Perdagangan dapat menjadi jembatan bagi setiap negara untuk
mencapai tujuan pembangunan Negara, dengan
perdagangan lintas batas kebijakan – kebijakan khusus sangat krusial
untuk dilakukan mengingat
bahwa dalam perdagangan internasional adalah hubungan
kepentingan hukum nasional dari dua atau lebih Negara.
Pengambilan
kebijakan dan tindakan-tindakan harus mengarah
kepada kepastian
dan ketegasan dengan segala pertimbangan dari semua aspek-aspek, apalagi hal
tersebut menyangkut kebijakan demi kepentingan Nasional. Pertentangan kepentingan antara
kepentingan nasional
antara negara-negara dunia adalah hal yang terjadi
dibelahan bumi ini, semua itu harus diatur dengan baik antar
negara-negara maju dan negara-negara berkembang, termasuk
juga
negara kecil idealnya harus dilibatkan, agar tercipta hubungan-hubungan yang harmonis dalam perdaganagn
Internasinal secara kondusif dan situasional dalam persandingan yang serasi dalam
dunia perdagangan internasional ditengah-tengah perbedaan
kepentingan antar negara.
Dalam penyatuan
perbedaan kepentingan yang ada dalam perdagangan
Internasional,
akhirnya perdagangan internasional memasuki era baru dengan tercapainya
kesepakatan Putaran Uruguay. WTO
memiliki peran yang sangat penting dalam perdagangan Internasional karena ia
adalah sebagai organisasi internasional di bidang perdagangan yang mengawasi pelaksanaan aturan main yang
telah disepakati dalam General Agreement on Tarrifs and Trade Liberalisasi sebagai salah satu tujuan yang
ingin dicapai dalam perdagangan internasional, telah mendapatkan tempatnya
ketika Putaran Uruguay telah rampung dan disepakati oleh negara-negara yang
menjadi anggota GATT/WTO , yang juga serta merta membawa dunia kearah
globalsasi.(1)
Label Liberalisasi
yang dicapai bukan menjadi suatu alasan untuk
“menghalalkan” segala cara dalam
memperoleh keuntungan dalam perdagangan
internasional. GATT/WTO telah memberikan ketentuan-ketentuan untuk
melindungi atau memproteksi industri-industri dalam negeri dari efek-efek negatif
yang ditimbulkan dalam kegiatan perdagangan internasional, dan
proteksi tersebut lazimnya disebut dengan tindakan pemulihan atau trade remedies. Salah satu bentuk
tindakan pemulihan yang dimaksud ialah anti-dumping.
Oleh karena itu,
untuk mengantisipasi praktik dumping ini diperlukan adanya suatu pengaturan
secara internasional yang dapat mengatasi masalah praktik dumping. GATT
(General Agreement on Tariffs and Trade) yang mulai berlaku sejak 1 Januari
1948 dan merupakan persetujuan multilateral yang menentukan peraturan-peraturan
bagi perilaku perdagangan internasional, telah mencantumkan suatu kebijakan
antidumping guna mengatasi praktik dumping dalam Article VI The General
Agreement on Tariffs and Trade 1947 (Pasal VI GATT
1947)39 “The contracting parties recognize that dumping, by which products of
one country are introduced into the commerce of another country at less yang
isinya mengatur tentang Antidumping and Countervailing Duties. Ketentuan Pasal
VI GATT 1947 tersebut adalah sebagai berikut :
““The
contracting parties recognize that dumping, by which products of one country
are introduced into the commerce of another country at less than
the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens
material injury to an established industry in the territory of a contracting
party or materially retards the establishment of a domestic industry.”(2)
Lain halnya
dengan bentuk proteksi seperti Safeguard dan Countervaling Measure. Safeguard, merupakan
suatu kebijakan nasional untuk melindungi industri dalam negeri suatu negara
anggota WTO oleh karena melonjaknya arus importasi secara berlebihan dan di
terapkan terhadap bentuk perdagangan internasional yang jujur dan adil. Akan
tetapi akibat yang ditimbulkannya adalah kerugian industri dalam negeri yang
dapat berimbas kepada seluruh sektor kehidupan masyarakat. Sedangkan antara
anti-dumping dan countervailing measure dimaksud sebagaimana yang didefenisikan
dalam Subsidy Countervailing Measure Agreement adalah sebagai sebuah kontribusi
keuangan oleh pemerintah atau badan publik
yang memberikan sebuah keuntungan.(3)
Subsidi
juga beragam bentuknya, ada yang berbentuk
nyata seperti halnya-pemberian dana,
pinjaman uang dalam kondisi yang menguntungkan, penyediaan
modal equitas sebuah perusahaan, penurunan pajak
bahkan tidak melakukan tindakan apa-apa atau tidak menagih penghasilan pajak
yang sudah jatuh tempo, dimana hal-hal tersebut
tidak akan terjadi dan ditemukan dalam suatu kondisi yang normal.
Bagi beberapa
negara berkembang kebijakan seperti ini
merupakan sesuatu hal yang baru dan tidak normal.
Indonesia sebagai anggota WTO, dan melalui Undang-Undang
No. 7 tahun 1994 tentang PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE
WORLD TRADE. ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA),
Mengandung beberapa konsekuensi hukum. Berdasarkan “The Vienna Convention on
the Law of Treaties, May 23, 1969” Ratifikasi
menimbulkan konsekeunsi hukum eksternal maupun internal.
Ketentuan dalam “The Vienna Convention on the Law of Treaties, May 23, 1969”
ini juga berlaku terhadap hasil-hasil Uruguay Round yang diimplementasikan
dalam WTO. ADA sebagaimana yang telah menjadi satu kesatuan dalam WTO rules
melalui Uruguay Round, bukan merupakan
usaha pertama dalam perundingan multilateral untuk hukum anti-dumping, sebelumnya
para negosiatior dalam Kennedy Round menghasilkan sebuah Anti-dumping Code di
tahun 1967, yang berlaku pada 1 juli 1986, yang merupakan usaha untuk
memastikan agar tidak terjadinya penyalahgunaan dalam penerapan anti-dumping
sebagaimana yang tercantum dalam pasal VI GATT 1947. Hal yang menarik
perhatian dalam Kennedy Round ini ialah
usaha dari para negosiator Amerika Serikat yang mendorong issu ini masuk
kedalam agenda Kennedy Round tersebut. Alasan mendasar dari para negosiator
Amerika pada saat itu ialah ketakutan akan ekspor, Amerika
Serikat mengahadapi diskriminasi ditengah-tengah
ketidakjelasan mengenai prosedur anti-dumping.
