Adsafelink | Shorten your link and earn money

Saturday, May 30, 2020

SISTEMATIKA DAN IMPLEMENTASI HUKUM ANTI DUMPING DI INDONESIA

Perdagangan dapat menjadi jembatan bagi setiap negara untuk mencapai tujuan pembangunan Negara, dengan perdagangan lintas batas kebijakan – kebijakan khusus sangat krusial untuk dilakukan mengingat bahwa dalam perdagangan internasional adalah hubungan kepentingan hukum nasional dari dua atau lebih Negara.

Pengambilan kebijakan dan tindakan-tindakan harus mengarah kepada kepastian dan ketegasan dengan segala pertimbangan dari semua aspek-aspek, apalagi hal tersebut menyangkut kebijakan demi kepentingan Nasional. Pertentangan kepentingan antara kepentingan nasional antara negara-negara dunia adalah hal yang terjadi dibelahan bumi ini, semua itu harus diatur dengan baik antar negara-negara maju dan negara-negara berkembang, termasuk juga negara kecil idealnya harus dilibatkan, agar tercipta hubungan-hubungan yang harmonis dalam perdaganagn Internasinal secara kondusif dan situasional dalam persandingan yang serasi dalam dunia perdagangan internasional ditengah-tengah perbedaan kepentingan antar negara.

Dalam penyatuan perbedaan kepentingan yang ada dalam perdagangan Internasional, akhirnya perdagangan internasional memasuki era baru dengan tercapainya kesepakatan Putaran Uruguay. WTO memiliki peran yang sangat penting dalam perdagangan Internasional karena ia adalah sebagai organisasi internasional di bidang perdagangan  yang mengawasi pelaksanaan aturan main yang telah disepakati dalam General Agreement on Tarrifs and Trade  Liberalisasi sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam perdagangan internasional, telah mendapatkan tempatnya ketika Putaran Uruguay telah rampung dan disepakati oleh negara-negara yang menjadi anggota GATT/WTO , yang juga serta merta membawa dunia kearah globalsasi.(1)
 
Label Liberalisasi yang dicapai bukan menjadi suatu alasan untuk “menghalalkan” segala cara dalam  memperoleh keuntungan dalam perdagangan internasional. GATT/WTO telah memberikan ketentuan-ketentuan untuk melindungi atau memproteksi industri-industri dalam negeri dari efek-efek negatif yang ditimbulkan dalam kegiatan perdagangan internasional, dan proteksi tersebut lazimnya disebut dengan tindakan pemulihan atau trade remedies. Salah satu bentuk tindakan pemulihan yang dimaksud ialah anti-dumping

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi praktik dumping ini diperlukan adanya suatu pengaturan secara internasional yang dapat mengatasi masalah praktik dumping. GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1948 dan merupakan persetujuan multilateral yang menentukan peraturan-peraturan bagi perilaku perdagangan internasional, telah mencantumkan suatu kebijakan antidumping guna mengatasi praktik dumping dalam Article VI The General Agreement on Tariffs and Trade 1947 (Pasal VI GATT 1947)39 “The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less yang isinya mengatur tentang Antidumping and Countervailing Duties. Ketentuan Pasal VI GATT 1947 tersebut adalah sebagai berikut :
““The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry.”(2)

Lain halnya dengan bentuk proteksi seperti Safeguard dan Countervaling Measure. Safeguard, merupakan suatu kebijakan nasional untuk melindungi industri dalam negeri suatu negara anggota WTO oleh karena melonjaknya arus importasi secara berlebihan dan di terapkan terhadap bentuk perdagangan internasional yang jujur dan adil. Akan tetapi akibat yang ditimbulkannya adalah kerugian industri dalam negeri yang dapat berimbas kepada seluruh sektor kehidupan masyarakat. Sedangkan antara anti-dumping dan countervailing measure dimaksud sebagaimana yang didefenisikan dalam Subsidy Countervailing Measure Agreement adalah sebagai sebuah kontribusi keuangan oleh pemerintah atau badan publik yang memberikan sebuah keuntungan.(3)

Subsidi juga beragam bentuknya, ada yang berbentuk nyata seperti halnya-pemberian dana, pinjaman uang dalam kondisi yang menguntungkan, penyediaan modal equitas sebuah perusahaan, penurunan pajak bahkan tidak melakukan tindakan apa-apa atau tidak menagih penghasilan pajak yang sudah jatuh tempo, dimana hal-hal tersebut  tidak akan terjadi dan ditemukan dalam suatu kondisi yang normal.

Bagi beberapa negara berkembang kebijakan seperti ini merupakan sesuatu hal yang baru dan tidak normal. Indonesia sebagai anggota WTO, dan melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994 tentang PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE. ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA), Mengandung beberapa konsekuensi hukum. Berdasarkan “The Vienna Convention on the Law of Treaties, May 23, 1969” Ratifikasi menimbulkan konsekeunsi hukum eksternal maupun internal. Ketentuan dalam “The Vienna Convention on the Law of Treaties, May 23, 1969” ini juga berlaku terhadap hasil-hasil Uruguay Round yang diimplementasikan dalam WTO. ADA sebagaimana yang telah menjadi satu kesatuan dalam WTO rules melalui Uruguay Round, bukan  merupakan usaha pertama dalam perundingan multilateral untuk hukum anti-dumping, sebelumnya para negosiatior dalam Kennedy Round menghasilkan sebuah Anti-dumping Code di tahun 1967, yang berlaku pada 1 juli 1986, yang merupakan usaha untuk memastikan agar tidak terjadinya penyalahgunaan dalam penerapan anti-dumping sebagaimana yang tercantum dalam pasal VI GATT 1947. Hal yang menarik perhatian  dalam Kennedy Round ini ialah usaha dari para negosiator Amerika Serikat yang mendorong issu ini masuk kedalam agenda Kennedy Round tersebut. Alasan mendasar dari para negosiator Amerika pada saat itu ialah ketakutan akan ekspor, Amerika Serikat mengahadapi diskriminasi ditengah-tengah ketidakjelasan mengenai prosedur anti-dumping.

