“Hukum Progresif itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita” (Profesor Satjipto Rahardjo).
Manusia secara sosiologis adalah makhluk yang diciptakan Tuhan untuk hidup bermasyarakat, kehidupan bermasyarakat memerlukan aturan-aturan, dan ada norma-norma yang lahir dari kehidupan itu, dan dalam skala yang lebih besar kehidupan bermasyarakat akan menciptakan kehidupan bernegara yang juga akan melahirkan aturan-aturan hukum dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun adakalanya aturan hukum yang telah dibuat masih menimbulkan ketidakpuasan bagi kehidupan masyarakat dalam negara, ini disebabkan kepentingan politik terkadang mendominasi dari pada penegakkan hukum dan keadilan, dan adakalanya juga hukum telah tercemar oleh kepentingan pribadi melalui penghalalan berbagai macam cara, sehingga putusan lahir jauh dari pada nilai-nilai keilmuan yang hampir-hampir tidak dapat lagi diprediksikan kemana letaknya ruh keadilan didalam putusan itu.
Bahwa ada adagium yunani yang mengatakan : summum ius,summa iniuria, yang artinya kepastian hukum yang tertinggi, adalah ketidakadilan yang tertinggi, dengan kata lain dapat kita simpulkan bahwa hukum yang semakinpasti yang berlaku di suatu Negara maka hukum itu pula akan mendesak keadilan.
Sebagaimana kita ketahui bahwasanya kondisi hukum di Indonesia sebelum reformasi pada pertengah tahun 1997 era reformasi tidak mampu memberikan kepastian sebagaimana yang diharapkan, apalagi keadilan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Rezim orde baru beranggapan telah melaksanakan pemerintahan atas dasar pemerintahan yang adil, serta berusaha merealisasikannya melalui berbagai program yang disebut dengan istilah “pemerataan” mulai dari pemerataan untuk memperoleh pendidikan, sampai pada pemertaan keadilan social dalam kehidupan.
Namun pemerataan itu sendiri masih banyak diperdebatan oleh karena memang sila kelima Pancasila adalah penerapan sila yang paling sial di Indonesia, oleh karena masih banyaknya masyarakat miskin di tanah air serta semakin maraknya korupsi yang memiskin itu, telah merusak tatanan hukum kehidupanbernegara yang membawa dampak kemiskinan bagi masyarakat luas.
Bahwa yang lebih ironisnya lagi korupsi telahmenciptakan keadaan dimana orang kaya semakain kaya dan orang miskin semakin miskin, sehingga hukum dan keadilan hanya diasumsikan masyarakat hanya untuk orang-orang berduit saja, hukum ibarat mata pisau yang hanya tajam kebawah dan tumpul keatas. Masyarakat lemah hanya dapat melihat dan terdiam tanpa bisa berbuat banyak, reformasi hanya tinggal kata-kata indah yang enak didengar tapi pahit dirasakan. Reformasi Hukum hanya reformasi mandul, tak dapat membuahi penegakkan hukum dan keadilan yang semestinya, hukum telah dibuat sebagai alat perekayasa dan alat untuk mempertahankan kekuasaan belaka.
Almarhum Prof. MUBYARTO, dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, tanggal 1 September 2004, pernah mengatakan, kunci dari pemecahan masalah korupsi adalah keberpihakan pemerintahan kepada keadilan.(1)
“Korupsi harus dianggap menghambat perwujudan keadilan sesosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislatif di pusat dan daerah, bahayanya harus jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil Rakyat”, kata dia.(2)
Jika sudah begini, agaknya kategorisasi dari PerserikatanBangsa-Bangsa (P B B) tentang korupsi sebagai kejahatan terhadap kemanusian perlu disikapi lebih serius. Misalnya dengan menciptakan hukuman lebih berat terhadap para koruptor.(3)
Namun anehnya ancaman hukuman berat buat terpidana korupsi justru diamputasi. Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tipikor versi Agustus 2008 menghilangkan ketentuan Pasal 2 Ayat 2 UU No. 31 tahun 1999 juncto No. 20/2001. Ayat tersebut secara tegas menyebutkan, koruptor bisa dihukum mati.(4)
Bahkan, secara keseluruhan, semangat RUU yang saat ini menjadi prioritas Legislasi Nasional 2010 memang memberikan angin surga kepada para koruptor. Misalnya Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor yang selama ini cukup digdaya menjerat koruptor justru dihilangkan. Akibatnya, banyak koruptor diperkirakan akan lolos dari jerat hukum jika pasal seperti ini tidak ada di RUU. Ancaman pidana maksimal dalam RUU ini secara keseluruhan juga menurun. (5)
Kalau sudah begini keadaannya, mungkin kah kemanusian para peunguasa negeri kita inipun, juga tercemari dan telah terkorupsi ?
