedudukan di berbagai instansi pemerintahan, bisa saja terjadi budaya untuk setor-menyetor kepada pihak yang paling memegang peranan penting, demi jabatan yang dikejar seseorang dapat dipegangnya.

 

6.       Pengacara yang melakukan pemberian uang kepada pihak yang telah ditentukan, demi untuk memenangkan perkaranya, hal ini dapat dilihat telah berapa banyak pengacara yang ikut tertangkap dan di proses pidana sampai putusan, diantaranya pengacara OC. Kaligis.

 

7.        Berbagai macam pungli pada pos-pos pencegatan dijalan-jalan, dipelabuhan dan lain sebagainya.

 

 

PENYEBAB-PENYEBAB PERILAKU KORUPSI

 

Dari berbagai macam defenisi Korupsi yang telah kita lihat bersama diatas, jelas sekali bahwa krorupsi itu tidak akan terlepas dari “perilaku” seseorang dalam melakukannya, padahal kalau kita lihat penghasilan dan harta kekayaan mereka sangat banyak, dan jelas hal itu bukan didorong karena faktor ekonomi, tetapi mereka tetap juga melakukan korupsi, dan oleh karena itu, maka timbul pertanyaan mengapa mereka tetap berbuat/melakukan korupsi?” (why they still commit corruption?.

Selain daripada itu, apabila kita saksikan banyak para koruptor yang telah ditangkap dan di pidana, mereka tidak sedikitpun merasa malu atau paling tidak menunjukkan rasa malunya, takut atau sedih, bahkan ada diantara mereka yang tertawa-tawa dalam mobil tahanan KPK, hal ini sebenar menimbulkan rasa prihatin melihatnya, apakah mereka tidak merasa malu, bersalah atas perbuatan yang telah Ia lakukan?


Selanjutnya kembali kita pada pertanyaan tadi, mengapa mereka tetapi melakukan korupsi, untuk menjawab ini, saya akan kemukan beberapa Teori-Teori sebagai berikut ;

1. RATIONAL CHOICE THEORY

Teori ini menyebutkan bahwa seseorang dapat melakukan korupsi ketika ia menemukan manfaat melakukan nya lebih besar daripada kerugiannya yang akan dideritanya karena melakukan korupsi itu, dengan kata lain cara pandang dan berfikir pelaku korupsi secara rasionalnya yang ingin memperoleh manfaat berupa uang dalam jumlah yang banyak tanpa kerja keras dan tanpa menderita kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diterimanya.

Manfaat melakukan korupsi dapat berupa materi, kekayaan, jabatan, kedudukan, kepuasan pribadi, sehingga ia lebih terpandang dan percaya diri  karena dirinya kaya, sedangkan kerugiannya dapat berupa perbuatannya diketahui oleh masyarakat luas dan ia akan di proses secara hukum dan ia akan di pidana penjara, namun hal itu dianggapnya hal kecil karena hasil korupsi yang berhasil ia dapatkan dianggapnya lebih besar daripada itu.

2. BAD APPLE THEORY

Teori ini mengemukakan bahwa korupsi itu terjadi karena adanya individu-individu yang memilikki karakter yang buruk (bad or rotten apple), seperti keserakahan, tamak, sifat tidak bermoral, tidak jujur, dan karakter itu sudah ada pada diri pelaku sejak ia kecil dalam keluarga atau lingkungan sosial yang sering ia terima dalam interaksinya.

Berdasarkan teori ini siafat-sifat atau kartakter yang buruk ini yang ada dalam diri seseorang (keserakahan dan tidak jujur) merpakan faktor utama penentu bagi seseorang melakukan korupsi, dan perilaku yang ada pada pejabat publik dan pemerintahan ini akan mempengaruhi lingkungan sekitarnyaatau individu-individu lain untuk turut serta berperilaku korup.

3. ORGANIZATIONAL CULTURE THEORY 

Teori ini mengemukan bahwa perbuatan korupsi itu terjadi karena sistem dan budaya yang ada dalam organisai yang mendorong seseorang di dalam organisasi itu melakukan perbuatan korupsi (bad bushels), karena lingkungan yang korup dapat menjadikan seseorang yang semula berintegritas tinggi akan menjadi pribadi yang korup.

