A. HUKUMAN MATI DALAM PIDANA UMUM
Sudah menjadi kewenangan Hakim memberikan hukuman berupa pidana pernjara atau berupa pidana mati terhadap seorang terpidana, dan pemidanaan/hukuman yang ditentukan lamanya atau pidana mati tersebut sudah tentu telah di akomodir berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dalam hukum pidana.
Mengenai Hukuman Mati ini, sudah dari dahulu telah membuat gaduh dan menimbulkan polemik antara pro dan kontra, baik di dalam negeri maupun di berbagai negara di belahan dunia ini, dan bagi negara dan atau masyarakat yang menentang (kontra) adanya hukum mati ini memberikan alasan yang mendasar yaitu alasan Hak Asasi Manusia atau disingkat dengan HAM, yang lebih jauh lagi mereka memberikan alasan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan urusan mati adalah urusan tuhan dan hakim tidak boleh mengambil kewenangan Tuhan dalam mencabut nyawa manusia.
Sedangkan negara dan atau masyarakat yang memihak (Pro) terhadap hukuman mati beralasan bahwa hukuman mati harus diterapkan pada pelaku-pelaku tindak pidana sebagai balasan perbuatan pidana yang telah dilakukan sangat berimbang untuk dijatuhkan hukuman mati kepadanya, dan ini dapat dilihat dari aturan atau ketentuan sanksi pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada tindak pidana tertentu yang terdapat ancaman hukuman mati terhadap pelaku suatu tindak pidana, cont0hnya Pasal 340 KUHP yaitu Pasal yang mengakomodir Pembunuhan Berencana yang didalamnya menyebutkan ancaman hukuman mati.
Selanjutnya akan timbul pertanyan atas hukuman mati yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana pembuhanan berencana itu, yaitu apakah hukuman mati efektif dapat mengurangi atau meredam tindak pidana pembunuhan ? tentu jawabnya "tidak", karena dari dahulu sejak Nabi Adam diturunkan, pembunuhan telah terjadi dan akan berlanjut sampai hari ini, dan akan terus terjadi sampai berkahir nya kehidupan di dunia ini atau hari kiamat tiba.
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktik hukuman mati hanya dilakukan di beberapa negara, misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memberlakukan resolusi tidak mengikat pada tahun 2007, 2008, 2010, 2012, dan 2014[1] untuk menyerukan penghapusan hukuman mati di seluruh dunia.[2] Meskipun hampir sebagian besar negara telah menghapus hukuman mati, tetapi sekitar 60% penduduk dunia bermukim di negara yang masih memberlakukan hukuman mati seperti di Tiongkok, India, Amerika Serikat, dan Indonesia.
Dalam sejarah, terdapat beberapa cara pelaksanaan hukuman mati. Beberapa diataranya yaitu hukuman cambuk, pancung, gantung, tembak, sengatan listrik, dan suntik mati. Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia.
Hukuman mati pertama kali diakui keberadaanya bersamaan dengan adanya hukuman tertulis pada abad ke-18 sebelum masehi di Babilonia. Pada saat itu, terdapat 25 jenis tindak kriminal yang pelakunya akan dijatuhi hukuman mati. Semenjak saat itu, praktik hukuman mati di setiap negara bervariasi, berubah menyesuaikan kebutuhan masing-masing negara dan semakin banyak negara yang menerapkan hukuman mati.
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.
Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas.
Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
Praktik hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.
Pelaksanaan hukuma mati pada saat itu hingga masa demokrasi liberal tahun 1951 merupakan salah satu strategi untuk membungkam pemberontakan penduduk yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pada masa oder baru (1966-1998), pencantuman hukuman mati digunakan sebagai upaya untuk mencapai stabilitas politik untuk mengamankan agenda pembangunan. Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda.
Hingga hari ini, setidaknya terdapat 12 undang-undang yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman pidana. Sampai hari ini, Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang masih menjalankan hukuman mati, diantaranya tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti : KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati :
1. Hukuman cambuk: hukuman dengan cara dipukuli tali di punggung.
2. Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala.
3. Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan
tinggi.
4. Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan.
5. Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh.
6. Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman
4. Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan.
5. Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh.
6. Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman
ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat.
7. Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati.
8. Kamar gas: hukuman mati dengan cara disekap di dalam kamar yang berisi gas beracun.
9. Dengan gajah: hukuman mati dengan cara diinjak oleh seekor gajah. Hukuman ini diterapkan pada
7. Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati.
8. Kamar gas: hukuman mati dengan cara disekap di dalam kamar yang berisi gas beracun.
9. Dengan gajah: hukuman mati dengan cara diinjak oleh seekor gajah. Hukuman ini diterapkan pada
masa Kesultanan Mughal.
Dan di Negara Indonesia, Praktik hukuman mati sering dilaksanakan di Nusakambangan, di mana sang tahanan akan dibawa ke tempat yang jauh dan dirahasiakan. Setelah sampai lokasi, tahanan akan diberi pilihan untuk duduk atau berdiri. Di sana akan hadir 10 orang regu tembak, di mana hanya 3 diantara nya yang memegang senapan berisi peluru. Jika setelah 3 tembakan tersangka belum tewas, maka diizinkan untuk menembak kepala tersangka.
Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Walaupun amendemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28I ayat 1, menyebutkan : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tetapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati
B. HUKUMAN MATI DALAM PIDANA KHUSUS
Dan di Negara Indonesia, Praktik hukuman mati sering dilaksanakan di Nusakambangan, di mana sang tahanan akan dibawa ke tempat yang jauh dan dirahasiakan. Setelah sampai lokasi, tahanan akan diberi pilihan untuk duduk atau berdiri. Di sana akan hadir 10 orang regu tembak, di mana hanya 3 diantara nya yang memegang senapan berisi peluru. Jika setelah 3 tembakan tersangka belum tewas, maka diizinkan untuk menembak kepala tersangka.
Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Walaupun amendemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28I ayat 1, menyebutkan : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tetapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati
B. HUKUMAN MATI DALAM PIDANA KHUSUS
Bagaimanakah penerapan hukuman mati pada tindak pidana khusus ? untuk itu saya akan membahas pada tindak pidana korupsi.
Dalam tindak pidana korupsi penjatuhan sanksi pidana berupa hukuman mati diperbolehkan, hal itu diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang diperbaharui dan revisi dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang menyebutkan sebagai berikut ;
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.”
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan :
“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Sekarang akan timbul pertanyaan, apakah hakim berani menerapkan HUkuman mati pada Koruptor ? Pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad pernah mengatakan "jika hukuman mati hendak diterapkan, maka yang diperlukan hanyalah keberanian hakim untuk menjatuhkan hukum pidana secara maksimal, " dalam UU Tipikor dijelaskan bahwa koruptor yang mengorupsi uang bencana alam itu bisa dikenakan hukuman mati. Normanya jelas, tidak perlu dipersoalkan lagi. Seharusnya yang perlu dipersoalkan adalah soal keberanian hakim memutuskan dengan vonis itu".
Namun menurut saya bukan hanya keberanian Hakim untuk menjatuhkan pidana mati kepada koruptor tetapi harus memahami dan menggali sehingga mendapatkan kebenaran materil dalam kasus itu sehingga benar-benar patut koruptor itu untuk dijatuhi pidana mati, diantaranya dapat dilihat dari faktor-faktor yang meringankan dan memberatkan pelaku, dan ditemukan tidak ada fktor yang meringankan pelaku sehingga ia patut di hukum mati.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyatakan sedang mempertimbangkan ancaman hukuman mati bagi koruptor dalam kasus korupsi Bupati Kudus Muhammad Tamzil. Hukuman berat bagi koruptor adalah keharusan, tapi hukuman mati bukanlah pilihan yang pantas.
Muhammad Tamzil terancam dituntut hukuman mati karena telah dua kali terjerat kasus korupsi. Ia pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Kudus tahun anggaran 2004-2005. Atas perbuatannya itu, ia dihukum 22 bulan penjara dan denda Rp 100 juta. Kali ini ia terjerat kasus suap jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus tahun anggaran 2019.
