Ada adagium yang terbiasa dalam pergaulan hidup dalam masyarakat “Hakim adalah wakil Tuhan dimuka bumi, sehingga apapun putusan dari Hakim dalam memeriksa perkara harus diterima, apakah putusan itu benar atau tidak, akan tetapi lama-kelamaan pemikiran yang legal mistik ini kian hari semakin hilang oleh karena di Indonesia masyarakatnya terus berkembang, baik dari spirit keadilan, ilmu pegetahuan, sosial politik, ekonomi dan pendidikan, bahkan dalam masyarakat indonesia telah berkembang pula pemikiran terhadap hakim bahwa apabila suatu putusan itu benar baginya maka hakim akan dinilai netral dan berpihak kepada keadilan, dan apabila putusan itu tidak benar maka hakim akan dinilai tidak netral, hanya berpihak kepada sebelah pihak saja, bahkan tertanam pula asumsi bahwasanya hakim telah masuk angin, yang dalam artian bahwa hakim dianggap menerima sesuatu dari pihak lainnya untuk mempengaruhi putusannya.
Sehubungan dengan itu, Hakim juga seorang manusia yang tidak luput dari kekhilafan dan kesalahan tetapi Hakim memang dituntut harus memilikki kualitas baik secara jasmani dan rohani, kualitas jasmani merupakan kualitas zahir, keadaan kesahatan hakim baik kesahatan berfikir maupun kesahatan anggota tubuh dan panca indera dapat teratasi oleh diri hakim itu secara baik sehingga dapat menunjang aura naluri keadilan dan penegakan hukum dalam memutus sebuah perkara, kualitas nurani merupakan kualitas bathin dimana seorang hakim harus memilikki kecerdasan agama yang baik, memilikki latar belakang dan disiplin ilmu hukum serta pengetahuan ilmu agama yang dianutnya dengan baik, oleh karena kecerdasan agama yang baik merupakan realisasi sebuah moral yang baik pula. Apakah ini merupakan sebuah jaminan ? tentu saja tidak, karena hakim yang memutus perkara secara keliru bukan berarti pemikiran agamanya tidak benar, dan moralnya tidak baik. Akan tetapi menurut penulis moral dan agama merupakan hal yang tak terpisahkan dan paling tidak kedua dasar itu ada dengan baik pada diri seorang hakim.
Ketentuan ini didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di MA dan para hakim merupakan figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi (puncak) dalam susunan peradilan di Indonesia sehingga ia menjadi tumpuan harapan bagi pencari keadilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan mengenai pembentukan lembaga di bidang kekuasaan kehakiman bernama Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga yang bersifat mandiri. Menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1), KY berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. [1]
Mahkamah Agung saat itu tengah disorot dan dikepung oleh maraknya mafia-mafia peradilan sehingga korupsi yang dilakukan terhadap perkara-perkara yang sedang berjalan sering terjadi, Mahkamah Agung dianggap sebagai sarang mafia peradilan, dan bahkan MA dianggap tidak mampu untuk memberantasnya, peradilan menjadi korup, dan ini sulit dibersihkan tanpa ada pembersihan dengan cara yang luar biasa. Pada tahap ini peran Komisi Yudisial awalnya melakukan langkah-langkah frontal sehingga banyak para hakim agung yang resah dibuatnya.