Memang hal yang complicated pada waktu itu untuk menentukan ataupun
melaksanakan apa yang dicantumkan dalam Pasal VI GATT 1947 oleh karena tidak
adanya aturan main yang komprehensif untuk melaksanakan apa yang disepakati,
dan yang paling ditakutkan ialah Pasal VI tersebut “berubah” menjadi suatu
hambatan di dalam perdagangan internasional akibat
salah dalam menafsirkan ataupun menerapkan pasal tersebut. Usaha untuk tetap
memantapkan hukum anti-dumping saat itu tidak
berhenti sampai disitu. Selanjutnya para negosiator dalam Tokyo Round juga
menghasilkan Anti-dumping Code yang berlaku pada tanggal 1 januari 1980.
Seperti pendahulunya, Anti-dumping Code dari Tokyo round ini juga mengandung
aturan tentang hal-hal yang berhubungan dengan investigasi anti-dumping yang
mencoba untuk memastikan ketentuan anti-dumping ini tidak dijadikan hambatan
dalam perdagangan. Akan tetapi bagaimanapun juga hal ini berbeda dengan hukum
anti-dumping yang ada saat ini.
Perbedaan yang
paling mendasar bahwa jika dalam GATT 1994 seluruh perjanjian merupakan suatu
kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain Untuk Negara Indonesia sendiri, masalah
anti-dumping menjadi sangat penting dan krusial, karena menyangkut mengenai
perlindungan terhadap industri-industri dalam negeri dimana posisinya adalah
sebagai negara berkembang. Maka dari itu peranan prinsip hukum perdagangan
internasional dalam perjanjian GATT dan WTO sangat dibutuhkan, guna menjamin
terjadinya suatu perdagangan internasional yang adil, jujur dan terbuka.
Indonesia diharapkan agar dapat menggunakan instrument hukum anti-dumping
tersebut dalam rangka melindungi kepentingan ekonomi nasionalnya selama hal
tersebut diperbolehkan dalam ketentuan WTO. Disamping itu, Indonesia juga harus
bersiap menghadapi tuduhan serupa yang dilancarkan terhadap produk-produk
ekspor Indonesia oleh mitra dagang di luar negeri melalui tindakan yang
diperlukan, sehingga dapat melindungi kebijakan perdagangan Indonesia. Tentunya
hal ini hanya dapat terlaksana melaui seperangkat ketentuan nasional yang
komprehensif, tegas dan berkualitas dibidang perdagangan internasional, dan
terutama di bidang anti dumping.(4)
Liberalisasi
perdagangan dunia melalui perundingan-perundingan WTO
telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap negara-negara anggota. Khusus
untuk Indonesia, dampak positif dapat dimungkinkan terbukanya peluang pasar
internasional yang lebih luas tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan
multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan
internasional. Sebaliknya dampak negatif dalam hal tersebut salah satunya ialah
sulitnya mengendalikan derasnya arus impor
produk-produk dari mitra dagang asing, apalagi dalam menghadapi praktek-praktek
curang dalam perdagangan.
Apabila ditinjau kearah sudut kepentingan
ekspor, maka produk indonesia dengan adanya liberalisasi perdagangan ini akan
berdampak positif dengan memberikan perluasan perdagangan yang bebas hambatan,
namun karena prinsip timbal balik Disatu pihak masuknya barang-barang impor
dari negara lain khususnya untuk produk yang merupakan dumping secara langsung
akan menguntungkan konsumen, dimana yang terjadi produk-produk impor jika
dibandingkan dengan produk lokal memiliki perbedaan harga yang cukup signifikan.
Akan tetapi dilain pihak dengan melihat keadaan tersebut maka akan mengancam
kegagalan produsen-produsen lokal untuk bersaing dipasar dalam
negeri sendiri dan akan berakibat “matinya” produsen - produsen
di Indonesia.
Sehubungan
dengan hal itu, mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan oleh liberalisasi
perdagangan, maka sekarang ini beberapa negara anggota WTO mengunakan berbagai
instrumen ketentuan-ketentuan WTO guna melindungi industri dalam negerinya.
Solusi untuk melindungi produk Indonesia dari serbuan produk asing yang
melakukan dumping ialah dengan cara
menggunakan instrumen hukum anti-dumping yang
diperbolehkan oleh WTO. Tentunya untuk menggunakan
instrument hukum ini sangat diperlukan aturan domestik yang cukup valid,
tegas dan tidak bertentangan dengan WTO rules, agar terciptanya perdagangan
yang adil dan menguntungkan bagi berbagai pihak, khususnya dalam sistem
perdagangan di Indonesia.
Penulis memilih topic pembahasan hukum anti-dumping sebagai objek kajian
dalam penulisan ini, karena penulis menganggap bahwa
hal ini mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan sosial dan ekonomi di
Indonesia menuju kesehjateraan bangsa Indonesia. Selain
itu, Penulis berusaha untuk melindungi
industri domestik dari kerugian atau ancaman kerugian, anti-dumping juga
merupakan instrumen hukum yang masih terbilang baru dalam khasanah hukum
Indonesia, yang tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dalam menciptakan
aturan domestik maupun pelaksanaannya. Oleh karena itu
penulis merasa penting untuk mengkaji lebih dalam agar dapat menemukan solusi
dari permasalahan yang dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia.
Dumping adalah praktek menjual barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar dalam negeri (harga normal). Praktek dumping dilakukan sejak adanya perdagangan internasional yang merupakan salah satu bentuk dari kebijakan diskriminasi harga dalam rangka mengoptimalkan keuntungannya.
Dengan kebijakan dumping keuntungan akan dioptimalkan karena pasarnya semakin luas sampai di luar negeri, penumpukan stok barang yang tidak terjual dapat diatasi, monopoli dalam negeri dapat dipertahankan, dan hal-hal lain yang dapat meningkatkan keuntungannya.