Berdasarkan teori ini maka pemimpin dalam organisasi yang harus mengutamakan etika, kejujuran dan integritas, agar dapat mempengaruhi budaya yang baik bagi lingkungan sekitarnya sehingga dapat menghindari perilaku korupsi.   

Teori ini juga bisa kita samakan keadaan dalam rumah sakit jiwa, dimana rumah sakit jiwa adalah tempat dimana penderita gangguan jiwa atau sakit jiwanya, dalam lingkungan yang korup seperti kita ilustrasikan sebuah rumah sakit jiwa apabila ada satu orang yang waras dan sehat dalam arti jujur baik dan legalitas tinggi, lama kelamaan jiwanya akan terganggu, dan mau tidak mau ia akan ikut menjadi terganggu jiwanya, atau mungkin terpaksa pura-pura menjadi gila agar ada perimbangan dalam lingkungan. 

4.    CLASHING MORAL VALUE THEORY

Teori ini mengemukan bahwa korupsi terjadi ketika terdapat konflik antara status seseorang sebagai individu dalam lingkungan masyarakat dengan statusnya sebagai seorang pejabat publik atau penyelenggara negara, dan kedua status tersebut dapat menimbulkan konflik moral dimana seorang pejabat publik mengalami kesulitan untuk memisahkan antara kehidupan pribadi dengan pekerjaannya sebagai pejabat publik.

Berdasarkan teori ini korupsi dilakukan bukan karena faktor keserakahan namun dilakukan karena menunjukan lolalitas dan rasa ingin menolong kerabat dan teman dekat bahkan pelaku juga ingin menunjukan dan menghargai dalam bentuk solidaritas denganrekan-rekannya kerja nya  yang korup, hal inilah yang sering kita sebut sebagai budaya nepotisme.

5.    THE ETHOS OF PUBLIC THEORY

Menurut teori ini, bahwa budaya dan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat dapat mendorong atau membangkitkan tekanan kepada pejabat publik untuk melakukan hal tertentu, termasuk melakukan korupsi untuk memenuhi keinginan/tekanan masyarakat (pressure from society).

Seorang Pejabat Publik menurut teori dapat melakukan korupsi misalnya dalam pembangunan jalandi desa, pejabat publik itu dideask oleh masyarakat untuk segera menyelesaikan jalan desa agara dapat dipergunakan dengan segera, desakan ini dapat memuat dan mendorongkan pejabat publik melakukan korupsi demi memenuhi keinginan masyarakat yang mendesaknya.

Selanjutnya dari teori-teori tersebut diatasa dapat disimpulkan bahwa korupsi dapat dilakukan oleh pejabat publik disebabkan faktor-faktor ;

1.    Manfaat melakukan korupsi lebih besar dari kerugian yang diderita akibat melakukan korupsi.

2.    Pribadi manusianya yang telah rusak dan korup (bad apples).

3.    Lingkungan organisasi pemerintahan itu yang memang sudah korup (bad bushels).

4.    Adanya konflik antara tanggungjawab seseorang sebagai pejabat publik dengan tanggung 

       kawabnya sebagai anggota masyarakat.

5.    Adanya tekanan dan dorongan darimasyarakat kepada pejabat publik untuk melaukan korupsi 

      demi memenuhi kinginan masyarakat (pressure from society).

Dari berbagai teori-teori yang saya kutip diatas, dari sekian banyak koruptor yang telah divonis, termasuk dalam kategori teori yang mana yang bisa kita terapkan? apakah termasuk memang sudah bawaan dari kecil sehingga memang sudah wataknya memang rakus atau faktor lingkungan yang mebuat koruptor berperilaku korup atau yang mana, silakan simpulakn sendiri, dan sama - sama dapat segera kita atasi dan carikan segera mungkin bagaimana solusinya. semoga........ 