Memang hal yang complicated pada waktu itu untuk menentukan ataupun melaksanakan apa yang dicantumkan dalam Pasal VI GATT 1947 oleh karena tidak adanya aturan main yang komprehensif untuk melaksanakan apa yang disepakati, dan yang paling ditakutkan ialah Pasal VI tersebut “berubah” menjadi suatu hambatan di dalam perdagangan internasional akibat salah dalam menafsirkan ataupun menerapkan pasal tersebut. Usaha untuk tetap memantapkan hukum anti-dumping saat itu tidak berhenti sampai disitu. Selanjutnya para negosiator dalam Tokyo Round juga menghasilkan Anti-dumping Code yang berlaku pada tanggal 1 januari 1980. Seperti pendahulunya, Anti-dumping Code dari Tokyo round ini juga mengandung aturan tentang hal-hal yang berhubungan dengan investigasi anti-dumping yang mencoba untuk memastikan ketentuan anti-dumping ini tidak dijadikan hambatan dalam perdagangan. Akan tetapi bagaimanapun juga hal ini berbeda dengan hukum anti-dumping yang ada saat ini.

Perbedaan yang paling mendasar bahwa jika dalam GATT 1994 seluruh perjanjian merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain  Untuk Negara Indonesia sendiri, masalah anti-dumping menjadi sangat penting dan krusial, karena menyangkut mengenai perlindungan terhadap industri-industri dalam negeri dimana posisinya adalah sebagai negara berkembang. Maka dari itu peranan prinsip hukum perdagangan internasional dalam perjanjian GATT dan WTO sangat dibutuhkan, guna menjamin terjadinya suatu perdagangan internasional yang adil, jujur dan terbuka. Indonesia diharapkan agar dapat menggunakan instrument hukum anti-dumping tersebut dalam rangka melindungi kepentingan ekonomi nasionalnya selama hal tersebut diperbolehkan dalam ketentuan WTO. Disamping itu, Indonesia juga harus bersiap menghadapi tuduhan serupa yang dilancarkan terhadap produk-produk ekspor Indonesia oleh mitra dagang di luar negeri melalui tindakan yang diperlukan, sehingga dapat melindungi kebijakan perdagangan Indonesia. Tentunya hal ini hanya dapat terlaksana melaui seperangkat ketentuan nasional yang komprehensif, tegas dan berkualitas dibidang perdagangan internasional, dan terutama di bidang anti dumping.(4)

Liberalisasi perdagangan dunia melalui perundingan-perundingan WTO telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap negara-negara anggota. Khusus untuk Indonesia, dampak positif dapat dimungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional. Sebaliknya dampak negatif dalam hal tersebut salah satunya ialah sulitnya mengendalikan derasnya  arus impor produk-produk dari mitra dagang asing, apalagi dalam menghadapi praktek-praktek curang dalam perdagangan.

Apabila ditinjau kearah sudut kepentingan ekspor, maka produk indonesia dengan adanya liberalisasi perdagangan ini akan berdampak positif dengan memberikan perluasan perdagangan yang bebas hambatan, namun karena prinsip timbal balik Disatu pihak masuknya barang-barang impor dari negara lain khususnya untuk produk yang merupakan dumping secara langsung akan menguntungkan konsumen, dimana yang terjadi produk-produk impor jika dibandingkan dengan produk lokal memiliki perbedaan harga yang cukup signifikan. Akan tetapi dilain pihak dengan melihat keadaan tersebut maka akan mengancam kegagalan produsen-produsen lokal untuk bersaing dipasar dalam negeri sendiri dan akan berakibat “matinya” produsen - produsen di Indonesia.
 
Sehubungan dengan hal itu, mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan oleh liberalisasi perdagangan, maka sekarang ini beberapa negara anggota WTO mengunakan berbagai instrumen ketentuan-ketentuan WTO guna melindungi industri dalam negerinya. Solusi untuk melindungi produk Indonesia dari serbuan produk asing yang melakukan dumping ialah  dengan cara menggunakan instrumen hukum anti-dumping yang diperbolehkan oleh WTO. Tentunya untuk menggunakan instrument hukum ini sangat diperlukan aturan domestik yang cukup valid, tegas dan tidak bertentangan dengan WTO rules, agar terciptanya perdagangan yang adil dan menguntungkan bagi berbagai pihak, khususnya dalam sistem perdagangan di Indonesia.

Penulis memilih topic pembahasan hukum anti-dumping sebagai objek kajian dalam penulisan ini, karena penulis menganggap bahwa hal ini mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan sosial dan ekonomi di Indonesia menuju kesehjateraan bangsa Indonesia. Selain itu, Penulis berusaha untuk melindungi industri domestik dari kerugian atau ancaman kerugian, anti-dumping juga merupakan instrumen hukum yang masih terbilang baru dalam khasanah hukum Indonesia, yang tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dalam menciptakan aturan domestik maupun pelaksanaannya. Oleh karena itu penulis merasa penting untuk mengkaji lebih dalam agar dapat menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia. 

Dumping adalah praktek menjual barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar dalam negeri (harga normal). Praktek dumping dilakukan sejak adanya perdagangan internasional yang merupakan salah satu bentuk dari kebijakan diskriminasi harga dalam rangka mengoptimalkan keuntungannya.

Dengan kebijakan dumping keuntungan akan dioptimalkan karena pasarnya semakin luas sampai di luar negeri, penumpukan stok barang yang tidak terjual dapat diatasi, monopoli dalam negeri dapat dipertahankan, dan hal-hal lain yang dapat meningkatkan keuntungannya.
 