Dalam makalah yang diterbitkan KADI (Komite Anti Dumping Indonesia) diuraikan beberapa alasan eksportir melakukan praktek dumping yakni untuk memperbesar pangsa pasar (Market Expansion dumping), menyingkirkan saingan agar dapat memonopoli pasar (predatory dumping), melepaskan persediaan karena kelebihan kapasitas (cycling dumping), dan mendapatkan mata uang asing (state trading dumping). Negara-negara anggota WTO sebagaimana tercantum dalam Agreement on Trade in Goods tidak menyatakan praktek dumping sebagai praktek yang tidak sehat / tidak adil sehingga perlu dilakukan pelarangan atau tidak membolehkan praktek dumping.(5)
Dumping adalah praktek menjual barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar dalam negeri (harga normal). Praktek dumping dilakukan sejak adanya perdagangan internasional yang merupakan salah satu bentuk dari kebijakan diskriminasi harga dalam rangka mengoptimalkan keuntungannya.
Dengan kebijakan dumping keuntungan akan dioptimalkan karena pasarnya semakin luas sampai di luar negeri, penumpukan stok barang yang tidak terjual dapat diatasi, monopoli dalam negeri dapat dipertahankan, dan hal-hal lain yang dapat meningkatkan keuntungannya.
Dalam makalah yang diterbitkan KADI (Komite Anti Dumping Indonesia) diuraikan beberapa alasan eksportir melakukan praktek dumping yakni untuk memperbesar pangsa pasar (Market Expansion dumping), menyingkirkan saingan agar dapat memonopoli pasar (predatory dumping), melepaskan persediaan karena kelebihan kapasitas (cycling dumping), dan mendapatkan mata uang asing (state trading dumping). Negara-negara anggota WTO sebagaimana tercantum dalam Agreement on Trade in Goods tidak menyatakan praktek dumping sebagai praktek yang tidak sehat / tidak adil sehingga perlu dilakukan pelarangan atau tidak membolehkan praktek dumping.(5)
Pengertian
dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk
diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau
negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar
luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.
Sedangkan menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport.(6)
Dumping adalah
sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga
yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak
diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat
menguasai harga kembali).(7) Dalam Black’s Law dictionary, Pengertian dumping
dinyatakan sebagai, “The act of selling in quantity at a very low price or
practically regard less of the price; also selling (surplus goods) abroad at
less than the market price at home.”(8) Di mana dalam terjemahan bebas dapat
diartikan sebagai sebuah tindakan yang menjual barang dalam kuantitas harga
yang sangat rendah atau hampir mengabaikan harga, juga menjual barang-barang
luar negeri kurang dari harga pasar di tempat asalnya.
Menurut Robert
Willig ada 5 tipe dumping yang dilihat dari tujuan eksportir, kekuaran
pasar dan struktur pasar import, antara lain (9) :
1. Market
Expansion Dumping
Perusahaan
pengeksport bisa meraih untung dengan menetapkan “mark-up” yang lebih rendah di
pasar import karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama
harga yang ditawarkan rendah.
2. Cyclical
Dumping Motivasi
Dumping jenis ini muncul
dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan
biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang
terpisah dari pembuatan produk terkait.
3. State
Trading Dumping
Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori
dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi.
4. Strategic Dumping
Istilah
ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di
negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor, baik dengan
cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama
ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap
eksportir independen cukup besar dalam tolok ukur skala ekonomi, maka
memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
pesaing-pesaing asing.
5.
Predatory Dumping
Istilah
predatory dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan
mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar
negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya
perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.
Dan untuk mencegah perbuatan Paraktek Dumping maka diperlukan
perberlakuan tindakan
anti-dumping yaitu
tindakan yang akan dilakukan terhadap tindakan menjual suatu barang
di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar dalam
negeri (harga normal) di mana selanjutnya pemerintah negara pengimpor dapat
mengenakan bea masuk anti-dumping untuk menutupi kerugian sebagai
dampak dari dumping tersebut.
Anti-dumping
sebagai suatu konsep hukum merupakan bagian dari instrumen hukum perdagangan internasional yang mengatur tentang penyesuian
kebijakan pemerintah suatu negara untuk mengambil langkah-langkah pemulihan
industri domestik akibat adanya praktek perdagangan curang dalam transaksi
perdagangan bebas antar negara yang mengikat atas dasar kesepakatan bersama
masyarakat internasional.
Dan di Indonesia telah ada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Anti-dumping,
Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
Peraturan
pemerintah tersebut sebagai bentuk langkah-langkah kebijakan pemerintah dalam
rangka memperbaiki kerugian serius atau ancaman kerugian serius atas
pelaksanaan komitmen liberalisasi perdagangan dalam kerangka World Trade
Organization (WTO). Komitmen liberalisasi, melalui
penurunan tarif dan penghapusan hambatan bukan tarif dapat menimbulkan bebasnya
arus keluar dan masuk
barang dari dan luar Indonesia, yang pada akhirnya sulit untuk diidentifikasi
atau diteliti apakah suatu barang merupakan dumping atau tidak hingga,
mengakibatkan kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap
industri dalam negeri. Dalam kaitan ini Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 2011, merupakan peraturan perundang-undangan nasional yang
mengatur tindakan Anti-Dumping sehingga industri yang mengalami kerugian dapat
melakukan penyesuaian-penyesuaian struktural yang dibenarkan secara hukum
berdasarkan ketentuan ADA.
Dalam era globalisasi dewasa ini, perdagangan internasional telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana
negara-negara di dunia saat ini telah menjadi satu kekuatan pasar yang semakin
terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara dan telah mengarah
pada pola perdagangan bebas. Perdagangan internasional yang mengarah pada pasar
bebas ini pada dasarnya akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke
pasar internasional secara kompetitif dan sebaliknya juga akan membuka peluang
masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik. Hal ini dapat
memungkinkan para pelaku usaha di satu negara berlomba-lomba untuk mendapatkan
akses pasar dan mendominasi pasar dari negara lain. (10)
Dalam dunia
perdagangan internasional yang semakin berkembang pesat dewasa ini, setiap
negara atau pengusaha dari suatu negara berusaha untuk dapat berkompetisi dalam
pasar global melalui dukungan terhadap ekspor. Kompetisi tersebut tidak jarang
mendorong para pelaku usaha untuk melakukan persaingan curang seperti praktik
dumping (diskriminasi harga). Dalam hal ini, biasanya pelaku usaha asing akan
menjatuhkan harga barangnya dengan tujuan agar barang yang dihasilkan
oleh industri
dalam negeri
tidak mampu bersaing. Akibatnya, industri
dalam negeri akan hancur dan gulung tikar. Bila ini terjadi, pelaku usaha asing
akan menaikkan harga mereka dan pada gilirannya mereka akan mendapatkan pangsa
pasar baru.(11)
Perdagangan
bebas dalam sistem World Trade Oragnization (WTO), pada
prinsipnya merupakan persaingan dagang antara satu negara dan negara lain.