Biliography :

1.    Indrianto Seno Adji, 2009, korupsi dan penegakkan hukum, Jakarta, Diaidit Media.

2.    Syed Hussein Alatas, 1987, korupsi, sebab, sifat, sebab dan fungsi, Jkarta LP3ES.

3.    Artidjo Alkostar, 2009, korelasi korupsi politik dengan hukum dan pemerintahan di negara modern, telaah tentang praktik korupsi politik dan penanggulangannya), Jurnal Hukum, Volume 16, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

4.    HASBULLAH, 2017, perintah atasan atau jabatan (ambtelijk bavel) sebagai penyebab korupsi dilingkungan birokrasi, Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan seni, Vol. 1, No. 1, April 2017, FaklutasHukum, Universitas Pancasila, Jakarta.

Tuesday, August 25, 2020

PRO DAN KONTRA HUKUMAN MATI

A.    HUKUMAN MATI DALAM PIDANA UMUM

Sudah menjadi kewenangan Hakim memberikan hukuman berupa pidana pernjara atau berupa pidana mati terhadap seorang terpidana, dan pemidanaan/hukuman yang ditentukan lamanya atau pidana mati tersebut sudah tentu telah di akomodir berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dalam hukum pidana.  

Mengenai Hukuman Mati ini, sudah dari dahulu telah membuat gaduh dan menimbulkan polemik antara pro dan kontra, baik di dalam negeri maupun di berbagai negara di belahan dunia ini, dan bagi negara dan atau masyarakat yang menentang (kontra) adanya hukum mati ini memberikan alasan yang mendasar yaitu alasan Hak Asasi Manusia atau disingkat dengan HAM, yang lebih jauh lagi mereka memberikan alasan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan urusan mati adalah urusan tuhan dan hakim tidak boleh mengambil kewenangan Tuhan dalam mencabut nyawa manusia.

Sedangkan negara dan atau masyarakat yang memihak (Pro) terhadap hukuman mati beralasan bahwa hukuman mati harus diterapkan pada pelaku-pelaku tindak pidana sebagai balasan perbuatan pidana yang telah dilakukan sangat berimbang untuk dijatuhkan hukuman mati kepadanya, dan ini  dapat dilihat dari aturan atau ketentuan sanksi pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada tindak pidana tertentu yang terdapat ancaman hukuman mati terhadap pelaku suatu tindak pidana, cont0hnya Pasal 340 KUHP  yaitu Pasal yang mengakomodir Pembunuhan Berencana yang didalamnya menyebutkan ancaman hukuman mati.

Selanjutnya akan timbul pertanyan atas hukuman mati yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana pembuhanan berencana itu, yaitu apakah hukuman mati efektif dapat mengurangi atau meredam tindak pidana pembunuhan ? tentu jawabnya "tidak", karena dari dahulu sejak Nabi Adam diturunkan, pembunuhan telah terjadi dan akan berlanjut sampai hari ini, dan akan terus terjadi sampai berkahir nya kehidupan di dunia ini atau hari kiamat tiba. 

Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.

Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktik hukuman mati hanya dilakukan di beberapa negara, misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memberlakukan resolusi tidak mengikat pada tahun 2007, 2008, 2010, 2012, dan 2014[1] untuk menyerukan penghapusan hukuman mati di seluruh dunia.[2] Meskipun hampir sebagian besar negara telah menghapus hukuman mati, tetapi sekitar 60% penduduk dunia bermukim di negara yang masih memberlakukan hukuman mati seperti di Tiongkok, India, Amerika Serikat, dan Indonesia.

Dalam sejarah, terdapat beberapa cara pelaksanaan hukuman mati. Beberapa diataranya yaitu hukuman cambuk, pancung, gantung, tembak, sengatan listrik, dan suntik mati. Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia.

Hukuman mati pertama kali diakui keberadaanya bersamaan dengan adanya hukuman tertulis pada abad ke-18 sebelum masehi di Babilonia. Pada saat itu, terdapat 25 jenis tindak kriminal yang pelakunya akan dijatuhi hukuman mati. Semenjak saat itu, praktik hukuman mati di setiap negara bervariasi, berubah menyesuaikan kebutuhan masing-masing negara dan semakin banyak negara yang menerapkan hukuman mati.

Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.

Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.

Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas.

Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.

Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.

Praktik hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan. 

Pelaksanaan hukuma mati pada saat itu hingga masa demokrasi liberal tahun 1951 merupakan salah satu strategi untuk membungkam pemberontakan penduduk yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pada masa oder baru (1966-1998), pencantuman hukuman mati digunakan sebagai upaya untuk mencapai stabilitas politik untuk mengamankan agenda pembangunan. Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda.

Hingga hari ini, setidaknya terdapat 12 undang-undang yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman pidana. Sampai hari ini, Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang masih menjalankan hukuman mati, diantaranya tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti : KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.

Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati :

1.    Hukuman cambuk: hukuman dengan cara dipukuli tali di punggung.
2.    Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala.
3.    Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan 
       tinggi.
4.    Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan.
5.    Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh.
6.    Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman 
       ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat.
7.    Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati.
8.    Kamar gas: hukuman mati dengan cara disekap di dalam kamar yang berisi gas beracun.
9.    Dengan gajah: hukuman mati dengan cara diinjak oleh seekor gajah. Hukuman ini diterapkan pada 
       masa Kesultanan Mughal.

Dan di Negara Indonesia, Praktik hukuman mati sering dilaksanakan di Nusakambangan, di mana sang tahanan akan dibawa ke tempat yang jauh dan dirahasiakan. Setelah sampai lokasi, tahanan akan diberi pilihan untuk duduk atau berdiri. Di sana akan hadir 10 orang regu tembak, di mana hanya 3 diantara nya yang memegang senapan berisi peluru. Jika setelah 3 tembakan tersangka belum tewas, maka diizinkan untuk menembak kepala tersangka.

Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.

Walaupun amendemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28I ayat 1, menyebutkan : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tetapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.

Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.

Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati

B.    HUKUMAN MATI DALAM PIDANA KHUSUS
 
Bagaimanakah penerapan hukuman mati pada tindak pidana khusus ? untuk itu saya akan membahas pada tindak pidana korupsi.

Dalam tindak pidana korupsi penjatuhan sanksi pidana berupa hukuman mati diperbolehkan, hal itu diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang diperbaharui dan revisi dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang menyebutkan sebagai berikut ;

“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.”

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan :
“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”

Sekarang akan timbul pertanyaan, apakah hakim berani menerapkan HUkuman mati pada Koruptor ? Pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad pernah mengatakan "jika hukuman mati hendak diterapkan, maka yang diperlukan hanyalah keberanian hakim untuk menjatuhkan hukum pidana secara maksimal, " dalam UU Tipikor dijelaskan bahwa koruptor yang mengorupsi uang bencana alam itu bisa dikenakan hukuman mati. Normanya jelas, tidak perlu dipersoalkan lagi. Seharusnya yang perlu dipersoalkan adalah soal keberanian hakim memutuskan dengan vonis itu".

Namun menurut saya bukan hanya keberanian Hakim untuk menjatuhkan pidana mati kepada koruptor tetapi harus memahami dan menggali sehingga mendapatkan kebenaran materil dalam kasus itu sehingga benar-benar patut koruptor itu untuk dijatuhi pidana mati, diantaranya dapat dilihat dari faktor-faktor yang meringankan dan memberatkan pelaku, dan ditemukan tidak ada fktor yang meringankan pelaku sehingga ia patut di hukum mati.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyatakan sedang mempertimbangkan ancaman hukuman mati bagi koruptor dalam kasus korupsi Bupati Kudus Muhammad Tamzil. Hukuman berat bagi koruptor adalah keharusan, tapi hukuman mati bukanlah pilihan yang pantas.

Muhammad Tamzil terancam dituntut hukuman mati karena telah dua kali terjerat kasus korupsi. Ia pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Kudus tahun anggaran 2004-2005. Atas perbuatannya itu, ia dihukum 22 bulan penjara dan denda Rp 100 juta. Kali ini ia terjerat kasus suap jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus tahun anggaran 2019.