Penegakkan hukum dan keadilan dibelahan dunia ini memang selalu menjadi masalah yang sangat sulit untuk berjalan secara konsisten, ratusan bahkan ribuan para pakar hukum yang piawai – piawai telah banyak mencurahkan dan melahirkan teori-teori hukum untuk mencapai harapan ditengah-tengah masyarakat akan ada aturan hukum yang dapat mewakili rakyat dalam mencari keadilan.
Berdasarkan pemikiran tersebut diatas maka dalam pembangunan/pengembangan hukum di Indonesia secara proporsional dan merata harus ditujukan pada empat komponen utama yaitu : (1) komponen norma hukum dan perundang-undangan (dalam rangka pembangunan struktur/sistem hukum), (2) komponen aparat penegak hukum dan(3) komponen kesadaran hukum masyarakat (keduanya dalam rangka pembenahan prilaku pemegang pearan), serta ditambah dengan (4) komponen pendidikan hukum. Komponen terakhir ini dipandang sangat strategis dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya memilikki pengetahuan dan kecakapan yang baik dibidang hukum, namun juga memilikki sikap dan prilaku terpuji. (6)
Oleh karena itu gagasan dan konsep hukum untuk pembaharuan pemikiran sangat diperlukan, termasuk dalam hal ini adalah gagasan Konsep Hukum Progresif yang dapat dijadikan landasan pengembangan hukum Nasional Indonesia, dengan pardigma bahwasanya hukum adalah untuk manusia danbukan sebaliknya, dan tujuan hukum terfokus pada keadilan, kesejahteraan dan kepedulian pada rakyat.
Teloransi dan pluralitas semakin mengemukan sejak pasca reformasi Indonesia, pluralitas tidak hanya dimaknai sebagai keragaman adat, etnis, suku, agama/keyakinan, tetapi juga dipahami sebagai keragaman struktur sosial. Sehingga pemikiran progresif pada pokoknya menolak paham universalisme yang bersama-sama juga menolak doktrin lama baik secara akademis maupun praktis, yang kental dengan positivismenya,.
Melalui gagasan hukum progresif yang meletakkan manusia sebagai sentral dari penemuan hukum, maka manusia diberi kebebasan untuk mencari makna yang paling tinggi terhadap berbagai sumber hakum, baik yang berupa peraturan perundang-undangan (civil law system) maupun berupa putusan hakim (common law system). Pencarian makna tersebut bukan hanya sekedar mempertimbangkan aspek yuridis normatif semata, namun juga mencakup aspek empiris-sosiologis. Bahkan lebih dari itu, pencarian makna tertinggi dalam hal ini juga meliputi aspek pertimbangan- filosofis yakni dengan menggali secara mendalam nilai-nilai luhur bangsa (dalam konteks Indonesia adalah Pancasila dengan segala penjabarannya) dan menjangkau secara kritis nilai-nilai universalyang berlaku pada masyarakat global (misalnya HAM dan Demokrasi). Dengan konsep tersebut diharapkan tatanan hukum Indonesia dimasa mendatang bersifat membebaskan dari kekauan dan mengkonversikan berbagai “aliran” yang berpolemik dalam proses pembangunan hukum nasional, sehingga mapu memberikan pencerahan danlam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil makmur dan sejatera.(7)
Bagaimanakah Teori Hukum Progresif yang dicetuskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo ?