Karena itu, namanya persaingan idealnya dilakukan antara pihak-pihak atau
negara yang sama dan sederajat. Sebab, apabila persaingan yang secara bebas
antara yang kuat dan yang lemah. Pastinya yang lemah akan keluar sebagai pihak
yang kalah. Oleh sebab itu, dalam sistem paerdagangan bebas melalui sistem
World Trade Organization (WTO), kepentingan negara lemah, yakni negara berkembang
(developing coutries) dan negara tidak berkembangan (Least developed countries)
mesti di perhatikan secara khusus, agar
tidak menjadi objek bulan-bulanan pesaingnya dari negara maju. Untuk itulah,
negara-negara berkembang dan negara tidak berkembang sering kali berjuang
dengan gigih dalam perundingan-perundingan World Trade Organization (WTO).(12)
Menyadari akan
kekhawatiran dari negara-negara yang sedang berkembang ini, Maka World Trade
Organization (WTO) telah melakukan berbagai hal untuk
memperhatikan negara-negara yang belum maju. Upaya-upaya yang di lakukan di
World Trade Organization (WTO) tersebut bertujuan
untuk melindungi kepentingan negara-negara yang sedang berkembang
dan negara-negara tidak berkembang.
Dari hal
tersebut kita bisa melihat kepedulian World Trade Organization (WTO) -terhadap
negara anggota maupun non anggota. Jalannya perdagangan bebas tidak lepas dari
perlindungan hukum. Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya,
dari berupa jual beli barang, pengiriman, dan penerimaan banrang, dan
lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.(13)
Pasal VI
(Article VI) GATT tersebut mengizinkan negara-negara peserta GATT untuk
menerapkan sanksi antidumping terhadap negara yang telah melakukan dumping.
Namun, penerapannya harus dibuktikan dengan kerugian material (material
injury). Persyaratan kerugian material diterapkan untuk mencegah perdagangan
curang dan melakukan proteksi guna melindungi industri dan pasar domestiknya.
Tanpa adanya kerugian secara material maka suatu negara pengimpor tidak boleh
melakukan tindakan anti dumping dan kewajiban kompensasi.(14)
Pada awalnya,
ketentuan GATT yang mengatur tata cara dan prosedur pelaksanaan antidumping
dalam Article VI dirasakan masih bersifat tidak jelas dan perlu dipertegas
serta diperluas, untuk itu perlu dilakukan suatu penyempurnaan melalui berbagai
perundingan multilateral. Sehingga perbaikan pertama dicapai pada Putaran
Kennedy tahun 1964-1967. Kemudian, diperbaharui lagi dalam Putaran Tokyo pada
tahun 1973-1979, 42 40 The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1947),
Article VI point 1. sehingga menghasilkan Antidumping Code 1979 yang merupakan
implementasi dari ketentuan pada Article VI dan telah disepakati serta mengikat
22 negara yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980. Antidumping Code 1979 ini
kemudian digantikan oleh Antidumping Code 1994 yang dihasilkan dalam Putaran
Uruguay (1986-1994) dengan nama Agreement on Implementationof Article VI of
GATT 1994, instrumen hukum ini ditandatangani bersamaan
dengan penandatanganan Agreement Establishing the World Trade Organization di
Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994. Dengan demikian, Antidumping
Code 1994 ini sudah merupakan suatu bagian integral dari Agreement Establishing
the WTO, suatu institusi yang bertujuan antara lain untuk memajukan perdagangan
bebas dunia di antara anggotanya.(15)
Antidumping di
atur dalam pasal VI GATT. Ketentuan Article VI GATT mengharuskan para negara
anggotanya untuk mengimplementasikan penafsiran Article VI ini, dalam Putaran
Tokyo (Tokyo Round) disepakati Antidumping Code
(1979). Antidumping Code (1979) ini di sepakati dan mengikat 22 negara dan berlaku efektif sejak 1 januari 1980.
Antidumping Code (1979) kemudian di ganti oleh antidumping (1994) yang di
hasilkan dalam perundingan Putaran Uruguay (Uruguay Around). Antidumping Code
(1994) yang berjudul Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 dan sebenarnya merupakan salah satu
dari Multilateral Trade Agreement (MTA) yang di tandatangani Word Trade Organization di Marrakesh (Maroko)
tanggal 15 April 1994, yang menghasilkan World Trade Organization (WTO), suatu
insitusi yang bertujuan antara lain untuk memajukan perdagangan bebas dunia
diantara negara-negara anggotanya sesuai dengan Multilateral Trade Agreement
yang merupakan bagian intergral dari Agreement Establishing The WTO.(16)
GATT yang berlaku
sejak 1948 bukanlah suatu organisasi dan hanya merupakan persetujuan
multilateral yang berisi ketentuan dan disiplin dalam mengatur perilaku negara-negara dalam kegiatan perdagangan
internasional. Dokumen utama GATT yang berjudul The General Agreement on
Tariffs and Trade terdiri atas 4 bagian dan 38 pasal. Tujuan dari persetujuan
GATT ini adalah untuk menciptakan suatu iklim dalam perdagangan internasional
yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan
liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan di dalam penanaman modal, lapangan
kerja dan penciptaan iklim perdagangan yang sehat.(17)
Selain itu, ada
tiga fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya, yaitu : (18) Masalah-masalah
perdagangan dalam GATT diselesaikan melalui serangkaian perundingan
multilateral yang juga dikenal dengan nama Putaran Perdagangan (Trade Round)
untuk mempercepat terwujudnya liberalisasi perdagangan internasional. Dalam
GATT, ada beberapa kali diadakan Putaran Perdagangan sebelum WTO terbentuk,
yaitu sebagai berikut : Pertama, sebagai suatu perangkat
ketentuan multilateral yang mengatur tindak-tanduk perdagangan yang dilakukan
oleh pemerintah dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan. Kedua, sebagai suatu forum perundingan
perdagangan. Ketiga, adalah sebagai
suatu “pengadilan” internasional di mana para anggotanya menyelesaikan sengketa
dagangnya dengan anggota-anggota GATT lainnya.