Ketegangan antara MA dan KY semakin mengental ketika KY menyebut adanya beberapa hakim agung yang dinyatakan bermasalah berdasarkan laporan dari masyarakat. Para hakim agung yang disebutkan namanya sebagai hakim bermasalah kemudian kemudian melapor kepolisi karena merasa telah dicemarkan oleh KY dengan penyebutan nama sebagai hakim bermasalah melalui media massa. Selanjutnya, 31 orang hakim agung mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas UU No. 22 Tahun 2004 dan UU No. 4 Tahun 2004 terhadap UUD, khusus yang menyangkut kewenangan KY untuk mengawasi hakim agung. Para pemohon menilai bahwa isi kedua UU tersebut bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1), karena menurut pemohon, KY hanya berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung tapi tidak berwenang mengawasi hakim agung. Kewenangan KY atas hakim agung hanya sebatas mengusulkan pengakatan, sedangkan kewenangan KY untuk mengawasi hanya berlaku untuk hakim-hakim dibawah hakim agung. [2]
Bahwa bagaimanakah selanjutnya hubungan ideal antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sampai saat ini, yakni Hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang ideal, dan untuk melihat sampai sejauh manakah hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung tersebut, saya akan jelaskan selanjutnya dibawah ini.
Pada masa sebelum perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman tidak dapat mandiri karena didominasi lembaga eksekutif. Pengaruh politik atas kekuasaan kehakiman sangat kuat saat berlaku sistem politik otoriter pada masa kekuasaan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Secara institusional, kemandirian kekuasaan kehakiman mulai dapat diwujudkan pada era reformasi setelah dilakukan pembaruan peradilan melalui manajemen organisasi peradilan “satu atap” dan perubahan ketiga UUD 1945.[3]
Sitem pengawasan yang gagal belum sepenuhnya teratasi oleh MA. Namun pada waktu yang bersamaan dilaksanakan konsep peradilan satu atap yang justru menimbulkan kekhawatiran terjadinya monopoli kekuasaan di MA, karena system peradilan menjadi tidak tersentuh oleh lembaga lain, kecemasan terhadap monopoli kekuasaan itu mendorong lahirnya gagasan kearah pembentukan lembaga independen yang berada diluar MA. Gagasan ini diwujudkan dengan membentuk semacam lembaga “external auditor” terhadap hakim, yang dapat mengimbangi pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Adanya system pengawasan yang mengimbangi kekuasaa kehakiman diharapkan mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik. [4]
Untuk menjaga kualitas moral dan martabat para Hakim makanya perlu adanya pengawasan dan oleh karenanya Eksistensi Komisi Yudisial sangat krusial di Indonesia, Komisi Yudisial terbentuk tahun 2005, memang belum begitu lama dibandingkan dengan Mahkamah Agung, ia lahir sejak era reformasi ada yang mana pada awal pembentukan Komisi Yudsial ini melalui perdebatan-perbebatan mulai dari keanggotaan, eksistensi sampai pada pengangkatan dan pemberhentian seorang Hakim Agung.
Melalui lembaga Komisi Yudisial itu diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus oleh hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.
Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawasan ekternal secara regulasi memilikki wewenang dan tugas sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yaitu dalam :
Pasal 13 menyebutkan bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang :
a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan
b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Pasal 14 ayat (1)
menyebutkan bahwa dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf
a, Komisi Yudisial mempunyai tugas :
- Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
- Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
- Menetapkan calon Hakim Agung; dan
- Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Dengan etos kerja Komisi Yudisial yang intens dalam mengawasi kinerja hakim secara efektif dan dengan memilikki kedudukan yang sesuai dengan Pasal 24B ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945, akan tetapi pada kenyataan tidak serta merta menjamin lembaga ini memilikki kewenangan benar-benar akseptable, oleh karena pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 005/PPU-IV/2006 yang diucapkan pada tanggal 23 Agustus 2006, keadaan menjadi berubah oleh karena dalam putusan dimaksud terdapat keismpulan MK yang sangat krusial, dan salah satunya menyebutkan ;
“Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam undang-undang Komisi Yudisial didasarkan atas paradigma konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berada dalam pola hubungan “check and balances” antar cabang kekuasaan dalam konteks ajaran pemisahan kekuasaa (separation of powers) sehingga menimbulkan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam pelaksanaanya. Oleh karena itu , segala ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtson zakerheid)” [5]
Bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, maka segala bentuk kewenangan pengawasan yang merupakan atribusi yang diamanatkan oleh pembuat undang-undang kepada Komisi Yudisial tidak dapat dipergunakan lagi, kewenangan Komisi Yudisial yang tersisa hanya dalam hal mengusulkan pengangkatan hakim agung, sehingga pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 005/PPU-IV/2006 ini mengamanatkan pula agar Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial untuk segera dilakukan perubahan.