Dalam makalah yang diterbitkan KADI (Komite Anti Dumping Indonesia) diuraikan beberapa alasan eksportir melakukan praktek dumping yakni untuk memperbesar pangsa pasar (Market Expansion dumping), menyingkirkan saingan agar dapat memonopoli pasar (predatory dumping), melepaskan persediaan karena kelebihan kapasitas (cycling dumping), dan mendapatkan mata uang asing (state trading dumping). Negara-negara anggota WTO sebagaimana tercantum dalam Agreement on Trade in Goods tidak menyatakan praktek dumping sebagai praktek yang tidak sehat / tidak adil sehingga perlu dilakukan pelarangan atau tidak membolehkan praktek dumping.(5)

Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut. 

Sedangkan menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport.
(6)

Dumping adalah sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga kembali).(7) Dalam Black’s Law dictionary, Pengertian dumping dinyatakan sebagai, “The act of selling in quantity at a very low price or practically regard less of the price; also selling (surplus goods) abroad at less than the market price at home.”(8) Di mana dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai sebuah tindakan yang menjual barang dalam kuantitas harga yang sangat rendah atau hampir mengabaikan harga, juga menjual barang-barang luar negeri kurang dari harga pasar di tempat asalnya. 

Menurut Robert Willig ada 5 tipe dumping yang dilihat dari tujuan eksportir, kekuaran pasar dan struktur pasar import, antara lain (9)

1.         Market Expansion Dumping
Perusahaan pengeksport bisa meraih untung dengan menetapkan “mark-up” yang lebih rendah di pasar import karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah. 
2.         Cyclical Dumping Motivasi
            Dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.
3.         State Trading Dumping
Latar  belakang  dan  motivasinya  mungkin  sama  dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi.
4.         Strategic Dumping
Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolok ukur skala ekonomi, maka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing-pesaing asing.
5.        Predatory Dumping
Istilah predatory dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.

Dan untuk mencegah perbuatan Paraktek Dumping maka diperlukan perberlakuan tindakan anti-dumping yaitu tindakan yang akan dilakukan terhadap tindakan menjual suatu barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar dalam negeri (harga normal) di mana selanjutnya pemerintah negara pengimpor dapat mengenakan bea masuk anti-dumping untuk menutupi kerugian sebagai dampak dari dumping tersebut.

Anti-dumping sebagai suatu konsep hukum merupakan bagian dari instrumen hukum perdagangan internasional yang mengatur tentang penyesuian kebijakan pemerintah suatu negara untuk mengambil langkah-langkah pemulihan industri domestik akibat adanya praktek perdagangan curang dalam transaksi perdagangan bebas antar negara yang mengikat atas dasar kesepakatan bersama masyarakat internasional. 

Dan di Indonesia telah ada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Anti-dumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. 

Peraturan pemerintah tersebut sebagai bentuk langkah-langkah kebijakan pemerintah dalam rangka memperbaiki kerugian serius atau ancaman kerugian serius atas pelaksanaan komitmen liberalisasi perdagangan dalam kerangka World Trade Organization (WTO). Komitmen liberalisasi, melalui penurunan tarif dan penghapusan hambatan bukan tarif dapat menimbulkan bebasnya arus keluar dan masuk barang dari dan luar Indonesia, yang pada akhirnya sulit untuk diidentifikasi atau diteliti apakah suatu barang merupakan dumping atau tidak hingga, mengakibatkan kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Dalam kaitan ini Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011, merupakan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tindakan Anti-Dumping sehingga industri yang mengalami kerugian dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian struktural yang dibenarkan secara hukum berdasarkan ketentuan ADA.

Dalam era globalisasi dewasa ini, perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana negara-negara di dunia saat ini telah menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara dan telah mengarah pada pola perdagangan bebas. Perdagangan internasional yang mengarah pada pasar bebas ini pada dasarnya akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif dan sebaliknya juga akan membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik. Hal ini dapat memungkinkan para pelaku usaha di satu negara berlomba-lomba untuk mendapatkan akses pasar dan mendominasi pasar dari negara lain. (10)

Dalam dunia perdagangan internasional yang semakin berkembang pesat dewasa ini, setiap negara atau pengusaha dari suatu negara berusaha untuk dapat berkompetisi dalam pasar global melalui dukungan terhadap ekspor. Kompetisi tersebut tidak jarang mendorong para pelaku usaha untuk melakukan persaingan curang seperti praktik dumping (diskriminasi harga). Dalam hal ini, biasanya pelaku usaha asing akan menjatuhkan harga barangnya dengan tujuan agar barang yang  dihasilkan  oleh  industri  dalam  negeri tidak mampu bersaing. Akibatnya, industri dalam negeri akan hancur dan gulung tikar. Bila ini terjadi, pelaku usaha asing akan menaikkan harga mereka dan pada gilirannya mereka akan mendapatkan pangsa pasar baru.(11)

Perdagangan bebas dalam sistem World Trade Oragnization (WTO), pada prinsipnya merupakan persaingan dagang antara satu negara dan negara lain. Karena itu, namanya persaingan idealnya dilakukan antara pihak-pihak atau negara yang sama dan sederajat. Sebab, apabila persaingan yang secara bebas antara yang kuat dan yang lemah. Pastinya yang lemah akan keluar sebagai pihak yang kalah. Oleh sebab itu, dalam sistem paerdagangan bebas melalui sistem World Trade Organization (WTO), kepentingan negara lemah, yakni negara berkembang (developing coutries) dan negara tidak berkembangan (Least developed countries) mesti di perhatikan secara khusus, agar tidak menjadi objek bulan-bulanan pesaingnya dari negara maju. Untuk itulah, negara-negara berkembang dan negara tidak berkembang sering kali berjuang dengan gigih dalam perundingan-perundingan World Trade Organization (WTO).(12)

Menyadari akan kekhawatiran dari negara-negara yang sedang berkembang ini, Maka World Trade Organization (WTO) telah melakukan berbagai hal untuk memperhatikan negara-negara yang belum maju. Upaya-upaya yang di lakukan di World Trade Organization (WTO) tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan negara-negara yang sedang berkembang dan negara-negara tidak berkembang.