Pengaturan mengenai dumping dan antidumping dalam
kerangka GATT-WTO dapat diuraikan sebagai berikut :
Penentuan Dumping dalam GATT-WTO Dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 terdapat kriteria
umum bahwa
tindakan dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping
yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : (19)
a. Dumping yang dilakukan oleh suatu
negara dengan di bawah harga normal atau less than fair value;
b. Menyebabkan kerugian material atau ada
ancaman atas kerugian material tersebut terhadap industri domestik yang
memproduksi barang sejenis di negara pengimpor; dan
c. Terdapat hubungan sebab akibat (causal
link) antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi;
Tindakan dumping yang memenuhi unsur-unsur di atas
dilarang oleh GATT, sehingga para anggota GATT untuk dapat menerapkan
tindakan-tindakan antidumping. Namun, apabila telah dilakukan dumping yang
dibawah harga normal/ less than fair value di negara pengimpor tetapi tidak
menimbulkan kerugian, maka dumping itu tidak dilarang.
Selanjutnya dalam pasal VI GATT 1947 tersebut
diuraikan tentang pengertian “less than fair value” atau “di bawah harga
normal”, yaitu :(20)
a. Jika harga ekspor produk yang diekspor
dari satu negara ke negara lain kurang dari harga saing (comparable price) yang
berlaku dalam pasar yang wajar, bagi produk sejenis itu ketika diperuntukkan
bagi konsumsi di negara yang mengimpor; atau
b. Jika dalam hal tidak terdapat harga
domestik, maka harga tersebut harus lebih rendah dari harga saing tertinggi
dari barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga dalam pasar yang wajar atau
dengan biaya produksi di nega ra asal ditambah
jumlah yang sepantasnya untuk biaya penjualan dan keuntungan.
Dalam Pasal VI
ayat (1) GATT 1947 terdapat kriteria umum bahwa tindakan dumping yang dilarang
oleh GATT adalah dumping yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :(21)
a. Dumping yang dilakukan oleh suatu
negara dengan di bawah harga normal atau less than fair value;
b. Menyebabkan kerugian material atau ada
ancaman atas kerugian material tersebut terhadap industri domestik yang
memproduksi barang sejenis di negara pengimpor; dan
c. Terdapat hubungan sebab akibat (causal
link) antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi.
Tindakan dumping
yang memenuhi unsur-unsur di atas dilarang oleh GATT, sehingga GATT memberikan
hak kepada para anggota GATT untuk dapat menerapkan
tindakan-tindakan antidumping jika praktik dumping yang terjadi telah memenuhi
unsur-unsur di atas. Namun, apabila telah dilakukan dumping yang dibawah harga
normal/ less than fair value di negara pengimpor tetapi tidak menimbulkan
kerugian, maka dumping itu tidak dilarang.
Selanjutnya dalam pasal VI GATT 1947 tersebut
diuraikan tentang pengertian “less than fair value” atau “di bawah harga
normal”, yaitu (22)
a. Jika harga ekspor produk
yang diekspor dari satu negara ke negara lain kurang
dari harga saing (comparable price) yang berlaku dalam pasar yang wajar, bagi
produk sejenis itu ketika diperuntukkan bagi konsumsi di negara yang mengimpor;
atau
b. Jika dalam hal tidak terdapat harga
domestik, maka harga tersebut harus lebih rendah dari harga saing tertinggi
dari barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga dalam pasar yang wajar atau
dengan biaya produksi di negara asal ditambah jumlah yang sepantasnya untuk
biaya penjualan dan keuntungan.
Pasal VI ayat (1) GATT 1947 memberikan kriteria umum
bahwa dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang dapat menimbulkan
kerugian material baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah
menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik. Pasal tersebut kemudian
dijabarkan lagi dalam Pasal 3 Agreement on Implementation of Article VI of GATT
1994 yang menyatakan bahwa Penentuan kerugian dalam Pasal VI GATT didasarkan
pada
bukti-bukti positif dan melibatkan pengujian
objektif mengenai :(23)
a. Volume produk impor harga dumping dan
dampaknya terhadap hargaharga di pasar dalam negeri untuk produk sejenis, dan
b. Dampak impor itu terhadap produsen
dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis.
Sehubungan dengan adanya volume impor dengan harga dumping, pihak
yang berwenang akan mempertimbangkan apakah telah terjadi peningkatan yang
berarti dari impor produk dumping tersebut, baik dalam nilai absolut maupun
relatif terhadap produksi atau konsumsi di negara pengimpor. Apabila akibat
impor produk dumping itu berhubungan dengan harga-harga, pihak yang berwenang
akan mempertimbangkan apakah ada pemotongan harga yang berarti pada impor produk
dumping dibandingkan dengan harga produk sejenis negara pengimpor atau apakah
akibat impor seperti itu tidak akan menekan harga-harga pada tingkat yang
berarti.(24)
Selanjutnya, pengujian dampak produk impor dengan harga dumping
terhadap industri dalam negeri akan mencakup penilaian terhadap semua faktor
ekonomi yang meliputi: penurunan penjualan dalam negeri, penurunan keuntungan,
penurunan output (produksi), penurunan market share, penurunan produktivitas,
penurunan utilisasi kapasitas produksi, gangguan terhadap Return On Investment,
gangguan terhadap harga dalam negeri, the magnitute of dumping margin,
perkembangan cash flow yang negatif, inventory meningkat, pengurangan tenaga
kerja/ penurunan gaji dan PHK, gangguan terhadap pertumbuhan perusahaan, gangguan
terhadap investasi, dan gangguan terhadap kemampuan meningkatkan modal.(25)
Sebagaimana yang diketahui bahwa untuk terjadinya
dumping harus ada causal link (hubungan sebab akibat) antara harga dumping dan
kerugian yang terjadi. Hubungan sebab akibat tersebut dapat diketahui dengan
menganalisis volume impor dumping dan pengaruh impor dumping pada harga di
pasar domestik untuk produk sejenis. Apabila volume impor dumping semakin
meningkat, sedangkan pangsa pasar petisioner dan pangsa pasar impor lain semakin menurun, volume
-impor dumping secara langsung turut
mempengaruhi berkurangnya pangsa pasar petisioner. Selain itu, jika harga impor
dumping berada di bawah harga petisioner atau memotong harga petisioner (price
undercutting), dan atau harga petisioner mempunyai kecenderungan menurun secara
terus menerus selama periode tiga tahun karena tekanan harga impor dumping
(price depression), dan atau petisioner tidak dapat menjual harganya di atas
biaya produksi (price suppression), harga impor dumping secara langsung
mempengaruhi harga petisioner.(26)
Sedangkan dalam membuat penentuan mengenai adanya
ancaman kerugian material, maka harus mempertimbangkan faktor-faktor sebagai
berikut :(27)
a. Laju kenaikan yang besar produk impor
dengan harga dumping di pasar dalam negeri yang menunjukkan kemungkinan
meningkatnya besar
b. Peningkatan yang berarti dalam
kapasitas eksportir yang menunjukkan kemungkinan peningkatan yang berarti
ekspor dengan harga dumping ke pasar anggota pengimpor dengan mempertimbangkan
kemampuan pasar-pasar ekspor lain menyerap setiap tambahan ekspor.
c. Apakah impor dengan harga yang akan
mempunyai akibat menekan atau menahan
atas harga-harga dalam negeri, dan akan meningkatkan permintaan impor
selanjutnya.
d. Persediaan
produk yang sedang dalam penyelidikan.