Namun dengan terbitnya UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung maka KY mendapat penguatan institusional. Dalam Pasal 11A ayat (1), (2) dan (3) undang-undang tersebut ditegaskan adanya peran KY dalam hal pemberhentian tidak hormat hakim agung dalam masa jabatannya, khusus bila hakim agung berbuat tercela dan melanggar kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.[6]
Selain hakim agung, pemberhentian hakim pada umumnya juga melibatkan KY. Ini sesuai dengan ketentuan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Peradilan Umum, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Undang-Undang tentang Perubahan Undang - Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Disamping itu terdapat Majelis Kehormatan Hakim yang melibatkan unsur MA dan KY.[7]
Selanjutnya atas dasar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 005/PPU-IV/2006, maka disusunlah kemudian oleh DPR rancangan perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tersebut, dan pada 9 Nopember 2011 disahkanlah Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial. Dan dengan dikeluarkan dan disahkannya Undang –Undang perubahan ini, maka kedudukan, wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial semakin kuat dan semakin kokoh, dan kembali mendapat atribusi dari UUD 1945 (Pasal 24B) atau dengan kata lain perubahan Undang-Undang Komisi Yudisial ini merupakan perwujudan perubahan dalam penyelenggaraan kekuasaan hakim yang bebas dan merdeka tanpa ada pengaruh dan tekanan dari lembaga atau pihak yang lain.
Adapun secara regulasi Pasal 24B UUD 1945 merupakan kewenangan yang diberikan oleh Negara kepada Komisi Yudisal yang memang harus tepat dan berdaya guna dalam fungsi dan kedudukannya, fluktuasi permasalahan yang dihadapi dalam menuju Proses pematangan diri adalah hal yang menjadi stimulan dalam mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa dibawah hakim-hakim yang berbudi luhur yang memilikki akuntabilitas yang tinggi.
Dengan disahkannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, ada beberapa perubahan, penambahan dan penghapusan beberapa Pasal yang sangat signifikan sekali, yaitu ; perubahan ketentuan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 18, penghapusan Pasal 21 dan Pasal 22, penambahan Pasal 19A, Pasal 20, Pasal 20A, pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal 22 F, Pasal 22G, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 28, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40A dan Pasal 40B.
Dari sekian perubahan, penambahan dan penghapusan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 ke Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 terdapat beberapa validitas yang elementer terhadap Komisi Yudisial, diantaranya ketentuan Pasal 1 yang dirubah pengertian hakim termasuk didalamnya hakim ad hoc.
Dengan demikian hakim ad hoc dalam UU No. 18 Tahun 2011 itu termasuk hakim yang diawasi oleh KY, Pasal 19A berisi ketentuan bahwa KY (KEPPH) untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim berpedoman pada kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim yang ditetapkan oleh KY bersama MA. Sebelumnya dalam UU No. 22 Tahun 2004 ketentuan tersebut tidak ada. [8]
Begitu juga dalam Pasal - Pasal penambahan seperti Pasal 20, Pasal 22, Pasal 22A, Pasal 22D, dalam Undang-Undang UU No. 18 Tahun 2011 telah dimuat ketentuan tugas dan wewenang Komisi Yudisial secara rinci, melakukan pengawasan yang mana KY dapat pula meminta keterangan kepada hakim atau badan peradilan, dan juga dapat melakukan pemanggilan dan meminta keterangan saksi, KY juga dapat mengajukan usul ke MA agar dapat dijatuhkan sanksi kepada hakim-hakim yang melakukan pelanggaran.