Keprihantinan terhadap carut marut hukum Indonesia sampai saat ini, telah membuat pakar-pakar hukum internasional mengungkapkan pandangan negatif yang menilai sistem hukum Indonesia termasuk sistem yang terjelak yang pernah ada, bahkan Bangsa Indonesia sendiri merasakan dampak penegakkan hukum dan keadilan yang sangat jauh dari yang diharapkan, dan oleh karena itu membuat salah satu pakar hukum kita seperti PROFESOR SATJIPTO RAHARDJO, tergoda untuk berfikir, mengekpresikan ide dalam teori gagasan hukum yang dikenal dengan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Progresif yang diciptakan oleh Profesor SATJIPTO RAHARDJO pada initinya menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya.
Prof. Satjipto Raharjo, S.H., yang menyatakan pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka hukum itu adalah untuk manusia, manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Kualitas hukum ditentukan oleh kemampuan hukum itu sendiri mengabdi pada kesejahteraan manusia. Sehingga hukum progresif dapat dikatakan menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.
Bagi hukum progresif, proses perubahan hukum berpusat pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. Untuk itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.
Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya.
Dalam upaya penegakan hukum progresif tersebut, dapat dibagi dalam usaha Penegakan hukum progresif melalui upaya sebagai berikut :
- Faktor manusia sebagai pelaku dalam penegakan hukum progresif. mereka terdiri generasi Hukum profesional yang memiliki visi keilmuan dan pengalaman ilmu hukum yang komfrehensif dan melihat hukum secara holistic yang menunjang dan mendasari penegakan hukum progresif.
- Kebutuhan Pardigma hukum progresif di kalangan akademisi, secara intelektual dan keilmuan turut mengsosialisasikan terwujudnya implementasi hukum progresif pada pelaksanaan hukum negara kepada masyarakat luas.
Hiruk-pikuk penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia sampai saat ini masih banyak menimbulkan ketidakpstian, rakyat sering jadi korban, kebebasan rakyat masih terkukungi, politik selalu menjadi faktor utama penegakkan hukum dan keadilan menjadi gagal, Demokrasi berdasarkan Pancasila ternodai.
Kebebasan berserikat terpasung, rakyat yang mebuat organisasi yang membahayakan Penguasa dengan kewenaang dapat dibubarkan, bahkan tanpa melalui proses hukum, Perpudapat dikeluarkan walaupun negara tidak dalam keadaan genting dan darurat, Perdilan sarana dan media untuk penguasa dengan kasus-kasus pilihan yang kelak mewujudkan keinginan dalam mempertahankan kekuasaan, rakyat hanya penonton dengan segala caci maki tanpa arti, ibarat anjing menggongong kafilah berlalu.
Teori Hukum Progresif adalah salah satu solusi yang dicetuskan oleh PROF. SATJIPTO RHARDJO sejak tahun2002, melalui tulisan pada Harian Kompas yang berjudul “Indonesia butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, kemudian Teori ini terus berkembang dari waktu-kewaktu dan jadi bahan kajian para ahli-ahli hukum, sehingga teori ini merupakan teori yang dapat menjawab carutmarut penegakan hukum di Indonesia, Teori Hukum Progresif sangat dibutuhkan dan sangat baik untukdi ikuti dalammengatasi ketimpangan hukum dan keadilan di negara Indonesia.
Hukum Progresif merupakan hukum yang sangat memihak atau Pro rakyat atau Pro keadilan, keadilan akan dapat dirasakan oleh rakyat kecil atau warga negara yang mencari keadilan oleh karena penerapan hukum tidak lagi kaku yang hanya semata berdasarkan apa yang tertulis dalam aturan-aturan tertulis saja, hukum dipandang dari banyak sisi keilmuan, sehingga pemecahan masalah atau kasus akan dikaji dari berbagai aspek ilmu dan kausalitas dan asaul usul kejadian tindak pidana secara komfrehensif.
Apakah dapat teori hukum progresif ini diterapkan di Negara kita Indonesia? Jawabnya : tentu bisa. Dalam praktek dunia peradilan di Indonesia telah banyak putusan yang dapat dipastikan telah mengikuti teori hukum progresif, banyak para hakim dalam mengambil keputusan mendasarkan pemikirannya dengan teori hukum progresif.