Dalam Pasal 5 ayat (1) Antidumping Code 1994
dinyatakan bahwa “Except as provided for in paragraph 6, an investigation
to
determine the existence, degree -
and effect of any alleged dumping shall be initiated
upon a written application by or on behalf of the domestic industry.(28)”
Permohonan tertulis tersebut akan meliputi adanya bukti :
a. Dumping
b. Kerugian
dengan pengertian Pasal VI GATT
c. Hubungan sebab akibat antara impor
dumping dan kerugian yang dituduhkan, yang
dalam terjemahan bebas dapat diartikan bahwa “Penyelidikan untuk menentukan
keberadaan, tingkat, dan akibat setiap tuduhan dumping akan diawali dari
permohonan tertulis oleh atau atas nama industri dalam negeri.”
Permohonan akan berisi informasi sebagai berikut :
a. Identitas pemohon dan gambaran volume
serta nilai produksi dalam negeri produk sejenis pemohon.
b. Deskripsi lengkap dari produk yang
dituduh dumping, nama-nama pengekspor atau negara asal, identitas dari setiap
eksportir serta daftar importir produk itu yang diketahuinya.
c. Informasi harga produk yang
dipermasalahkan ketika diperuntukkan tujuan
konsumsi
dalam negeri negara pengekspor dan informasi harga ekspor.
d. Informasi
mengenai evolusi volume dumping impor yang dituduhkan, pengaruh impor itu
terhadap harga-harga produk sejenis di pasar domestik dan pada industri
domestik.(29)
Suatu penyelidikan tentang dumping tidak akan
dimulai kecuali yang berwenang telah menentukan bahwa permohonan itu telah
dibuat oleh atau atas nama industri domestik. Permohonan tersebut dianggap
telah dibuat oleh atau atas nama industri domestik dengan syarat tertentu yaitu
harus ada dukungan dari produsen-produsen domestik itu yang secara kolektif
mempunyai output mewakili lebih dari 50 persen total produksi barang sejenis.
Barang sejenis itu dihasilkan oleh bagian dari industri domestik yang
menyatakan baik yang mendukung atau menolak permohonan tersebut. Akan tetapi,
penyelidikan tidak akan dimulai apabila produsen domestik yang menyatakan
mendukung permohonan berjumlahkurang dari 25 persen dari total produksi sejenis
yang dihasilkan oleh industri domestik.(30)
Setelah menerima petisi (permohonan penyelidikan
dumping), maka penyidik berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh industri
domestik dalam waktu 30 hari sudah harus menetapkan apakah telah terjadi
dumping dan apakah ada bukti-bukti terjadinya kerugian material. Setelah
ditemukan bukti-bukti tersebut, maka tujuh hari sebelum di umumkannya secara resmi
tentang penyelidikan antidumping, pemerintah negara
yang bersangkutan diberi tahu terlebih dahulu. Para eksportir diberi waktu 37
hari untuk mengisi dan mengembalikan pertanyaan
yang dikirim. Penyelidikan anti-dumping harus selesai dalam waktu satu tahun dan apabila diperlukan
dapat diperpanjang maksimum tidak lebih dari 18 bulan.(31)
Pada dasarnya suatu penyelidikan harus dihentikan
bila salah satu dari de minimus standards dipenuhi, antara lain sebagai berikut :(32)
a. Produsen yang mendukung permohonan
jumlahnya kurang dari 25 persen dari produksi dalam negeri.
b. Margin dumping kurang dari 2 persen
dari landed export price.
c. Volume impor dari satu negara kurang
dari 3 persen dari total impor, kecuali volume impor dari semua negara yang
diselidiki lebih dari 7 persen dari total impor.
Pengenaan Bea Masuk Antidumping (Antidumping Duties)
Terhadap praktik dumping, WTO memperkenankan anggotanya untuk melakukan sanksi
berupa pemberlakuan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap barang perusahaan
yang terindikasi kuat telah terjadi dumping. Pasal 9 dan 11 Antidumping Code
1994 mengatur penerapan dan pengumpulan bea masuk antidumping serta jangka
waktu dan tinjauan BMAD dan penyesuaian harga. Dalam penerapan BMAD, hal
penting yang perlu diperhatikan adalah :(33)
a. Jumlah BMAD tidak akan melebihi selisih
antara harga ekspor dengan nilai normal barang yang dipermasalahkan (margin of
dumping).
b. Hanya diterapkan sepanjang dan sejauh
dibutuhkan untuk mengambil tindakan untuk menghapus kerugian yang diakibatkan
oleh dumping.
c.
Dihentikan paling lambat lima
tahun setelah diterapkan, kecuali terbukti bahwa hal ini akan menjurus kepada
kerugian akibat dumping yang terus menerus dan berulang-ulang. Apabila telah
diputuskan pengenaan BMAD, maka pemungutannya tidak boleh diskriminatif, dengan
kata lain BMAD diterapkan
kepada
semua produk impor yang terbukti dumping dan menimbulkan
kerugian, tanpa melihat
asal barang tersebut.
Selain BMAD, WTO juga mengatur tentang pengenaan Bea
Masuk Anti-Dumping Sementara (BMADS). BMADS dapat diterapkan untuk jangka waktu
empat sampai sembilan bulan, tergantung pada keadaannya, dengan persyaratan
sebelumnya telah ditemukan adanya dumping dan injury.
Terhadap praktik dumping, WTO memperkenankan
anggotanya untuk melakukan sanksi berupa pemberlakuan Bea Masuk Anti-Dumping
(BMAD) terhadap barang perusahaan yang terindikasi kuat telah terjadi dumping.
Pasal 9 dan 11 Antidumping Code 1994 mengatur penerapan dan pengumpulan bea
masuk antidumping serta jangka waktu dan tinjauan BMAD dan penyesuaian harga.