Jadi sangatlah jelas bahwasanya sekarang ini Komisi Yudisial telah memilikki payung hukum yang lebih kokoh lagi dalam menjalan tugas dan wewenangnya pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 005/PPU-IV/2006, dan masyarakat sangat menunggu langkah dan perbuatan nyata yang lebih berani menindak hakim-hakim yang terbukti bermasalah dalam menjalankan profesinya karena apabila masuk bagian dan terlibat langsung dalam ranah hukum maka hukum dan keadilan dapat berdiri tegak tergantung dari hakim-hakim yang memiliki berkualitas baik yang selalu diawasi oleh Komisi Yudisial berdasarkan regulasi yang valid.
Secara Yuridis Komisi Yudisial merupakan lembaga yang mandiri sebagai mana yang disebutkan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam ketentuan ini tidak menyebutkan Komisi Yudisial termasuk lembaga eksukutif, legislative atau yudikatif, namun merupakan sebuah lembaga independen yang mandiri untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim di Indonesia.
Hubungan Komisi Yudisal dan Mahkamah Agung yang ideal sampai saat ini dapat dilihat dari adanya hubungan bersinergisitas antara dua lembaga tersebut dan hal itu di akomodir dalam undang-undang UU No. 22 Tahun 2004 yang kemudian dirubah dengan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dan selain itu juga dapat pula dilihat dari adanya membuat keputusan bersama pada tahun 2009 antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yakni menandatangani keputusan bersama No. : 047/KMA/SKB/IV/2009, tanggal 08 April 2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang menjadi pegangan bagi para hakim dan menjadi pedoman bagi Komisi Yudisial untuk melakukan fungsi pengawasan baik secara internal maupun secara eksternal.
Peraturan bersama tentang pemeriksaan bersama yang dituangkan dalam peraturan bersama Nomor 03/PB/MA/IX/2012-03/PB/P.KY/09/2012. Peraturan Bersama ini bertujuan melaksanakan ketentuan dalm UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY. [9]
Peraturan Bersama tentang tata cara Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan MKH dituangkan dalam Peraturan Bersama Nomor 04/PB/MA/IX/2012-04/PB/P.KY/09/2012. Peraturan Bersama ini bertujuan melaksanakan ketentuan Pasal 11AUU No. 3 Tahun 009 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 22F UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY. [10]
Pada bulan April 2018, Ketua PT Medan Cicut Sutiarso menyampaikam bahwa sinergi adalah membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan. Tujuannya untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas. “Mekanisme checks and balances antara MA, KY, dan DPR merupakan hal yang wajar apabila diterapkan di dalam rekrutmen hakim agung, bahkan dapat dikatakan sangat diperlukan. Hal ini untuk menghindari penyalah pengertian atau kewenangan seseorang ataupun sebuah instansi. Juga untuk menghindari terpusatnya kekuasaan pada seseorang ataupun sebuah instansi. Mekanisme seperti ini antara institusi yang satu dengan yang lain akan saling dapat mengkontrol dan mengawasi bahkan bisa saling mengisi." [11]
Hubungan yang diakomodir oleh regulasi yang membuka peluang terciptanya hubungan yang baik antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yaitu hubungan bersinergisitas dan checks and balances merupakan hubungan ideal, tinggal bagaimana kedua lembaga ini dapat memberikan tindakan yang responsif yang optimal sebagai core stakeholder dalam mengawasi dan menentukan wibawa martabat hakim-hakim di Indonesia agar terciptakan keadilan dan penegakkan hukum melalui Putusan yang memilikki ruh keadilan disetiap perkara.
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Selanjutnya penulis akan memberikan kesimpulan dari pembahasan makalah yang berjudul Hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang Ideal sebagai berikut ;
1. Konsep mengenai pengawasan Komisi Yudisal secara regulasi tidak terlepas dari eksistensi Mahkamah Agung sebagai mitra yang bersinergi, dan realisasi kemitraan ini telah terwujud dalam pembuatan keputusan bersama tentang pengawasan, tentang pemeriksaan bersama dan tentang majelis kehormatan hakim, sehingga Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal (external auditor), sedangkan Mahkamah Agung sebagai pengawas internal (internal auditor). Maka dari itu, Komisi Yudisial bertugas membantu Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap hakim.