Aparat-aparat penegak hukum selain Hakim dan Jaksa, Kepolisian adalah salah satu pihak yang langsung terlibat dalam penerapan Teori Hukum Progresif ini, bagaimana tidak, oleh karena awal dari segala proses Pidana adalah ditangan Kepolisian,untuk ituKepolisian harus mampu mengeleminir.
Polisi juga perlu mempunyai pemikiran yang progresif. Peran Polisi tidak jauh berbeda dengan hakim sebagai benteng terakhir para pencari keadilan. Dalam pilihan tindakan yang dilakukan polisi atau deskresi, polisi sangat menentukan hukum yang akan dijalankan atau tidak. Jika keadilan sudah didapatkan melalui polisi, makatidak perlu lagi masuk pengadlan yang akan banyak menghabiskan biaya bagi para pencari keadilan. Atas dasar ini maka terdapat gagasan agar polisi ini memainkan peran sebagai Problem solver bagi masyarakat agar para pencari keadilan tidak harus kepengadilan yang jaraknya sangat jauh bagi masyarakat yang tinggal didaerah terpencilsemacam nenek Minah, seorang terpidana yang mengambil tiga buah kakau. (8)
Hukum Progresif adalah harapan baru bagi para pencari keadilan (justitia bellen) dan harapan baru terciptanya hukum yang kondusif terhadap keadilan masyarakat, telahbanyak masyarakat yang tidak mengerti hukum telah teraniaya oleh hukum, dan semua itu tidak terlepas daripada mental Para aparat penegak hukum dalam menerapkan nilai keadilan terhadap masalah yang sedang terjadi, apabila aparat penegak hukum hanya terpaku kepada apa yang tertulis dalam peraturan maka jadilah ia sebagai corong Undang-Undang, bahkan timbul istilah Hakim sebagai corong Undang-undang, yang bermakna hakim dalam memutuskan perkara hanya memakai kacamata kuda, hanya melihat apa yang tertulis dalam peraturan turtulis yang ada dalam undang-undang saja, Putusan memberikan pertimbangan yang jauh dari standar keilmuan maupun nurani keadilan yang berkembang di dalam masyarakat (unconsistence in court decision).
Reformasi yang didambakan khususnya di bidang hukum banyak mendapatkan kendala, aparat penegak hukum terlalu berfikir kaku dan selalu mengikuti pemikiran positivisme, yang mendewa-dewakan hukum tertulis, tidak ada lagi hukum diluar undang-undang, satu-satunya sumber hukum adalah undang-udang(legisme).
Pemikiran Legisme ini telah meracuni para aparat penegak hukum Indonesia, dari zaman Orde Lama, Orde Baru bahkan sampai zaman sekarang ini masih bercokol, Perkara yang menyangkut Pemerintah dan kroni-kroninya selalu memakai Peradilan sandiwara dan Peradilan dijadikan sebagai dewa penyelemat yang paling ampuh.
Dalam hal ini Prof. Sudikno mengatakan, “bukan rahasia lagi bahwa perkara-perkara yang berbau politik yang salah satu pihaknya adalah pemerintah pasti dimenangkan. Orang yang dituduh melawan pemerintah pada umumnya dapat dipastikan selalu dihukum. Diperoleh kesan bahwa “Peradilan terpimpin” yang tercantum dalam undang-undang No. 19 tahun 1964 (Pasal 19) yang sudah tidak berlaku lagi kini hidup kembali”.(9)
Sistem hukum tentang kekuasaan Kehakiman zaman Orde Lama dan Orde Baru sepintas kelihatan berbeda, akan tetapi sebenarnya kedua-duanya Adalah sama saja, ibarat pepatah mengatakan ”lepas dari mulut macan, masuk lagi kemulut buaya”, peradilan yang sama-sama Tirani dan sama-sama dapat di Intervensi. Kekuasaan Kehakiman dikondisikan selalu mengabdi setia kepada kepentingan Pemerintah.