Dalam penerapan BMAD, hal penting yang perlu diperhatikan adalah (34)70
a. Jumlah BMAD tidak akan melebihi selisih
antara harga ekspor dengan nilai normal barang yang dipermasalahkan (margin of
dumping).
b. Hanya diterapkan sepanjang dan sejauh
dibutuhkan untuk mengambil tindakan untuk menghapus kerugian yang diakibatkan
oleh dumping.
c. Dihentikan paling lambat lima tahun
setelah diterapkan, kecuali terbukti bahwa hal ini akan menjurus kepada
kerugian akibat dumping yang terus menerus dan berulang-ulang.
Apabila telah diputuskan pengenaan BMAD, maka
pemungutannya tidak boleh diskriminatif, dengan kata lain BMAD diterapkan
kepada semua produk impor yang terbukti dumping dan menimbulkan kerugian, tanpa
melihat asal barang tersebut. Selain BMAD, WTO juga mengatur tentang pengenaan
Bea Masuk Anti-Dumping Sementara (BMADS). BMADS dapat diterapkan untuk jangka
waktu empat sampai sembilan bulan, tergantung pada keadaannya, dengan
persyaratan sebelumnya telah ditemukan adanya dumping dan injury.
Perjanjian Putaran Uruguay (GATT-WTO) telah membentuk
komite tentang praktik antidumping yang selanjutnya disebut komite yang terdiri
atas wakil dari tiap anggota. Komite akan menjalankan tanggung jawabnya
sebagaimana ditugaskan menurut persetujuan tersebut atau oleh para anggota.
Komite akan memberikan kesempatan kepada para anggota untuk berkonsultasi
mengenai setiap masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan atau
kelanjutan dari tujuan-tujuannya.(35) Dalam menjalankan fungsinya, komite boleh
berkonsultasi dan mencari informasi dari setiap sumber yang dianggap perlu.
Akan tetapi, sebelum mencari informasi dari suatu sumber yang berada dalam
daerah wewenang anggota, komite akan mengkonfirmasikan kepada anggota yang
terlibat. Hal itu harus mendapat persetujuan dari anggota dan setiap perusahaan
yang akan dikonsultasi.(36)
Mengenai konsultasi dan penyelesaian
sengketa dalam Pasal 17 Antidumping Code 1994. Langkah awal yang dilakukan
untuk menyelesaikan masalah adalah dengan melakukan konsultasi di antara para
pihak yang terkena masalah. Jika konsultasi yang dilakukan gagal mencapai
penyelesaian bersama, dan apabila tindakan akhir telah dilakukan oleh yang
berwenang dari anggota pengimpor untuk mengenakan BMAD atau menerima penyesuaian
harga, maka hal ini dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute
Body/ DSB).
Settlement Apabila suatu tindakan sementara
mempunyai dampak berarti dan anggota yang meminta konsultasi mempertimbangkan
bahwa tindakan yang diambil itu berlawanan dengan ketentuan mengenai tindakan
sementara, maka anggota juga boleh merujuk masalah yang demikian kepada DSB.(37)
Tindakan
antidumping yang dilakukan berdasarkan ketentuan antidumping dalam GATT-WTO
sebagaimana yang diuraikan di atas adalah merupakan
upaya yang ideal untuk melindungi industri dalam negeri
dari praktik dumping dan harus dilakukan secara adil dan proporsional sehingga
dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan dunia usaha.
PENERAPAN
HUKUM ANTI-DUMPING DI INDONESIA
Setelah
Antidumping Code 1994 disepakati, maka semua negara anggota diwajibkan untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan selambat-lambatnya
sebelum WTO secara resmi berdiri, yaitu tanggal 1 Januari 1995, untuk
mengadakan ataupun menyesuaikan undang-undang, peraturan-peraturan maupun
prosedur administratif yang berkaitan dengan antidumping yang telah ada
dimasing-masing negara anggotanya dengan ketentuan yang tercantum dalam
Antidumping Code 1994.(38) Indonesia sebagai negara yang turut ambil bagian
dalam perdagangan Multilateral, telah meratifikasi Agreement Establishing the
World Trade Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564). Dengan
meratifikasi Agreement Establishing the WTO, Indonesia secara sekaligus telah
meratifikasi pula Antidumping Code 1994.(39)
Sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdagangan Multilateral,
Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the WTO melalui
Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564). Dengan meratifikasi Agreement
Establishing the WTO ini, Indonesia secara sekaligus telah meratifikasi
pula Antidumping Code 1994.
Konsekuensi dari diratifikasinya Agreement Establishing the WTO oleh
Indonesia, Indonesia kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping
dengan cara menyisipkannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Nomor 3612) Tanggal 30 Desember
1995 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 93) Tanggal 15 November 2006. Ketentuan antidumping dalam
Undang-Undang tersebut diakomodasi di dalam Bab IV mengenai Bea Masuk
Anti-Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk
Pembalasan, Pasal 18 dan 19.(17)
Ketentuan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pembuatan peraturan
pelaksanaan tentang antidumping Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan yang telah
diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan
Antidumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan dan beberapa
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Indonesia sebagai salah satu negara yang selalu ikut serta dalam
melakukan perdagangan internasional dan merupakan anggota WTO, juga tidak dapat
terhindar dari praktik dumping yang dilakukan oleh produk impor di Indonesia.
Sehingga untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping tersebut,
Pemerintah akan berpedoman pada ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah
disebutkan di atas untuk kemudian diterapkan terhadap praktik dumping tersebut.
Permasalahan
yang ada dalam penerapan hukum tidak dapat dipisahkan paling tidak dari dua
aspek yang pada dasarnya saling berkaitan. Yang pertama adalah aspek
substantifnya sendiri yang tertuju pada aturan hukum, dan yang kedua adalah
aspek penegak hukum yang tertuju pada bagaimana dan siapa yang menegakkan hukum
itu sendiri. Unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum adalah unsur
kepastian hukum Hukum anti-dumping
Indonesia dan KADI sebagai otoritas penyelenggara di dalam penyelidikan
anti-dumping tentunya merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Oleh
karena itu setiap permasalahan yang timbul dari pengekan hukum anti-dumping di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kedua aspek tersebut.