Hukuman mati bagi pelaku korupsi memang dimungkinkan. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit menyebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu.

Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksudkan keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana dilakukan ketika negara berada dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam, mengulang tindak pidana korupsi, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Tapi, sejak undang-undang itu diberlakukan, hukuman mati tidak pernah dijatuhkan bagi koruptor.

Salah satu alasan utama penjatuhan hukuman mati adalah efek jera. Alasan tersebut sering mengemuka apabila melihat rendahnya vonis yang dijatuhkan bagi koruptor. Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan rata-rata vonis bagi koruptor pada 2018 hanya 2 tahun 5 bulan penjara.

Rendahnya vonis terhadap koruptor memang menjadi permasalahan dalam upaya pemberantasan korupsi, tapi hukuman mati bagi koruptor bukan hukuman yang patut. Terlebih hukuman mati dijadikan alasan untuk menimbulkan efek jera. Efek jera dari hukuman mati menjadi alasan yang absurd, mengingat yang dihukum tak bisa lagi mengoreksi perbuatannya.

Dalam konteks kejahatan yang lebih luas, hukuman mati tidak pernah terbukti menurunkan tingkat kejahatan. Negara-negara dengan peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) terbaik bahkan tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Negara-negara tersebut adalah Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Singapura, dan Swedia. Kendati hukuman mati masih berlaku, Singapura tidak menerapkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Adapun Cina, yang terkenal dengan penerapan hukuman mati, pada 2018 justru berada di peringkat ke-87 dengan skor 39 dalam IPK.

Alasan lain hukuman mati bukan langkah yang patut adalah penghormatan terhadap kemanusiaan. Hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan merupakan bentuk pelanggaran terkeji terhadap hak asasi manusia.

Dengan menolak hukuman mati, lantas hukuman apa yang pantas bagi koruptor? Pertanyaan ini akan selalu mengemuka jika berhadapan dengan fakta masih maraknya korupsi di Indonesia. Apabila ditelisik lebih jauh, sejatinya terdapat sejumlah upaya penjatuhan hukuman yang masih langka dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Pertama, penjatuhan hukuman maksimal, yakni pidana 20 tahun atau seumur hidup. Hukuman seumur hidup pernah dijatuhkan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.

Kedua, pencabutan hak politik. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan. Pencabutan hak politik, yakni hilangnya hak untuk memilih dan/atau dipilih dalam pemilihan umum, dapat dikenakan bagi koruptor. Tentu saja langkah ini harus dilakukan secara jelas dan transparan agar tetap sejalan dengan hak asasi manusia.

Ketiga, pemiskinan koruptor. Penggunaan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang harus digencarkan oleh aparat penegak hukum untuk merampas aset koruptor.

Kendati diatur oleh hukum positif di Indonesia, hukuman mati semestinya tak menjadi pilihan. Hukuman lain lebih layak dijatuhkan untuk menimbulkan efek jera bagi koruptor.

Tampaknya, Indonesia belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor.  Selain komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum juga masih setengah hati dalam menindak para koruptor.

Belum lagi, masih ada beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati. Munarman dari YLBHI atau Munir dari Imparsial termasuk yang menolak hukuman mati. Bahkan, mengusulkan lebih baik Pemerintah mengefektifkan lembaga grasi sebagai alat untuk menolak penerapan pidana mati.

Ada ungkapan menarik dari Ketua Mahkamah Agung (MA) terhadap mereka yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan UUD 1945. "Bagus juga teman-teman kita ini berpikir seperti itu. Tapi kalau saya tidak salah,  orang-orang yang sama beberapa waktu lalu menyatakan koruptor harus diberi hukuman mati. Tapi sekarang, mereka  mengatakan hukuman mati bertentangan dengan UUD. Tapi tidak apa-apa, orang Indonesia kan dinamis berpikir," ungkap Bagir.

Sayang, Bagir tidak menyebutkan orang-orang yang berubah pikiran. Bagir juga menyebutkan bahwa pengertian hak untuk hidup  dalam pasal 28 i UUD '45 adalah hak seseorang untuk tidak boleh dibunuh secara semena-mena.

Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengambil tindakan untuk melakukan eksekusi mati terhadap para terpidana mati. Eksekusi gelombang pertama dilakukan pada 18 Januari 2015 dan eksekusi gelombang kedua dilakukan pada 29 April 2015.

Sebelum melakukan eksekusi mati, Presiden Joko Widodo sudah menegaskan akan menolak setiap permohonan grasi dari terpidana mati yang terlibat dalam kasus narkotika. Masalahnya, penolakan permohonan grasi oleh Presiden pada dasarnya tidak didasarkan atas pertimbangan matang atas setiap permohonan grasi termasuk mempertimbangkan aspek dan karakteristik khusus dari setiap pemohon grasi. Selain itu, keputusan penolakan tersebut dilakukan tanpa ada penjelasan yang layak terhadap penolakan permohonan grasi tersebut. Tanpa membaca permohonan grasi yang diajukan, Presiden Republik Indonesia sudah menyatakan menolak permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati yang terlibat kasus narkotika.

C.    PENERAPAN HUKUMAN
 
Penerapan hukuman mati sebagaimana yang disebutkan diatas telah dianut oleh beberapa negara di dunia, salah satunya termasuk Negera Indonesia. Dan untuk di negara kita Indonesia apakah hukuman mati memilikki pengaruh yang signifikan terhadap pemberantasan korupsi? atau apakah tindak pidana korupsi cenderung menurun ?   

Menurut saya, bukan masalah menurun atau tidaknya kasus korupsi atau kasus pembunuhan berencana, yang kita fokuskan adalah penerapan hukuman mati tersebut, menjatuhkan pidana  mati dalam sebuah putusan, itu saja, dan mengenai dampak terhadap penurunan kasus akan kita lihat setelah berjalan nya hukuman mati tersebut.

Saya sudah katakan, dengan hukuman mati tidak akan menurunkan atau menghapuskan perbuatan pidana pembunuhan berencana, pembunuhan itu sendiri sudah ada sejak zaman Nabi Adam sampai hari kiamat tiba, begitu juga perbuatan tindak pidana korupsi, jadi yang difokuskan adalah penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana yang memang patut dan layak mereka mendapatkan hukuman itu, dan penilaian patut dan layak tentu Hakim lah yang memeriksa, menilai dan memutuskan perkaranya.

Lalu timbul sanggahan, apa gunanya penerapan hukuman mati apabila tidak membawa dampak penurunan terhadap tindak pidana korupsi itu sendiri, tentu kalau begitu saya pun akan menyanggah, apa gunanya hukuman mati bagi pidana pembunuhan kalau tidak ada membawa penurunan terhadap tindak pidana pembunuhan.

Citra masyarakat dunia yang antipati terhadap hukuman mati ini, sebenarnya terpola oleh paradigma sentimen yang kontradiksi dengan paradigma masyarakat pro kepada penerapan hukuman mati, dan membawa mereka hanya pada nuansa sepihak bahwa hukuman mati tu adalah perbuatan keji dan kejam, mereka tidak mencoba berfikir secara acontrario terhadap effect lain dari perbuatan pelaku tindak pidana itu patut dijatuhi hukuman mati, begitu juga terhadap hukuman mati yang diterapkan bagi pelaku tindak pidana narkotika, korupsi dan tindak pidana lainnya akan mereka pandang sebuah hukuman yang kontradiksi dengan HAM.

Isu hukuman mati bagi koruptor kembali menjadi topik pembicaraan di Indonesia. Pada 2015, Amnesty International mencatat ada 1.600 lebih eksekusi pada 2015, terkecuali Cina. Data ini 54 persen lebih tinggi dibanding 2014.

Berikut negara-negara yang memberlakukan hukuman mati bagi koruptor atau kasus penyuapan lain, yang diluas Rappler, mengutip laporan Death Penalty Database of the Cornell Center on Death Penalty Worldwide, dikutip 11 Desember 2019.