Hakim berlindung dibalik kebebasan yang dikondisikan, semua hanya upaya pencucian otak Penguasa, Lembaga Eksaminasi dihapuskan, hakim yang melakukan kesalahan tidak dapat ditindak secara profesional, Peradilan Dunia bukanlah Peradilan Tuhan, Hakim tidak luput dari kontaminasi kepentingan, hakim adalah manusia yang juga bisa berbuat salah.
Berdasarkan fonemena itu, ada penafsiran konsep kehakiman dicurigai ada keterkaitan secara paralel antara fonomena KKN yang merajalela secara personal maupun struktural di lingkungan Pemerintahan maupun Peradilan, sampai pada akhirnya Pemerintahan Orde Baru saat itu menjadi ambruk.
Namun dengan model pemikiran dan penalaran hukum Indonesia yang masih tersihir oleh paradigm legal posotivisme dan aliran legisme yang menjadi persoalan utama dan pangkal persoalan saat bangsa Indonesia menghadapi zaman pasca modernisme yang semakin tinggi kompleksitasnya, sementara pengembangan hukum Indonesia lebih menekan kepada Aturan-Aturan tertulis (politik unifikasi dan kodifikasi).
Hukum progresif adalah hasil pemikiran yang berawal dari kegelisahan penegakkan hukum di Indonesia yang sangat kental dengan pemikiran Positivisme, yang mengabaikan kondisi masyarakat dilapangan, banyak putusan-putasan pengadilan yang tidak mencerminkan nilai-nilai nurani keadilan masyarakat, dan hukum telah dianggap mengalami kegagalan sehingga meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat kepada hukumitu .
Melihat tekak-tekuk serta carut-marut penegakan hukum di Indonesia, masih adakah harapan buat kita masyarakat Indonesia yang telah terlukai selama ini? Apakah pemikiran hakim yang progresif di tanah air telah ada yang meingimplementasikannya dalam perkara yang telah putus di Indonesia?
Dalam Putusan perkara pidana, Prita dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, sehingga Prita sebagai Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang Selatan. Dasar pertimbangan Hakim adalah bahwa surat elektronik atau email yang ditulis oleh Prita kepada 20 orang temannya tersebut, bukanlah bentuk pencemaran nama baik terhadap 2 orang dokter di RS Omni Internasional, karena email yang ditulis Prita tersebut merupakan kritik atas pelayanan khususnya dari dua dokter yang menanganinya. Isiemail tersebut adalah fakta dan pengalaman yang dialami oleh Prita dan bukan termasuk pencemaran nama baik. Hakim menilai ada alasan Pembenar dalam perbuatan yang dilakukan Prita dalam menulis email tersebut, yaitu kritik yang dilakukan Prita demi kepentingan umum. (13)
Pada Putusan Pengadilan Negeri Semarang, pada tanggal 20 Desember 1990, Gugatan Para Penggugat dinyatakan ditolak seluruhnya. Dan kemudian warga mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, dan Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah ternyata sama dengan Pegadilan Negeri Semarang.
KESIMPULAN
Bahwa selanjutnya Penulis akan menyampaikan kesimpulan dalam tulisan ini sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
Kasus-kasus seperti kasus Marsinah, wartawan Udin, Tanah Karet di Papua, nenek Minah dll, adalah contoh kasus yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai penilaian tersendiri terhadap putusan atas kasus-kasus tersebut.