Adanya sebuah
pengadilan atau semacam prosedur untuk melakukan keberatan mengenai tindakan
anti-dumping sebenarnya hal yang telah digariskan oleh ADA, sebagaimana yang
terdapat dalam pasal 13 ADA dibawah ini :
“Each Member
whose national legislation contains provisions on anti-dumping measures shall
maintain judicial, arbitral or administrative tribunals or procedures for the
purpose, inter alia, of the prompt review of administrative actions relating to
final determinations and reviews of determinations within the meaning of
Article 11. Such tribunals or procedures shall be independent of the
authorities responsible for the determination
or review in question.”
Pasal 13 ADA
diatas pada dasarnya mensyaratkan adanya sebuah peradilan atau
pengadilan administarif atau sebuah prosedur untuk mengakomodasi
keberatan-keberatan individual untuk diajukan ke pengadilan domestik ketika bea
masuk anti-dumping diterapkan. Termasuk pula keputusan penetapan bea masuk
anti-dumping. Jika dibandingkan dengan pasal 99 PP 34/2011 dibawah ini :
Tindakan
Imbalan,dan Tindakan Pengamanan, hanya dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian
Sengketa.
Menurut
ketentuan diatas, maka ada dua jalan untuk melakukan keberatan atas tindakan
anti-dumping, ialah melalui dispute settelement body
WTO untuk keberatan terhadap penetapan pengenaan tindakan anti-dumping, dan
yang kedua ialah melalui prosedur-prosedur nasional untuk kebaratan atas
pelaksanaa pengenaan bea masuk anti-dumping. Adanya ketentuan ini berarti
menutup peluang bagi siapapun untuk melakukan peninjauan ataupun banding
terhadap penetapan pengenaan tindakan anti-dumping.
Maka
terlihat jelas adanya inkonsistensi dari pemerintah Indonesia dalam membuat
aturan dalam negeri untuk penerapan tindakan anti-dumping sebagaimana yang
disyaratakan oleh ADA. Inkonstistensi ini adalah sebuah penyimpangan yang
dilakukan oleh Indonesia dari “The Vienna Convention on the Law of Treaties,
May 23, 1969” yang menjelaskan bahwa ratifikasi menimbulkan akibat hukum
eksternal maupun internal bagi negara yang melakukannya. Akibat Hukum eksternal
yang timbul adalah bahwa melaui tindakan tesebut berarti negara yang
bersangkutan telah menerima segala kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional
yang dimaksud. Sedangkan akibat hukum internal adalah kewajiban bagi negara
yang bersangkutan untuk merubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan
ketentuanketentuan dalam persetujuan internasional yang bersangkutan. Meskipun
Indonesia belum meratifikasi “ Konvensi Wina, 1969” ini namun kaidah-kaidah
yang dapat dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional, berlaku dilingkungan masyarkat internasional.(40)
A. Kesimpulan.
1. Peraturan
anti-dumping merupakan salah satu peraturan perdagangan Internasional.
Peraturan anti-dumping pada dasarnya memiliki
tujuan positif yang mengatur perdagangan internasional khususnya mengenai
penanganan praktek curang, Dumping pada dasarnya tidaklah dilarang, namun
ketika praktek dumping tersebut mengakibatkan kerugian pada industri dalam
negeri negara pengimpor, maka hal tersebut harus ditangani dengan menggunakan
regulasi anti-dumping.
2. Masuknya
Indonesia kedalam World Trade Organization
merupakan otoritas penyelenggara dalam penyelidikan anti-dumping dan
penyelidikan tindakan imbalan. Sebagai otoritas penyelenggara, KADI mempunyai
kewenangan penuh baik dalam menolak atau menerima permohonan penyelidikan
anti-dumping, hingga dapat menentukan hasil akhir dari suatu
penyelidikan anti-dumping.
B. Saran
Dengan berlakunya PP 34/2011 yang
merupakan pedoman induk dalam penerapan hukum anti-dumping di Indonesia diakui
telah memberikan perubahan yang cukup siginifikan dibanding pendahulunya, untuk
itu dalam upaya optimalisasi melawan pratek dumpingyang
merugikan perdagangan dunia dan nasional, hendaknya semua lini dan lapisan
masyarakat perlu diadakan sosilisasi terbuka melalui semua media yang ada,
bahkan secara langsung terjun ditengah-tengah masyarakat pedagang tradisonal
untuk memberikan pemahaman untuk bekal menghadapi liberalisasi dan kapitalisme.
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku-Buku
- Brotosusilo, Agus. Etal., Penulisan Hukum: Buku pegangan Dosen, Jakarta, Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen PDK, 1994.
- __________,. Ringkasan Desertasi: Globalisasi Ekonomi dan PerdaganganInternasional: Studi Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi ProduksiDalam Negeri Melalui Undang-undang Anti-dumping dan Safeguard, 2006.
- Christoporus Barutu, Ketentuan Anti Dumping, Subsidi dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) Dalam GATT dan WTO, Jakarta: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2007.
- Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990).
- Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal, 191.Kartadjoemena, H.S., GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di BidangPerdagangan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.
- Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum Dari WTO), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
- Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar Hukum WTO, cetakan I, Penerbit ; yayasan Pustaka Obor, 2010, hlm. 39.
- Sukarmi, Regulasi Anti-dumping Dibawah Bayang-bayang Pasar Bebas, Jakarta, Sinar grafika, 2002.
- Syahyu, Yulianto. Hukum Antidumping di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003.
- Achmad Maulidi, Kanal Pengetahuan, Informasi dan Pengetahuan Sekitar Kita, Publikasi Jumat, 19 Februari 2016, https://www.kanal.web.id/2016/02/pengertian-dumping-dalam-perdagangan.html.
- Fernandes Raja Saor, S.H., M.H., Raja Saor Blog, Ignorantia iuris nocet (Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan), http://raja1987.blogspot.co.id/2009/02/ketentuan-anti-dumping-pengertian-dan.html.
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan R.I. Nomor: 216/mpp/kep/7/2001.tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor261/mpp/kep/9/1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan PermohonanPenyelidikan atas Barang Dumping dan atau Barang Mengandung Subsidi.
- Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994.
- The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1947), Article VI point 1.
- Jurnal Ashri, Muhammad, Memahami Tindakan Antidumping Masyarakat Eropah.
- Brotosusilo, Agus, Ketentuan Anti-dumping: Pedang Bermata Ganda dalam Penegakan Praktik Bisnis Curang, Hukum dan Pembangunan Vol. 2, 1994.
- Sutrisno, Nandang. Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri. Jurnal Hukum No. 2, VOL. 14, April 2007.
No comments:
Post a Comment