Dari hal tersebut kita bisa melihat kepedulian World Trade Organization (WTO) -terhadap negara anggota maupun non anggota. Jalannya perdagangan bebas tidak lepas dari perlindungan hukum. Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, dari berupa jual beli barang, pengiriman, dan penerimaan banrang, dan lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.(13)

Pasal VI (Article VI) GATT tersebut mengizinkan negara-negara peserta GATT untuk menerapkan sanksi antidumping terhadap negara yang telah melakukan dumping. Namun, penerapannya harus dibuktikan dengan kerugian material (material injury). Persyaratan kerugian material diterapkan untuk mencegah perdagangan curang dan melakukan proteksi guna melindungi industri dan pasar domestiknya. Tanpa adanya kerugian secara material maka suatu negara pengimpor tidak boleh melakukan tindakan anti dumping dan kewajiban kompensasi.(14)

Pada awalnya, ketentuan GATT yang mengatur tata cara dan prosedur pelaksanaan antidumping dalam Article VI dirasakan masih bersifat tidak jelas dan perlu dipertegas serta diperluas, untuk itu perlu dilakukan suatu penyempurnaan melalui berbagai perundingan multilateral. Sehingga perbaikan pertama dicapai pada Putaran Kennedy tahun 1964-1967. Kemudian, diperbaharui lagi dalam Putaran Tokyo pada tahun 1973-1979, 42 40 The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1947), Article VI point 1. sehingga menghasilkan Antidumping Code 1979 yang merupakan implementasi dari ketentuan pada Article VI dan telah disepakati serta mengikat 22 negara yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980. Antidumping Code 1979 ini kemudian digantikan oleh Antidumping Code 1994 yang dihasilkan dalam Putaran Uruguay (1986-1994) dengan nama Agreement on Implementationof Article VI of GATT 1994, instrumen hukum ini ditandatangani bersamaan dengan penandatanganan Agreement Establishing the World Trade Organization di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994. Dengan demikian, Antidumping Code 1994 ini sudah merupakan suatu bagian integral dari Agreement Establishing the WTO, suatu institusi yang bertujuan antara lain untuk memajukan perdagangan bebas dunia di antara anggotanya.(15) 

Antidumping di atur dalam pasal VI GATT. Ketentuan Article VI GATT mengharuskan para negara anggotanya untuk mengimplementasikan penafsiran Article VI ini, dalam Putaran Tokyo (Tokyo Round) disepakati Antidumping Code (1979). Antidumping Code (1979) ini di sepakati dan mengikat 22 negara dan berlaku efektif sejak 1 januari 1980. Antidumping Code (1979) kemudian di ganti oleh antidumping (1994) yang di hasilkan dalam perundingan Putaran Uruguay (Uruguay Around). Antidumping Code (1994) yang berjudul Agreement on Implementation of Article VI of  GATT 1994 dan sebenarnya merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreement (MTA) yang di tandatangani  Word Trade Organization di Marrakesh (Maroko) tanggal 15 April 1994, yang menghasilkan World Trade Organization (WTO), suatu insitusi yang bertujuan antara lain untuk memajukan perdagangan bebas dunia diantara negara-negara anggotanya sesuai dengan Multilateral Trade Agreement yang merupakan bagian intergral dari Agreement Establishing The WTO.(16)

GATT yang berlaku sejak 1948 bukanlah suatu organisasi dan hanya merupakan persetujuan multilateral yang berisi ketentuan dan disiplin dalam mengatur perilaku negara-negara dalam kegiatan perdagangan internasional. Dokumen utama GATT yang berjudul The General Agreement on Tariffs and Trade terdiri atas 4 bagian dan 38 pasal. Tujuan dari persetujuan GATT ini adalah untuk menciptakan suatu iklim dalam perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan di dalam penanaman modal, lapangan kerja dan penciptaan iklim perdagangan yang sehat.(17)

Selain itu, ada tiga fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya, yaitu : (18) Masalah-masalah perdagangan dalam GATT diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang juga dikenal dengan nama Putaran Perdagangan (Trade Round) untuk mempercepat terwujudnya liberalisasi perdagangan internasional. Dalam GATT, ada beberapa kali diadakan Putaran Perdagangan sebelum WTO terbentuk, yaitu sebagai berikut : Pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan multilateral yang mengatur tindak-tanduk perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan. Kedua, sebagai suatu forum perundingan perdagangan. Ketiga, adalah sebagai suatu “pengadilan” internasional di mana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota GATT lainnya.

Pengaturan mengenai dumping dan antidumping dalam kerangka GATT-WTO dapat diuraikan sebagai berikut : Penentuan Dumping dalam GATT-WTO Dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 terdapat  kriteria  umum  bahwa tindakan  dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : (19)

a.         Dumping yang dilakukan oleh suatu negara dengan di bawah harga normal atau less than fair value;
b.         Menyebabkan kerugian material atau ada ancaman atas kerugian material tersebut terhadap industri domestik yang memproduksi barang sejenis di negara pengimpor; dan
c.         Terdapat hubungan sebab akibat (causal link) antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi;

Tindakan dumping yang memenuhi unsur-unsur di atas dilarang oleh GATT, sehingga para anggota GATT untuk dapat menerapkan tindakan-tindakan antidumping. Namun, apabila telah dilakukan dumping yang dibawah harga normal/ less than fair value di negara pengimpor tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping itu tidak dilarang.
Selanjutnya dalam pasal VI GATT 1947 tersebut diuraikan tentang pengertian “less than fair value” atau “di bawah harga normal”, yaitu :(20)

a.        Jika harga ekspor produk yang diekspor dari satu negara ke negara lain kurang dari harga saing (comparable price) yang berlaku dalam pasar yang wajar, bagi produk sejenis itu ketika diperuntukkan bagi konsumsi di negara yang mengimpor; atau
b.       Jika dalam hal tidak terdapat harga domestik, maka harga tersebut harus lebih rendah dari harga saing tertinggi dari barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga dalam pasar yang wajar atau dengan biaya produksi di nega ra asal ditambah jumlah yang sepantasnya untuk biaya penjualan dan keuntungan.

Dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 terdapat kriteria umum bahwa tindakan dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :(21) 

a.         Dumping yang dilakukan oleh suatu negara dengan di bawah harga normal atau less than fair value;
b.       Menyebabkan kerugian material atau ada ancaman atas kerugian material tersebut terhadap industri domestik yang memproduksi barang sejenis di negara pengimpor; dan
c.       Terdapat hubungan sebab akibat (causal link) antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi. 

Tindakan dumping yang memenuhi unsur-unsur di atas dilarang oleh GATT, sehingga GATT memberikan hak kepada para anggota GATT untuk dapat menerapkan tindakan-tindakan antidumping jika praktik dumping yang terjadi telah memenuhi unsur-unsur di atas. Namun, apabila telah dilakukan dumping yang dibawah harga normal/ less than fair value di negara pengimpor tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping itu tidak dilarang.
Selanjutnya dalam pasal VI GATT 1947 tersebut diuraikan tentang pengertian “less than fair value” atau “di bawah harga normal”, yaitu (22)

a.         Jika harga  ekspor  produk yang diekspor dari  satu  negara ke negara lain kurang dari harga saing (comparable price) yang berlaku dalam pasar yang wajar, bagi produk sejenis itu ketika diperuntukkan bagi konsumsi di negara yang mengimpor; atau
b.        Jika dalam hal tidak terdapat harga domestik, maka harga tersebut harus lebih rendah dari harga saing tertinggi dari barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga dalam pasar yang wajar atau dengan biaya produksi di negara asal ditambah jumlah yang sepantasnya untuk biaya penjualan dan keuntungan.

Pasal VI ayat (1) GATT 1947 memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian material baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik. Pasal tersebut kemudian dijabarkan lagi dalam Pasal 3 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 yang menyatakan bahwa Penentuan kerugian dalam Pasal VI GATT didasarkan pada
bukti-bukti positif dan melibatkan pengujian objektif mengenai :(23) 

a.       Volume produk impor harga dumping dan dampaknya terhadap hargaharga di pasar dalam negeri untuk produk sejenis, dan
b.         Dampak impor itu terhadap produsen dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis.

Sehubungan dengan  adanya  volume  impor dengan harga  dumping, pihak yang berwenang akan mempertimbangkan apakah telah terjadi peningkatan yang berarti dari impor produk dumping tersebut, baik dalam nilai absolut maupun relatif terhadap produksi atau konsumsi di negara pengimpor. Apabila akibat impor produk dumping itu berhubungan dengan harga-harga, pihak yang berwenang akan mempertimbangkan apakah ada pemotongan harga yang berarti pada impor produk dumping dibandingkan dengan harga produk sejenis negara pengimpor atau apakah akibat impor seperti itu tidak akan menekan harga-harga pada tingkat yang berarti.(24) 

Selanjutnya, pengujian dampak produk impor dengan harga dumping terhadap industri dalam negeri akan mencakup penilaian terhadap semua faktor ekonomi yang meliputi: penurunan penjualan dalam negeri, penurunan keuntungan, penurunan output (produksi), penurunan market share, penurunan produktivitas, penurunan utilisasi kapasitas produksi, gangguan terhadap Return On Investment, gangguan terhadap harga dalam negeri, the magnitute of dumping margin, perkembangan cash flow yang negatif, inventory meningkat, pengurangan tenaga kerja/ penurunan gaji dan PHK, gangguan terhadap pertumbuhan perusahaan, gangguan terhadap investasi, dan gangguan terhadap kemampuan meningkatkan modal.(25)

Sebagaimana yang diketahui bahwa untuk terjadinya dumping harus ada causal link (hubungan sebab akibat) antara harga dumping dan kerugian yang terjadi. Hubungan sebab akibat tersebut dapat diketahui dengan menganalisis volume impor dumping dan pengaruh impor dumping pada harga di pasar domestik untuk produk sejenis. Apabila volume impor dumping semakin meningkat, sedangkan pangsa pasar  petisioner  dan  pangsa  pasar impor lain semakin menurun, volume -impor dumping secara langsung turut mempengaruhi berkurangnya pangsa pasar petisioner. Selain itu, jika harga impor dumping berada di bawah harga petisioner atau memotong harga petisioner (price undercutting), dan atau harga petisioner mempunyai kecenderungan menurun secara terus menerus selama periode tiga tahun karena tekanan harga impor dumping (price depression), dan atau petisioner tidak dapat menjual harganya di atas biaya produksi (price suppression), harga impor dumping secara langsung mempengaruhi harga petisioner.(26)

Sedangkan dalam membuat penentuan mengenai adanya ancaman kerugian material, maka harus mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut :(27)

a.        Laju kenaikan yang besar produk impor dengan harga dumping di pasar dalam negeri yang menunjukkan kemungkinan meningkatnya besar
b.    Peningkatan yang berarti dalam kapasitas eksportir yang menunjukkan kemungkinan peningkatan yang berarti ekspor dengan harga dumping ke pasar anggota pengimpor dengan mempertimbangkan kemampuan pasar-pasar ekspor lain menyerap setiap tambahan ekspor.
c.         Apakah impor dengan harga yang akan mempunyai akibat menekan atau menahan atas harga-harga dalam negeri, dan akan meningkatkan permintaan impor selanjutnya.
d.         Persediaan produk yang sedang dalam penyelidikan.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Antidumping Code 1994 dinyatakan bahwa “Except as provided for in paragraph 6, an  investigation  to determine the existence, degree -
and effect of any alleged dumping shall be initiated upon a written application by or on behalf of the domestic industry.(28)” Permohonan tertulis tersebut akan meliputi adanya bukti :

a.         Dumping
b.         Kerugian dengan pengertian Pasal VI GATT
c.       Hubungan sebab akibat antara impor dumping dan kerugian yang dituduhkan, yang dalam terjemahan bebas dapat diartikan bahwa “Penyelidikan untuk menentukan keberadaan, tingkat, dan akibat setiap tuduhan dumping akan diawali dari permohonan tertulis oleh atau atas nama industri dalam negeri.”