CINA
Cina berada di 3 negara teratas yang telah melakukan eksekusi pada 2015, bersama Iran dan Pakistan. Namun, eksekusi ini dianggap sangat rahasia, sehingga sulit untuk menghitung angka kematiannya. Tahanan dilaporkan tidak berlama-lama di hukuman mati tetapi dieksekusi segera atau diberi waktu dua tahun penjara sebelum dieksekusi.

Pemerintah Cina mengeksekusi orang karena kejahatan ekonomi dan politik. Pejabat yang mengambil bagian dalam penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, dan penyelundupan obat-obatan yang dikendalikan oleh negara untuk penjualan ilegal juga dihukum mati.

Pada tahun 2011, Cina menjatuhi hukuman mati kepada Xu Maiyong, mantan wakil wali kota Kota Hangzhou, dan Jiang Renjie, wakil walikota Kota Suzhou pada 2011. Para pejabat dinyatakan bersalah melakukan suap sebesar US$ 50 juta atau Rp 700 miliar.

KOREA UTARA
Seperti Cina, Korea Utara juga sangat tertutup tentang penerapan hukuman mati. Laporan mengatakan kerahasiaan ini meningkat ketika Kim Jong-un mengambil alih kepemimpinan negara.

Sulit untuk mengkonfirmasi laporan yang tersedia karena negara biasanya tidak mengumumkan eksekusi. Media internasional biasanya bergantung pada sumber-sumber Korea Selatan.

Eksekusi paling kontroversial di Korea Utara sejauh ini adalah eksekusi paman Kim Jong Un, Chang Song-thaek, pada 2013. Chang memegang jabatan senior di partai yang berkuasa dan merupakan wakil ketua Komisi Pertahanan Nasional.

Laporan media pemerintah mengatakan dia dituduh melakukan korupsi, di mana dia memindahkan unit-unit konstruksi ke kontaknya, berupaya menggulingkan negara, dan memobilisasi kudeta, di antaranya.

Korea Utara juga dilaporkan membunuh Jenderal Pyon In Son, mantan kepala operasi di Tentara Rakyat Korea. Sumber-sumber Korea Selatan mengatakan dia dieksekusi pada 2015, dua bulan setelah dia dipecat dari posisinya atas tuduhan korupsi dan kegagalan untuk mengikuti perintah.
 
IRAK 
Kematian Ali Hassan al-Majid atau "Ali Kimia" di Irak pada 2010 adalah eksekusi paling terkenal di Irak. Dia dihukum karena kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk serangan gas beracun di wilayah Kurdi pada tahun 1988.

Pada saat sanksi PBB terhadap Irak pada 1990-an, ia memegang banyak jabatan senior pemerintah dan dilaporkan menggunakan kekuasaannya untuk penyelundupan dan kesepakatan bisnis. Korupsi terang-terangnya dijadikan sebagai alasan di balik pemecatannya sebagai menteri pertahanan pada 1995.
 
IRAN
Tidak ada eksekusi pejabat publik di Iran yang dilaporkan secara luas karena kebijakan kerahasiaannya yang ketat. Tetapi di bawah hukum mereka, pelanggaran seperti pemalsuan, penyelundupan, berspekulasi, atau mengganggu produksi oleh pejabat dapat dihukum mati.

Meskipun demikian, ribuan orang dikatakan telah dieksekusi di Iran sejak Hassan Rouhani menjadi presiden pada 2013, menurut Hak Asasi Manusia Iran.  

 
Bibliography :
 
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati
https://www.suara.com/yoursay/2020/01/06/115849/mengenal-kejamnya-sejarah-hukuman-mati-di-indonesia
https://kolom.tempo.co/read/1233424/menolak-hukuman-mati-bagi-koruptor/full&view=ok
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7486/hukuman-mati-bagi-koruptor-perlukah?page=3
https://dunia.tempo.co/read/1283391/negara-negara-yang-menerapkan-hukuman-mati-bagi-koruptor/full&view=ok



https://panel.niagahoster.co.id/ref/331489

My Blog List

Contact Form

Name

Email *

Message *

https://accesstra.de/000y52000kcb