2. Pada prinsipnya tidak ada kekuasaan yang tanpa pengawasan, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung memilikki hubungan berdasarkan prinsip check and balances. Komisi Yudisial adalah lembaga baru yang memilikki wewenang sebagai pengawasan ekternal walaupun Komisi Yudisial (KY) bersentuhan langsung dengan kekuasaan kehakiman, Komisi Yudisial tidak masuk dalam kategori eksekutif, legislatif maupun yudikatif, tetapi Komisi Yudisial termasuk lembaga independen yang mandiri yang perlu disupport kehadirannya demi menciptakan kondisi hukum yang lebih baik.
B. Saran
Pembahasan dalam makalah ini pada akhirnya Penulis memberikan pula saran-saran sebagai berikut ;
1. Melihat kepada Pasal 24B UUD 1945 Komisi Yudisial adalah lembaga yang mandiri yang memilikki tujuan yang luhur, maka apabila tiba saatnya tiba maka perlu diberikan pengenaan sanksi terhadap hakim yang terbukti bermasalah kepada Komisi Yudisial diberikan kewenangan atas yang penuh atas keluruhannya untuk menjatuhkan sanksi tanpa adanya lagi otorisasi dari lembaga lainnya, dan jika perlu Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dinormakan kedalam Undang-Undang Komisi Yudisial untuk memperteguh kepastian yang kuat sehingga tidak mudah dirubah dan menjadi hal yang baku harus ditaati dan dijalankan.
2. Dalam upaya mengoptimalkan pengawasan terpadu perlu dilibatkan peran serta public secara terbuka dengan cara dibuat dan dibuka layanan-layanan pengaduan yang ditangani secara bertanggungjawab sehingga dalam rangka memberantas mafia peradilan dan korupsi, kolusi dan nepotisme penganganan perkara di pengadilan yang akan turut mempengaruhi terciptakan peradilan bersih, jujur, tidak berpihak serta berwibawa.
Biblogrphy
[1] Titus Sutio Fanpula, “penjelasan pasal 24B UUD 1945”, http s://www.limc4u.com/blog/penjelasan-pasal-24b-uud-1945/, Desember 22, 2012, (diakses pada 27 Maret 2020, pukul 23.29).
[2] Prof. Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, dan Menegakkan Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, Cetakan ke - 3, halaman 106.
[3] Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Problematika Hakim Dalam Ranah Hukum, Pengadilan, Dan Masyarakat Di Indonesia: Studi Sosio-Legal, Pusat Analisis dan layan Informasi, Jakarta, 2017, halaman 29.
[4] Dr. H. Imam Anshori Saleh, SH., M. Hum., Konsep Pengawasan Kehakiman, Setara Press, Malang (Jawa Timur), Cetakan I, 2014, halaman 5 dan 6.
[5] Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor : 005/PPU-IV/2006, kesimpulan ketiga, pendapat (iii), halaman 200-201.
[6] Dr. H. Imam Anshori Saleh, SH., M. Hum., Op.cit., halaman 9.
[8] Loc. cit., halaman 11
[9] Loc. cit., halaman 217
[10] Loc. cit., halaman 218
[11] Pengadilan Agama Muaradua, KY, MA dan DPR Harus Bersinergi dalam Mencari Hakim Agung Ideal, http://pa-muaradua.go.id/index.php/profil-2/21-hukum-nasional/1032-ky-ma-dan-dpr-harus-bersinergi dalam-mencari-hakim-agung-ideal, 02 April 2018, (diakses pada 29 Maret 2020, pukul 08.10).
No comments:
Post a Comment