Gagasan Hukum Progresif bertolak dari pandangan bahwa hukum haru dilihat sebagai suatu ilmu. Oleh karenanya, hokum tidak hanya dianggap selesai setelah tersusun sebagai peraturan perundang-undangan dengan kalimat yang sangat rapi dan sistematis, namun hukum harus selalu mengalami proses pemaknaan sebagai sebuah pendewasaan atau pematangan. Dengan proses inilah hukum dapat menampakan jati dirinya sebagai sebuah ilmu, yaitu selalu berproses untuk mencari kebenaran. Dalam pengertian ini, hukum harus dilihat ssecara utuh menyeluruh yang menekankan pada sifat substantif dan transedental dengan mendasarkan pada fakta sosial yang tidak lepas dari nilai-nilai agama, etik dan moral. Oleh karena itu, jika hukum tertulis sudah tidak mampu lagi mewadahi keadilan, maka hakim harus berani berfikir progresif untuk menerobos dari norma-norma tertulis tersebut. (10)
Tuntutan keadilan lebih tinggi dan memaksa (superior and compelling need of justice) harus dapat mewarnai pada setiap putusan hakim. Untuk mencapai itu hakim harus dapat menafsir teks secara lebih luas dan menggali dasar-dasar serta asas-asasnya guna mencapai keadilan dalam setiap putusannya. Menurut Kimball, memisahkan antara hukum dan keadilan merupakan korupsi moral. Demikian juga sebaliknya, hakim yang korup dapat memisahkan antara hukum dan keadilan. Menurut Artidjo Alkostar,hakim yang berfikir progresif berarti menggunakan hukum terbaik dalam keadaan terburuk. (11)
Hakim yang berfikiran progresif akan berani menggali nilai-nilai yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dan meletakkan keyakinannya seiring dengan pengembangan pemikiran hukum yang utuh dan holistic sebagai suatu ilmu, bahkan mereka akan menggunakan intuisi dan kontemplasi yang dalam dalam memutuskan perkara-perkara yang sedang ia hadapi. Sebab ketidakadilan yang menodai masyarakat akan membawa dampak ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga institusi Pengadilan sebagai tempat untuk mencari keadilan.
Hakim yang berfikir Progresif berani untuk mengambil inisiasi rule breaking jika hukum normatif sudah tidak bisa menciptakan keadilan. Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga cara untuk melakukan rule breaking, yaitu ;
- Menggunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum memberikan pesan penting bagi kita untuk berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara lama, menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas lebih banyak melukai perasaan keadilan;
- Pencarian makna yang lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum. Masing-masing pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum didorong untuk selalu bertanya kepada hati nurani tentang makna hukum yang lebih dalam ;
- Hukum hendaknya dijalanan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian dan keterlibatan (commpassion) kepada kelompok yang lemah.(12)
Melihat tekak-tekuk serta carut-marut penegakan hukum di Indonesia, masih adakah harapan buat kita masyarakat Indonesia yang telah terlukai selama ini? Apakah pemikiran hakim yang progresif di tanah air telah ada yang meingimplementasikannya dalam perkara yang telah putus di Indonesia?
Ada beberapa putusan Pengadilan yang mana hakim dalam pekara telah melakukan penerapan pemikiran hukum progresif dalam mengambil keputusan, diantaranya yaitu :
- Putusan No. : 172/Pid.B/2006, Putusan Pengadilan Negeri Tanggerang dalam perkara yang berkaitan dengan Pencemaran Nama Baik yang dituduhkan kepada PRITA MULYA SARI.
Dalam Putusan perkara pidana, Prita dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, sehingga Prita sebagai Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang Selatan. Dasar pertimbangan Hakim adalah bahwa surat elektronik atau email yang ditulis oleh Prita kepada 20 orang temannya tersebut, bukanlah bentuk pencemaran nama baik terhadap 2 orang dokter di RS Omni Internasional, karena email yang ditulis Prita tersebut merupakan kritik atas pelayanan khususnya dari dua dokter yang menanganinya. Isiemail tersebut adalah fakta dan pengalaman yang dialami oleh Prita dan bukan termasuk pencemaran nama baik. Hakim menilai ada alasan Pembenar dalam perbuatan yang dilakukan Prita dalam menulis email tersebut, yaitu kritik yang dilakukan Prita demi kepentingan umum. (13)
- Putusan Mahkamah Agung No. : 2263 K/Pdt/1991, Perkara Kedung Ombo di Jawa Tengah, yang terdiri dari Pengugat 1 samapai dengan Pengugat 27 Pemilik Tanah dan Penggugat 28 sampai Penggugat 54 adalah Pemilik Bangunan saja, melawan Pemerintahan Jawa Tengah yang mana Pemerintahan Jawa Tengah memberikan ganti rugi sebesar Rp. 250,-/meter yang merupakan penetapan sepihak tanpa musyawarah dengan warga masyarakat Kedung Ombo. Karena tidak puas ganti rugi yang diberikan oleh Pemerintahan Jawa Tengah, akhir para warga mengajukan Gugatan ke Pengadilan Negeri Semarang, dengan meminta ganti kerugian sebesar Rp. 10.000,-/meter.