Permohonan akan berisi informasi sebagai berikut :

a.       Identitas pemohon dan gambaran volume serta nilai produksi dalam negeri produk sejenis pemohon.
b.       Deskripsi lengkap dari produk yang dituduh dumping, nama-nama pengekspor atau negara asal, identitas dari setiap eksportir serta daftar importir produk itu yang diketahuinya.
c.         Informasi harga produk yang dipermasalahkan ketika diperuntukkan tujuan
konsumsi dalam negeri negara pengekspor dan informasi harga ekspor.
 d.      Informasi mengenai evolusi volume dumping impor yang dituduhkan, pengaruh impor itu terhadap harga-harga produk sejenis di pasar domestik dan pada industri domestik.(29)

Suatu penyelidikan tentang dumping tidak akan dimulai kecuali yang berwenang telah menentukan bahwa permohonan itu telah dibuat oleh atau atas nama industri domestik. Permohonan tersebut dianggap telah dibuat oleh atau atas nama industri domestik dengan syarat tertentu yaitu harus ada dukungan dari produsen-produsen domestik itu yang secara kolektif mempunyai output mewakili lebih dari 50 persen total produksi barang sejenis. Barang sejenis itu dihasilkan oleh bagian dari industri domestik yang menyatakan baik yang mendukung atau menolak permohonan tersebut. Akan tetapi, penyelidikan tidak akan dimulai apabila produsen domestik yang menyatakan mendukung permohonan berjumlahkurang dari 25 persen dari total produksi sejenis yang dihasilkan oleh industri domestik.(30)

Setelah menerima petisi (permohonan penyelidikan dumping), maka penyidik berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh industri domestik dalam waktu 30 hari sudah harus menetapkan apakah telah terjadi dumping dan apakah ada bukti-bukti terjadinya kerugian material. Setelah ditemukan bukti-bukti tersebut, maka tujuh hari sebelum  di umumkannya  secara resmi tentang  penyelidikan antidumping, pemerintah negara yang bersangkutan diberi tahu terlebih dahulu. Para eksportir diberi waktu 37 hari untuk mengisi dan mengembalikan pertanyaan yang dikirim. Penyelidikan anti-dumping  harus  selesai dalam  waktu  satu  tahun  dan apabila diperlukan dapat diperpanjang maksimum tidak lebih dari 18 bulan.(31)

Pada dasarnya suatu penyelidikan harus dihentikan bila salah satu dari de minimus standards dipenuhi, antara lain sebagai berikut :(32)

a.         Produsen yang mendukung permohonan jumlahnya kurang dari 25 persen dari produksi dalam negeri.
b.         Margin dumping kurang dari 2 persen dari landed export price.
c.        Volume impor dari satu negara kurang dari 3 persen dari total impor, kecuali volume impor dari semua negara yang diselidiki lebih dari 7 persen dari total impor.

Pengenaan Bea Masuk Antidumping (Antidumping Duties) Terhadap praktik dumping, WTO memperkenankan anggotanya untuk melakukan sanksi berupa pemberlakuan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap barang perusahaan yang terindikasi kuat telah terjadi dumping. Pasal 9 dan 11 Antidumping Code 1994 mengatur penerapan dan pengumpulan bea masuk antidumping serta jangka waktu dan tinjauan BMAD dan penyesuaian harga. Dalam penerapan BMAD, hal penting yang perlu diperhatikan adalah :(33)

a.       Jumlah BMAD tidak akan melebihi selisih antara harga ekspor dengan nilai normal barang yang dipermasalahkan (margin of dumping).
b.     Hanya diterapkan sepanjang dan sejauh dibutuhkan untuk mengambil tindakan untuk menghapus kerugian yang diakibatkan oleh dumping.
c.        Dihentikan paling lambat lima tahun setelah diterapkan, kecuali terbukti bahwa hal ini akan menjurus kepada kerugian akibat dumping yang terus menerus dan berulang-ulang. Apabila telah diputuskan pengenaan BMAD, maka pemungutannya tidak boleh diskriminatif, dengan kata lain  BMAD  diterapkan  kepada semua produk impor yang terbukti  dumping  dan  menimbulkan kerugian,  tanpa  melihat asal barang tersebut.

Selain BMAD, WTO juga mengatur tentang pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping Sementara (BMADS). BMADS dapat diterapkan untuk jangka waktu empat sampai sembilan bulan, tergantung pada keadaannya, dengan persyaratan sebelumnya telah ditemukan adanya dumping dan injury.

Terhadap praktik dumping, WTO memperkenankan anggotanya untuk melakukan sanksi berupa pemberlakuan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap barang perusahaan yang terindikasi kuat telah terjadi dumping. Pasal 9 dan 11 Antidumping Code 1994 mengatur penerapan dan pengumpulan bea masuk antidumping serta jangka waktu dan tinjauan BMAD dan penyesuaian harga. Dalam penerapan BMAD, hal penting yang perlu diperhatikan adalah (34)70

a.        Jumlah BMAD tidak akan melebihi selisih antara harga ekspor dengan nilai normal barang yang dipermasalahkan (margin of dumping).
b.     Hanya diterapkan sepanjang dan sejauh dibutuhkan untuk mengambil tindakan untuk menghapus kerugian yang diakibatkan oleh dumping.
c.        Dihentikan paling lambat lima tahun setelah diterapkan, kecuali terbukti bahwa hal ini akan menjurus kepada kerugian akibat dumping yang terus menerus dan berulang-ulang.