Hukuman mati bagi pelaku korupsi memang dimungkinkan. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit menyebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu.
Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksudkan keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana dilakukan ketika negara berada dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam, mengulang tindak pidana korupsi, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Tapi, sejak undang-undang itu diberlakukan, hukuman mati tidak pernah dijatuhkan bagi koruptor.
Salah satu alasan utama penjatuhan hukuman mati adalah efek jera. Alasan tersebut sering mengemuka apabila melihat rendahnya vonis yang dijatuhkan bagi koruptor. Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan rata-rata vonis bagi koruptor pada 2018 hanya 2 tahun 5 bulan penjara.
Rendahnya vonis terhadap koruptor memang menjadi permasalahan dalam upaya pemberantasan korupsi, tapi hukuman mati bagi koruptor bukan hukuman yang patut. Terlebih hukuman mati dijadikan alasan untuk menimbulkan efek jera. Efek jera dari hukuman mati menjadi alasan yang absurd, mengingat yang dihukum tak bisa lagi mengoreksi perbuatannya.
Dalam konteks kejahatan yang lebih luas, hukuman mati tidak pernah terbukti menurunkan tingkat kejahatan. Negara-negara dengan peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) terbaik bahkan tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Negara-negara tersebut adalah Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Singapura, dan Swedia. Kendati hukuman mati masih berlaku, Singapura tidak menerapkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Adapun Cina, yang terkenal dengan penerapan hukuman mati, pada 2018 justru berada di peringkat ke-87 dengan skor 39 dalam IPK.
Alasan lain hukuman mati bukan langkah yang patut adalah penghormatan terhadap kemanusiaan. Hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan merupakan bentuk pelanggaran terkeji terhadap hak asasi manusia.
Dengan menolak hukuman mati, lantas hukuman apa yang pantas bagi koruptor? Pertanyaan ini akan selalu mengemuka jika berhadapan dengan fakta masih maraknya korupsi di Indonesia. Apabila ditelisik lebih jauh, sejatinya terdapat sejumlah upaya penjatuhan hukuman yang masih langka dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Pertama, penjatuhan hukuman maksimal, yakni pidana 20 tahun atau seumur hidup. Hukuman seumur hidup pernah dijatuhkan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.
Kedua, pencabutan hak politik. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan. Pencabutan hak politik, yakni hilangnya hak untuk memilih dan/atau dipilih dalam pemilihan umum, dapat dikenakan bagi koruptor. Tentu saja langkah ini harus dilakukan secara jelas dan transparan agar tetap sejalan dengan hak asasi manusia.
Ketiga, pemiskinan koruptor. Penggunaan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang harus digencarkan oleh aparat penegak hukum untuk merampas aset koruptor.
Kendati diatur oleh hukum positif di Indonesia, hukuman mati semestinya tak menjadi pilihan. Hukuman lain lebih layak dijatuhkan untuk menimbulkan efek jera bagi koruptor.
Tampaknya, Indonesia belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Selain komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum juga masih setengah hati dalam menindak para koruptor.
Belum lagi, masih ada beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati. Munarman dari YLBHI atau Munir dari Imparsial termasuk yang menolak hukuman mati. Bahkan, mengusulkan lebih baik Pemerintah mengefektifkan lembaga grasi sebagai alat untuk menolak penerapan pidana mati.
Ada ungkapan menarik dari Ketua Mahkamah Agung (MA) terhadap mereka yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan UUD 1945. "Bagus juga teman-teman kita ini berpikir seperti itu. Tapi kalau saya tidak salah, orang-orang yang sama beberapa waktu lalu menyatakan koruptor harus diberi hukuman mati. Tapi sekarang, mereka mengatakan hukuman mati bertentangan dengan UUD. Tapi tidak apa-apa, orang Indonesia kan dinamis berpikir," ungkap Bagir.