Pada Putusan Pengadilan Negeri Semarang, pada tanggal 20 Desember 1990, Gugatan Para Penggugat dinyatakan ditolak seluruhnya. Dan kemudian warga mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, dan Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah ternyata sama dengan Pegadilan Negeri Semarang.
Karena tidak puas perkara ini oleh warga dilakukan lagi Kasasi, dan hakim Mahkamah Agung yang memegang Perkara ini adalah Prof. Zaenal Asikin Kusumah Atmaja, SH., diluar dugaan ternyata Mahkamah Agung menerima dan mengabulkan Kasasi Para Pamohona Kasasi (warga Kedung Ombo), dan yang lebih hebatnya, Hakim malah mengabulkan melebihi ganti rugi yang dituntut oleh warga (Ultra Petita), Ganti Rugi yang harus dibayarkan kepada Warga Kedung Ombo yang menggugat bukanya Rp. 10.000/meter, tetapi dikabulkan dengan ganti rugi Rp. 50.000/meter, dan kerigian Immateril sebesar Rp. 2 Milyar, dengan pertimbangan bahwa tanah adalah milik warga yang berekonomi lemah yang telah ditempati secara turun-temurun dan mereka rela melepaskan tanah miliknya dengan pembayaran kerugian yang realitas agar mendapat penggantian tanah yang seimbangan.
Masih banyak Putusan–putusan Pengadilan yang mencerminkan Hakim yang berfikiran Progresif dalam memutus perkara-perkara. Sehingga dengan demikian Masyarakat sangat merasakan keadilan yang sebenarnya harus mereka rasakan.
KESIMPULAN
Bahwa selanjutnya Penulis akan menyampaikan kesimpulan dalam tulisan ini sebagai berikut :
- Bahwa Pemikiran atau Teori Hukum Progresif yang di cetuskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo adalah suatu harus dipelajari secara mendalam bagi kalangan akademis, oleh karena perguruan Tinggi adalah awal pencetakan SDM yang diharapkan akan mengisi lowongan untuk Aparat Penegak hukum yang dapat diharapkan dapat menerapkan pemikiran hukum progresif kelak meduduki jabatan-jabatan seperti Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat.
- Bahwa Hukum Progresif sangat membantu Negara untuk menciptakan pengakan hukum dan keadilan sesuai dengan nurani masyarakat demi menuju cita-cita hukum yang adil dan berketuhanan.
- Hukum Progresif diinginkan menjadi kritis dan fungsional, oleh karena hukum progresif tidak henti-hentinya melihat kekurangan yang ada dan menemukan jalan untuk memperbaikinya. Parameternya adalah kaitan fungsionalnya dengan manusia, masyarakat dan dinamika masyarakat. Seperti berkali-kali dikemukakan hukum tidak ada untuk diri sendiri, melainkan untuk turut member penyelesaian (solution) terhadapp masalah kemasyarakatan/kemanusiaan, khususnya yang mutakhir, membara dan dipekirakan akan datang (current, burning and emerging issues).(14)
DAFTAR PUSTAKA
WISNUBROTO, 2010, Quo Vadis Tatanan Hukum Indonesia, Penerbit : Universitas Atmajaya Jogyakarta, cetakan I.
HARTONO MARJONO, 1988, Reformasi Politik Suatu Keharusan, Gema Insani Press, Jakarta.
MULYANA KARIM (Penyunting), Rindu pancasila, PT. Kompas Media Nusantara, cetakan I, 0ktober 2010.
MAHRUS ALI (Editor), Membumikan Hukum Progresif, Penerbit Aswaja Pressindo, Cetakan I, 2013.
Prof. SATJIPTO RAHARDJO/URFAN (EDITOR), Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Penerbit : Genta Publishing, Cetakan I, 2009.
No comments:
Post a Comment