Apabila telah diputuskan pengenaan BMAD, maka pemungutannya tidak boleh diskriminatif, dengan kata lain BMAD diterapkan kepada semua produk impor yang terbukti dumping dan menimbulkan kerugian, tanpa melihat asal barang tersebut. Selain BMAD, WTO juga mengatur tentang pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping Sementara (BMADS). BMADS dapat diterapkan untuk jangka waktu empat sampai sembilan bulan, tergantung pada keadaannya, dengan persyaratan sebelumnya telah ditemukan adanya dumping dan injury.

Perjanjian Putaran Uruguay (GATT-WTO) telah membentuk komite tentang praktik antidumping yang selanjutnya disebut komite yang terdiri atas wakil dari tiap anggota. Komite akan menjalankan tanggung jawabnya sebagaimana ditugaskan menurut persetujuan tersebut atau oleh para anggota. Komite akan memberikan kesempatan kepada para anggota untuk berkonsultasi mengenai setiap masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan atau kelanjutan dari tujuan-tujuannya.(35) Dalam menjalankan fungsinya, komite boleh berkonsultasi dan mencari informasi dari setiap sumber yang dianggap perlu. Akan tetapi, sebelum mencari informasi dari suatu sumber yang berada dalam daerah wewenang anggota, komite akan mengkonfirmasikan kepada anggota yang terlibat. Hal itu harus mendapat persetujuan dari anggota dan setiap perusahaan yang akan dikonsultasi.(36)

Mengenai konsultasi dan penyelesaian sengketa dalam Pasal 17 Antidumping Code 1994. Langkah awal yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah adalah dengan melakukan konsultasi di antara para pihak yang terkena masalah. Jika konsultasi yang dilakukan gagal mencapai penyelesaian bersama, dan apabila tindakan akhir telah dilakukan oleh yang berwenang dari anggota pengimpor untuk mengenakan BMAD atau menerima penyesuaian harga, maka hal ini dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Body/ DSB).

Settlement Apabila suatu tindakan sementara mempunyai dampak berarti dan anggota yang meminta konsultasi mempertimbangkan bahwa tindakan yang diambil itu berlawanan dengan ketentuan mengenai tindakan sementara, maka anggota juga boleh merujuk masalah yang demikian kepada DSB.(37)

Tindakan antidumping yang dilakukan berdasarkan ketentuan antidumping dalam GATT-WTO sebagaimana yang diuraikan di atas adalah merupakan upaya yang ideal untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping dan harus dilakukan secara adil dan proporsional sehingga dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan dunia usaha.

PENERAPAN HUKUM ANTI-DUMPING DI INDONESIA
Setelah Antidumping Code 1994 disepakati, maka semua negara anggota diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan selambat-lambatnya sebelum WTO secara resmi berdiri, yaitu tanggal 1 Januari 1995, untuk mengadakan ataupun menyesuaikan undang-undang, peraturan-peraturan maupun prosedur administratif yang berkaitan dengan antidumping yang telah ada dimasing-masing negara anggotanya dengan ketentuan yang tercantum dalam Antidumping Code 1994.(38) Indonesia sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdagangan Multilateral, telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564). Dengan meratifikasi Agreement Establishing the WTO, Indonesia secara sekaligus telah meratifikasi pula Antidumping Code 1994.(39)
 
Sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdagangan Multilateral, Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the WTO melalui Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564). Dengan meratifikasi Agreement Establishing the WTO ini, Indonesia secara sekaligus telah meratifikasi pula Antidumping Code 1994.
Konsekuensi dari diratifikasinya Agreement Establishing the WTO oleh Indonesia, Indonesia kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan  ( Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 1995 Nomor  75, Tambahan Lembaran Nomor 3612) Tanggal 30 Desember 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93) Tanggal 15 November 2006. Ketentuan antidumping dalam Undang-Undang tersebut diakomodasi di dalam Bab IV mengenai Bea Masuk Anti-Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan, Pasal 18 dan 19.(17) Ketentuan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pembuatan peraturan pelaksanaan tentang antidumping Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan dan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. 

Indonesia sebagai salah satu negara yang selalu ikut serta dalam melakukan perdagangan internasional dan merupakan anggota WTO, juga tidak dapat terhindar dari praktik dumping yang dilakukan oleh produk impor di Indonesia. Sehingga untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping tersebut, Pemerintah akan berpedoman pada ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas untuk kemudian diterapkan terhadap praktik dumping tersebut.

Permasalahan yang ada dalam penerapan hukum tidak dapat dipisahkan paling tidak dari dua aspek yang pada dasarnya saling berkaitan. Yang pertama adalah aspek substantifnya sendiri yang tertuju pada aturan hukum, dan yang kedua adalah aspek penegak hukum yang tertuju pada bagaimana dan siapa yang menegakkan hukum itu sendiri. Unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum adalah unsur kepastian hukum  Hukum anti-dumping Indonesia dan KADI sebagai otoritas penyelenggara di dalam penyelidikan anti-dumping tentunya merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu setiap permasalahan yang timbul dari pengekan hukum anti-dumping di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kedua aspek tersebut.

Adanya sebuah pengadilan atau semacam prosedur untuk melakukan keberatan mengenai tindakan anti-dumping sebenarnya hal yang telah digariskan oleh ADA, sebagaimana yang terdapat dalam  pasal 13 ADA dibawah ini :

“Each Member whose national legislation contains provisions on anti-dumping measures shall maintain judicial, arbitral or administrative tribunals or procedures for the purpose, inter alia, of the prompt review of administrative actions relating to final determinations and reviews of determinations within the meaning of Article 11. Such tribunals or procedures shall be independent of the authorities responsible for the determination or review in question.”

Pasal 13 ADA diatas pada dasarnya mensyaratkan adanya sebuah peradilan atau pengadilan administarif atau sebuah prosedur untuk mengakomodasi keberatan-keberatan individual untuk diajukan ke pengadilan domestik ketika bea masuk anti-dumping diterapkan. Termasuk pula keputusan penetapan bea masuk anti-dumping. Jika dibandingkan dengan pasal 99 PP 34/2011 dibawah ini :

Tindakan Imbalan,dan Tindakan Pengamanan, hanya dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa.