Sayang, Bagir tidak menyebutkan orang-orang yang berubah pikiran. Bagir juga menyebutkan bahwa pengertian hak untuk hidup dalam pasal 28 i UUD '45 adalah hak seseorang untuk tidak boleh dibunuh secara semena-mena.
Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengambil tindakan untuk melakukan eksekusi mati terhadap para terpidana mati. Eksekusi gelombang pertama dilakukan pada 18 Januari 2015 dan eksekusi gelombang kedua dilakukan pada 29 April 2015.
Sebelum melakukan eksekusi mati, Presiden Joko Widodo sudah menegaskan akan menolak setiap permohonan grasi dari terpidana mati yang terlibat dalam kasus narkotika. Masalahnya, penolakan permohonan grasi oleh Presiden pada dasarnya tidak didasarkan atas pertimbangan matang atas setiap permohonan grasi termasuk mempertimbangkan aspek dan karakteristik khusus dari setiap pemohon grasi. Selain itu, keputusan penolakan tersebut dilakukan tanpa ada penjelasan yang layak terhadap penolakan permohonan grasi tersebut. Tanpa membaca permohonan grasi yang diajukan, Presiden Republik Indonesia sudah menyatakan menolak permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati yang terlibat kasus narkotika.
C. PENERAPAN HUKUMAN
Penerapan hukuman mati sebagaimana yang disebutkan diatas telah dianut oleh beberapa negara di dunia, salah satunya termasuk Negera Indonesia. Dan untuk di negara kita Indonesia apakah hukuman mati memilikki pengaruh yang signifikan terhadap pemberantasan korupsi? atau apakah tindak pidana korupsi cenderung menurun ?
Menurut saya, bukan masalah menurun atau tidaknya kasus korupsi atau kasus pembunuhan berencana, yang kita fokuskan adalah penerapan hukuman mati tersebut, menjatuhkan pidana mati dalam sebuah putusan, itu saja, dan mengenai dampak terhadap penurunan kasus akan kita lihat setelah berjalan nya hukuman mati tersebut.
Saya sudah katakan, dengan hukuman mati tidak akan menurunkan atau menghapuskan perbuatan pidana pembunuhan berencana, pembunuhan itu sendiri sudah ada sejak zaman Nabi Adam sampai hari kiamat tiba, begitu juga perbuatan tindak pidana korupsi, jadi yang difokuskan adalah penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana yang memang patut dan layak mereka mendapatkan hukuman itu, dan penilaian patut dan layak tentu Hakim lah yang memeriksa, menilai dan memutuskan perkaranya.
Lalu timbul sanggahan, apa gunanya penerapan hukuman mati apabila tidak membawa dampak penurunan terhadap tindak pidana korupsi itu sendiri, tentu kalau begitu saya pun akan menyanggah, apa gunanya hukuman mati bagi pidana pembunuhan kalau tidak ada membawa penurunan terhadap tindak pidana pembunuhan.
Citra masyarakat dunia yang antipati terhadap hukuman mati ini, sebenarnya terpola oleh paradigma sentimen yang kontradiksi dengan paradigma masyarakat pro kepada penerapan hukuman mati, dan membawa mereka hanya pada nuansa sepihak bahwa hukuman mati tu adalah perbuatan keji dan kejam, mereka tidak mencoba berfikir secara acontrario terhadap effect lain dari perbuatan pelaku tindak pidana itu patut dijatuhi hukuman mati, begitu juga terhadap hukuman mati yang diterapkan bagi pelaku tindak pidana narkotika, korupsi dan tindak pidana lainnya akan mereka pandang sebuah hukuman yang kontradiksi dengan HAM.
Isu hukuman mati bagi koruptor kembali menjadi topik pembicaraan di Indonesia. Pada 2015, Amnesty International mencatat ada 1.600 lebih eksekusi pada 2015, terkecuali Cina. Data ini 54 persen lebih tinggi dibanding 2014.
Berikut negara-negara yang memberlakukan hukuman mati bagi koruptor atau kasus penyuapan lain, yang diluas Rappler, mengutip laporan Death Penalty Database of the Cornell Center on Death Penalty Worldwide, dikutip 11 Desember 2019.