Menurut ketentuan diatas, maka ada dua jalan untuk melakukan keberatan atas tindakan anti-dumping, ialah melalui dispute settelement body WTO untuk keberatan terhadap penetapan pengenaan tindakan anti-dumping, dan yang kedua ialah melalui prosedur-prosedur nasional untuk kebaratan atas pelaksanaa pengenaan bea masuk anti-dumping. Adanya ketentuan ini berarti menutup peluang bagi siapapun untuk melakukan peninjauan ataupun banding terhadap penetapan pengenaan tindakan anti-dumping.

Maka terlihat jelas adanya inkonsistensi dari pemerintah Indonesia dalam membuat aturan dalam negeri untuk penerapan tindakan anti-dumping sebagaimana yang disyaratakan oleh ADA. Inkonstistensi ini adalah sebuah penyimpangan yang dilakukan oleh Indonesia dari “The Vienna Convention on the Law of Treaties, May 23, 1969” yang menjelaskan bahwa ratifikasi menimbulkan akibat hukum eksternal maupun internal bagi negara yang melakukannya. Akibat Hukum eksternal yang timbul adalah bahwa melaui tindakan tesebut berarti negara yang bersangkutan telah menerima segala kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional yang dimaksud. Sedangkan akibat hukum internal adalah kewajiban bagi negara yang bersangkutan untuk merubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuanketentuan dalam persetujuan internasional yang bersangkutan. Meskipun Indonesia belum meratifikasi “ Konvensi Wina, 1969” ini namun kaidah-kaidah yang dapat dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional,  berlaku dilingkungan masyarkat internasional.(40)

A.        Kesimpulan.
1.      Peraturan anti-dumping merupakan salah satu peraturan perdagangan Internasional. Peraturan anti-dumping pada dasarnya memiliki tujuan positif yang mengatur perdagangan internasional khususnya mengenai penanganan praktek curang, Dumping pada dasarnya tidaklah dilarang, namun ketika praktek dumping tersebut mengakibatkan kerugian pada industri dalam negeri negara pengimpor, maka hal tersebut harus ditangani dengan menggunakan regulasi anti-dumping.
2.    Masuknya Indonesia kedalam World Trade Organization  merupakan otoritas penyelenggara dalam penyelidikan anti-dumping dan penyelidikan tindakan imbalan. Sebagai otoritas penyelenggara, KADI mempunyai kewenangan penuh baik dalam menolak atau menerima permohonan penyelidikan anti-dumping, hingga dapat menentukan hasil akhir dari suatu penyelidikan anti-dumping.
B.        Saran
           Dengan berlakunya PP 34/2011 yang merupakan pedoman induk dalam penerapan hukum anti-dumping di Indonesia diakui telah memberikan perubahan yang cukup siginifikan dibanding pendahulunya, untuk itu dalam upaya optimalisasi melawan pratek dumpingyang merugikan perdagangan dunia dan nasional, hendaknya semua lini dan lapisan masyarakat perlu diadakan sosilisasi terbuka melalui semua media yang ada, bahkan secara langsung terjun ditengah-tengah masyarakat pedagang tradisonal untuk memberikan pemahaman untuk bekal menghadapi liberalisasi dan kapitalisme.

DAFTAR PUSTAKA


I.   Buku-Buku
  1. Brotosusilo, Agus. Etal., Penulisan Hukum: Buku pegangan Dosen, Jakarta, Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen PDK, 1994.
  2.   __________,. Ringkasan Desertasi: Globalisasi Ekonomi dan PerdaganganInternasional: Studi Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi ProduksiDalam Negeri Melalui Undang-undang Anti-dumping dan Safeguard, 2006.
  3. Christoporus Barutu, Ketentuan Anti Dumping, Subsidi dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) Dalam GATT dan WTO, Jakarta: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2007.
  4. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990).
  5. Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal, 191.Kartadjoemena, H.S., GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di BidangPerdagangan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.
  6. Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum Dari WTO), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
  7. Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar Hukum WTO, cetakan I, Penerbit ; yayasan Pustaka Obor,  2010, hlm. 39.
  8. Sukarmi, Regulasi Anti-dumping Dibawah Bayang-bayang Pasar Bebas, Jakarta, Sinar grafika, 2002.
  9. Syahyu, Yulianto. Hukum Antidumping di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003.
II.  Situs
  1.  Achmad Maulidi, Kanal Pengetahuan, Informasi dan Pengetahuan Sekitar Kita, Publikasi Jumat, 19 Februari 2016, https://www.kanal.web.id/2016/02/pengertian-dumping-dalam-perdagangan.html.
  2. Fernandes Raja Saor, S.H., M.H., Raja Saor Blog, Ignorantia iuris nocet (Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan), http://raja1987.blogspot.co.id/2009/02/ketentuan-anti-dumping-pengertian-dan.html. 
III. Lain-Lain 
  1. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan R.I. Nomor: 216/mpp/kep/7/2001.tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor261/mpp/kep/9/1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan PermohonanPenyelidikan atas Barang Dumping dan atau Barang Mengandung Subsidi.
  2. Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994. 
  3. The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1947), Article VI point 1. 
  4. Jurnal Ashri, Muhammad, Memahami Tindakan Antidumping Masyarakat Eropah.
  5. Brotosusilo, Agus, Ketentuan Anti-dumping: Pedang Bermata Ganda dalam Penegakan Praktik Bisnis Curang, Hukum dan Pembangunan Vol. 2, 1994.
  6. Sutrisno, Nandang. Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri. Jurnal Hukum No. 2, VOL. 14, April 2007.  


No comments:

Post a Comment

https://panel.niagahoster.co.id/ref/331489

My Blog List

Contact Form

Name

Email *

Message *

https://accesstra.de/000y52000kcb