CINA
Cina berada di 3 negara teratas yang telah melakukan eksekusi pada 2015, bersama Iran dan Pakistan. Namun, eksekusi ini dianggap sangat rahasia, sehingga sulit untuk menghitung angka kematiannya. Tahanan dilaporkan tidak berlama-lama di hukuman mati tetapi dieksekusi segera atau diberi waktu dua tahun penjara sebelum dieksekusi.
Pemerintah Cina mengeksekusi orang karena kejahatan ekonomi dan politik. Pejabat yang mengambil bagian dalam penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, dan penyelundupan obat-obatan yang dikendalikan oleh negara untuk penjualan ilegal juga dihukum mati.
Pada tahun 2011, Cina menjatuhi hukuman mati kepada Xu Maiyong, mantan wakil wali kota Kota Hangzhou, dan Jiang Renjie, wakil walikota Kota Suzhou pada 2011. Para pejabat dinyatakan bersalah melakukan suap sebesar US$ 50 juta atau Rp 700 miliar.
KOREA UTARA
Seperti Cina, Korea Utara juga sangat tertutup tentang penerapan hukuman mati. Laporan mengatakan kerahasiaan ini meningkat ketika Kim Jong-un mengambil alih kepemimpinan negara.
Sulit untuk mengkonfirmasi laporan yang tersedia karena negara biasanya tidak mengumumkan eksekusi. Media internasional biasanya bergantung pada sumber-sumber Korea Selatan.
Eksekusi paling kontroversial di Korea Utara sejauh ini adalah eksekusi paman Kim Jong Un, Chang Song-thaek, pada 2013. Chang memegang jabatan senior di partai yang berkuasa dan merupakan wakil ketua Komisi Pertahanan Nasional.
Laporan media pemerintah mengatakan dia dituduh melakukan korupsi, di mana dia memindahkan unit-unit konstruksi ke kontaknya, berupaya menggulingkan negara, dan memobilisasi kudeta, di antaranya.
Korea Utara juga dilaporkan membunuh Jenderal Pyon In Son, mantan kepala operasi di Tentara Rakyat Korea. Sumber-sumber Korea Selatan mengatakan dia dieksekusi pada 2015, dua bulan setelah dia dipecat dari posisinya atas tuduhan korupsi dan kegagalan untuk mengikuti perintah.
IRAK
Kematian Ali Hassan al-Majid atau "Ali Kimia" di Irak pada 2010 adalah eksekusi paling terkenal di Irak. Dia dihukum karena kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk serangan gas beracun di wilayah Kurdi pada tahun 1988.
Pada saat sanksi PBB terhadap Irak pada 1990-an, ia memegang banyak jabatan senior pemerintah dan dilaporkan menggunakan kekuasaannya untuk penyelundupan dan kesepakatan bisnis. Korupsi terang-terangnya dijadikan sebagai alasan di balik pemecatannya sebagai menteri pertahanan pada 1995.
IRAN
Tidak ada eksekusi pejabat publik di Iran yang dilaporkan secara luas karena kebijakan kerahasiaannya yang ketat. Tetapi di bawah hukum mereka, pelanggaran seperti pemalsuan, penyelundupan, berspekulasi, atau mengganggu produksi oleh pejabat dapat dihukum mati.
Meskipun demikian, ribuan orang dikatakan telah dieksekusi di Iran sejak Hassan Rouhani menjadi presiden pada 2013, menurut Hak Asasi Manusia Iran.
Bibliography :
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati
https://www.suara.com/yoursay/2020/01/06/115849/mengenal-kejamnya-sejarah-hukuman-mati-di-indonesia
https://kolom.tempo.co/read/1233424/menolak-hukuman-mati-bagi-koruptor/full&view=ok
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7486/hukuman-mati-bagi-koruptor-perlukah?page=3
https://dunia.tempo.co/read/1283391/negara-negara-yang-menerapkan-hukuman-mati-bagi-koruptor/full&view=ok
No comments:
Post a Comment